Monday, June 22, 2009

Lomba Mendongeng DSAK di Permata Cerita Ceria

Tanggal 20 Juni 2009 kemarin kami mengikuti sebuah acara yang digagas oleh Bank Permata dan Komunitas 1001buku. Dengan tajuk Lomba
Mendongeng Permata Cerita Ceria se-Jabodetabek dg tema 'Berbagi Cerita Mengenal Indonesia'. 30 Taman Bacaan hadir di Gedung Bank Permata Lt.3 Jl.Jenderal Sudirman, Jakpus. Masing-masing TBA mengirimkan wakilnya. Minimal 1 tim dan maksimal 3 tim. 1 tim terdiri maksimal dari 3 orang, dengan rincian 1 orang sebagai narator dan 2 orang sebagai pemeran. Tak kurang dari 52 tim mengikuti lomba mendongeng ini. Termasuk 3 tim kami dari TBA DSAK yaitu Tim Laskar Bintang (Ocan dan Ryan) dengan judul cerita Tupa dan Tupi, Tim 3 Malaikat (Inel, Erika, dan Lia) dengan cerita Asal-usul Surabaya. Satu tim lagi yaitu 3 putri sejati (Dea, Della dan Livia) dengan judul cerita Bawang Merah dan Bawang Bombay eh..Bawang Putih. Sebelum lomba ini terlebih dahulu menyeleksi 3 dari 8 tim yang berkeinginan berangkat ke sini.
Dua minggu kami melatih ekspresi dan hafalan adik-adik kami yang tak memiliki dasar teater seperti kami. Namanya anak-anak, meskipun diminta serius tetep saja inginnya bercanda selalu. Terutama cowok-cowoknya. Di Masjid Alkautsar kami berlatih. Kak Sidiq, kak Muddasir, kak Khabyby, kak Siti, kak Nova, kak Nisa, kak Denis dkk saling bertukar waktu untuk membimbing adik-adik. Tak lupa kami mempersiapkan properti lomba untuk mendukung alur cerita. Sapu, ember, boneka ikan, boneka buaya, karung adalah beberapa properti yang ada.
Sehari sebelum pemberangkatan ke Jend Sud, transportasi juga belum siap. Kami bermaksud meminjang mobil tokoh masyarakat di lingkungan Warudoyong kampung kami, namun semua mobil itu akan digunakan dihari kami juga ingin menggunakannya. Pukul 9 malam, kami mendapatkan mobil tersebut.
Dari sekiam relawan yang membimbing adik-adik, ternyata yang bisa mendampingi ke Bank permata hanya kak Dasir dan kak Sidiq ditambah kak Agi yang sebelumnya tak ikut membimbing serta satu orang tua peserta.
Lomba yang sedianya dilaksanakan sekali di Museum Nasional ternyata dipindah ke sini. Waktu pelaksanaan dari pukul 7 pagi sampai pukul 2 siang dipotong makan siang dan sholat dhuhur. Dalam pelaksanaanya 52 tim dibagi 3. Kelompok merah, kuning dan biru. Di ruang kuning ada 18 tim sedang yang lainnya 17. Untuk menghibur peserta yang menunggu giliran tampil, panitia mengajak mereka bermain dan bernyanyi. Serta memberikan hadiah bagi yang memenangkan game. Sewaktu makan siang kami disuguhi tayangan Laskar Pelangi. Jam 13 kami pulang terlebih dahulu..dengan meninggalkan peserta yang lain setelah berpamitan..
Tamat

Sunday, June 21, 2009

Sepeda Jengki Pedal 2

Pedal 2
Roumpet, Patahan, dkk


Dan di desa Tunjungsari inilah masa kecilku kuhabiskan. Sehingga di sana tercipta berbagai kenangan indah masa kecilku penuh kelucuan, cerita suka, dan cerita duka. Cerita permainan roumpet ( petak umpet ) di malam harinya saat bulan sedang purnama adalah hal yang menyenangkan. Jika roumpet, kami biasanya bersembunyi di tempat-tempat yang gelap kalau perlu kami ngumpet di hutan desa sehingga yang jaga tak bisa menemukan kami. Yang paling menyenangkan jika kita tak pernah jaga. Biasanya ada anak yang jaga terus. Tak pelak akhirnya ia mengambek dan pulang sambil menangis karena di sorakin sama teman-teman, ”PANGGANG LAMPIRAK IWAK JUWI ENAKO TRASI BAKARAN BOCAH DADI NAKALAN”.

Ada lagi cerita memancing ikan dan belut serta udang di sungai bareng teman-teman lelakiku. Yang sebelum memancing kami mencari elur (cacing) di sawah untuk umpan ikan, mencari yuyu ( kepiting sawah ) untuk umpan udang dan mencari bancet ( katak kecil ) untuk umpan belut.

Terus cerita memanjat pohon salam setinggi 14 meter untuk memetik buahnya yang kecil-kecil dengan 3 warna; merah, hijau dan hitam di pinggir sungai Besar. Yang merah adalah buah salam yang sudah mateng untuk kami makan, yang hijau adalah buah salam yang masih mentah untuk kami gunakan sebagai peluru pistol-pistolan kami yang terbuat dari bambu untuk bermain bedil-bedilan (tembak-tembakan) sedangkan yang hitam merupakan salam yang rasanya seperti anggur, manis banget. Dan jika kami memakannya bibir kami, gigi kami, dan gusi kami akan berubah, berubah warnanya menjadi hitam dan hitam persis seperti nenek-nenek di desa kami yang suka memakan kinang / menginang (mengunyah daun sirih). Katanya sih untuk menguatkan giginya.

Dan kami sering mandi di sana, di sungai besar itu sehabis lari pagi setiap hari minggu ke rel kereta api bareng konco-konco (teman-teman). Berlomba renang menyeberangi sungai selebar 25 meter itu. Ataupun berlomba menyelam siapa yang paling lama dapat bertahan diam di dalam air tanpa bernapas.

Atau bermain polo air dengan bola plastik. Sungai besar ini yang setiap tanggal 1 Oktober airnya berlimpah karena dikirimi air dari pintu air irigasi Bukur, daerah Kajen. Katanya sih untuk memperingati peristiwa bersejarah yang setiap tanggal 30 September kami wajib nonton filmnya, G30S/PKI. Entah apa hubungannya antara peristiwa G30S/PKI dengan dikiriminya sungai besar kami sehingga ikan-ikan yang se-dang berenang minggir dengan suka rela minta ditangkap oleh kami. Seperti penjahat yang taubat lalu menyerahkan diri ke pihak berwajib. Apa dikira ikan-ikan itu dianggap 7 jenderal yang diculik lalu dimasukkan ke Lubang buaya. Dan kami adalah buayanya, begitu, enak aja. Tapi dengan adanya peristiwa G30S/PKI kami bersedih dan bersyukur. Bersedih karena kami kehilangan tokoh-tokoh yang tak bersalah diculik dan dibunuh oleh pasukan palu arit itu. Bersyukur karena paling tidak setiap tahun kami akan panen ikan yang menyerahkan diri akibat kiriman air itu.

Tak luput dari ukiran di ingatan cerita berikutnya adalah gobak sodor. Kami memainkannya tatkala hari mulai menampakkan sinar jingganya. Bermandikan sinar itu sepulang kami dari mengaji di TPA Al Himmah kami asyik menggaris kotak persegi panjang di tanah lapang yang merupakan halaman rumah Wo Lehan. Dua kelompok dibagi dengan seimbang dan adil setelah sebelumnya kami usut (suwit) antar teman yang sebaya. Yang kecil layakan (suwitan) sama yang kecil yang besar layakan sama yang besar. Hingga jika adzan maghrib dikumandangkan Lek Rali barulah kami berhamburan ke Musholla.

Cerita main bal-balan (sepak bola) di bawah guyuran hujan dan petir sambil slarakan (seluncur di tanah licin) menambah indahnya catatan dalam buku diary. Sepak bola dengan bola plastik itu kami lakukan di tanah lapang dengan puluhan pohon kelapa yang berbaris rapi di pinggir dan di tengahnya milik Lek Bakir.

Borem menjadi kisah selanjutnya. Permainan ini juga di mainkan oleh dua group. Sebuah group bisa terdiri dari 6-10 orang. Bisa kurang bisa lebih. Permainan ini sebenarnya sama dengan sepak bola. Tujuannya yaitu menjebol gawang lawan. Dalam urusan menjebol gawang posisi badan sang penjebol harus dari depan tidak boleh dari belakang. Karena itu dianggap tidak sah. Namun di sini tak ada bola plastik dan gawangnya pun hanya terbuat dari tepes/kulit kelapa yang ditumpuk dengan sandal para anak desa. Yang dimaksud menjebol adalah salah satu anggota kita masuk ke gawang lawan tanpa di sentuh pihak lawan. Pada babak awal, group 1 harus mengorbankan 1 personilnya untuk dikejar lalu di tangkap atau hanya disentuh dan dipegang seorang perwakilan group 2. Jika perwakilan group 1 sudah pulang tanpa bisa disentuh/dipegang perwakilan group 2, maka gantian group 2 mengorbankan salah seorang perwakilannya yang lain untuk dikejar dan ditangkap perwakilan anggota group 1. Seandainya tertangkap, maka ia menjadi sandera group 1. Sehingga penjaga gawang/ rumah group 2 yang lebarnya hanya 2 langkah kaki orang dewasa itu otomatis berkurang. Dan itu akan mengurangi kekuatan dari group 2 dan menambah kekuatan bagi group 1 untuk menjebol gawang group 2. Untuk menyelamatkan sandera, para anggota group 2 silih berganti menyusup dari depan, belakang, samping kanan maupun samping kiri. Cara penyelamatannya adalah sang penyelamat menyentuh bagian tubuh mana saja si sandera. Sang sandera ketika disentuh temannya harus lari dan melepaskan diri dari gawang yang ia tempel untuk menyelamatkan diri dari sentuhan lawan yang menyanderanya. Karena jika ia lari setelah disentuh temannya tapi ia sebelumnya tak menempel ke gawang maka ia belum bisa dianggap selamat dan harus kembali menjadi sandera hingga ia diselamatkan kembali oleh temannya. Kemudian jika yang kejar-mengejar sudah pulang gantian anggota group satu yang berikutnya untuk dikejar anggota group 2 juga yang lain dan seterusnya hingga semua anggota group 1 dan group 2 pernah merasakan kejar-kejaran. Atau tanpa menunggu yang kejar-kejaran pulang ke gawang, perwakilan group 2 bisa langsung mengejar perwakilan group 1 yang tadi hendak menangkap temannya. Apabila salah satu anggota group 1 mampu menerobos gawang /rumah group 2 maka group 1-lah pemenangnya atau sebaliknya group 2 mampu menerobos gawang /rumah group 1 maka group 2-lah pemenangnya. Dan permainan pun diulang dari awal dengan sebuah kebanggaan sebagai hadiah bagi sang pemenang.

Tak lupa juga dengan cerita mencari kroco (siput sawah yang bokongnya lancip) dan kiong (siput sawah dengan bokong tumpul) di sawah di sore hari kala musim panen telah usai. Jika kroco dan kiong sudah terkumpul kami memasaknya dan memakannya dengan biting/potongan lidi sebagai alat pencungkil daging dari rumahnya.

Juga mencari jangkrik yang memerlukan perjalanan agak jauh karena harus ke desa tetangga. Selain itu juga pencarian tebu sisa yang sedang dipanen Pabrik tebu Sragi yang juga harus pergi ke desa tatangga yang juga jauh jaraknya.

Cerita selanjutnya adalah bermain panggalan (gasing) yang terbuat dari batang pohon kemuning yang tua biar keras dan kalau diadu tidak mudah lecet dan bonyok jika kena jalu gasing lawan yang terbuat dari paku yang ditancapkan dibokong gasing. Gasing tersebut sendiri kami putar dengan tali yang terbuat dari kulit batang pohon pisang yang diplintir-plintir.

Aku juga akan teringat dengan masa kecil dulu dengan permainan Patahan (dalam istilah Jakarta deprok) tapi aku lebih cocok dengan istilah englek. Karena permainan ini kita harus berdiri dengan satu kaki lalu melompat-lompat dengan satu kaki juga melewati ko-takan-kotakan yang digaris/digambar di atas tanah. Jenisnya ada be-berapa macam: Patahan slorok (deprok laci; di dalam patahan slorok kita disuruh menabung nominal. Lalu setelah tabungan kita terkumpul sejumlah 10.000 kita akan mendapatkan sebidang tanah yang da-pat kita gunakan untuk mendeprok dengan 2 kaki atau untuk istirahat setelah capek melompat-lompat seperti kelinci dengan satu kaki melewati 4 kotak. Cara permainannya kita harus mendorong patah (pecahan genting) dengan kaki satu menuju angka-angka yang telah ter-sedia dari angka terkecil 100 yang mudah kita dapat karena letaknya ditengah dengan porsi kotak terbesar hingga angka 10.000 yang sulit kita raih karena tempatnya diujung dengan porsi kotak terkecil).

Selanjutnnya ada patahan uwong (deprok orang; di dalam patahan ini gambarnya bukan kotak-kotak lagi tetapi seorang manusia berjenis perempuan berpakaian rok yang merentangkan tangannya yang pan-jang dengan kepala besarnya yang tiduran terus menerus tanpa mengeluh capek dan sakit walaupun diinjak-injak tanpa ampun beberapa jam oleh anak-anak kecil macam aku yang sedang menikmati masa-masa kecil penuh bahagia walaupun tanpa PS (Playstation) ataupun peralatan game seperti mobil/pesawat radio kontrol.

Jenis patahan berikutnya adalah patahan mlaku (berjalan). Patahan ini tidak mengenal istilah berjengklek ria (melompat-lompat dengan satu kaki). Tapi dilakukan dengan berjalan. Tapi untuk mendapatkan sebuah tempat deprok (berdiri dengan 2 kaki aku harus melewati tahap-tahap yang melelahkan.

Dari berjalan membawa patah (potongan genting) sambil ditaruh telapak tangan terbuka yang merentang, lalu berjalan membawa patah ditaruh dipunggung telapak tangan yang juga di-rentangkan, kemudian berjalan dengan menaruh patah diatas tangan yang dibentuk seperti gelas dan patah dianggap seperti tutupnya dengan tangan ditekuk di depan dada, tahap berikutnya sama seperti tahap sebelumnya tapi sekarang tangan merentang, terus tahap mem-bawa patah ditaruh di atas pundak kanan setelah itu pundak kiri ke-mudian tahap patah ditaruh di atas kepala sehingga pandangan kita terus ke depan tanpa melihat gambar permainan dan kalau kita meng-injak garis maka giliran lawan yang akan jalan.

Tahap yang bisa dianggap semifinal permainan sebelum kita mendapat jatah lahan deprok adalah tahap membawa patah yang ditaruh diatas punggung kaki kanan kemudian gantian yang kiri lalu kita berjalan sambil membawa patah tersebut sehingga kita akan berjalan seperti korban patah tulang kaki yang jalan terpincang-terpincang tak karuan. Tahap selanjutnya berjalan tanpa membawa patah tapi mata kita dalam keadaan tertutup dan kita akan menebak-nebak gambar di tanah supaya tidak keinjak, persis seperti bapak buta yang mau me-nyeberang di jalan raya yang kesulitan tanpa dibantu pemuda normal yang melihatnya tapi enggan membantunya.

Itulah tahap terakhir dari patahan mlaku yang gambar permainannya seperti gambaar salip yang terbentuk dari kotak-kotak persegi dengan jumlah semau kita, kadang sebelas kadang cuma delapan.

Ada lagi patahan payung.Jenis patahan ini dimainkan diatas lingkaran yang dibagi menjadi 16 bagian busur lingkaran. Ukurannya dibuat sama antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Pada bagian bawah lingkaran terdapat kotak-kotak persegi yang dibentuk melengkung seperti gagang payung. Peraturan permainan ini adalah kita harus mengitari busur-busur lingkaran tadi dengan melompat-lompat bergantian antara kaki kanan dan kaki kiri.

Lompatan kaki kita bergaya seperti kora-kora di Dufan yang sedang beraksi. Jika kaki kanan diangkat kebelakang maka kaki kiri akan mundur ke belakang menggantikan posisi kaki kanan. Dan jika kaki kanan hendak turun maka kaki kiri maju ke busur bagian depannya. Terus hingga semua busur selesai dikitari. Jika patah menempati busur maka bersiap-siaplah untuk membuka kaki lebih lebar dan itu akan menguntungkan bagi yang berkaki panjang. Karena kalau kaki kita pendek kita bisa menginjak garis yang berarti kita akan kalah.

Aku juga mengingat kenangan belajar sambil planggrokan (bertengger) di atas pohon jambu klutuk (jambu biji) sepulang sekolah sehingga jika aku lapar tinggal ngkrikiti ( memakan sedikit demi sedikit) jambu tadi.

Kenangan belajar itu lebih mengena karena yang kupelajari adalah pelajaran IPS guna persiapan menghadapi ujian nasional. Alhamdulillahnya pas lulus aku menjadi juara kelas mengalahkan pesaingku yang perempuan.

Atau juga kenangan tak terlupakan yang lain yaitu permainan kasti. Ada juga game seru yang sekarang sudah jarang dimainkan anak-anak di desaku yaitu game sekéténg ( game menyerang lawan dan mengghindar dari serangan lawan.

Game ini hanya boleh dilakukan dengan 1 tangan, kalau kanan ya kanan saja dan kalau kiri ya kiri saja tidak boleh dua-duanya alias tidak boleh dengan tangan kanan-kiri. Baik dalam bertahan ataupun menyerang. Kalau menghindar boleh, mau lari sejauh-jauhnya terus tidak kembali juga boleh asal nanti kalau ibumu bertanya mencarimu kawan jangan salahkan kami.

Daerah ditubuh yang diincar adalah kepala dan kaki, kalau musuh sudah kena kepala atau kakinya maka dianggap kalah, biasanya kami bermain dalam 2 kelompok yang anggotanya tak terbatas dan dalam satu kelompok kami harus saling melindungi dari serangan lawan. Jika sudah kalah salah satu kelompok maka permainan akan diulangi dari awal dan hadiah bagi yang menang adalah sebuah kebanggaan diakui kehebatannya. Cerita lucu di sini adalah jika ada anak yang besar menyerang yang kecil. Dijamin 98 % yang kecil kalah, yang besar akan menang kecuali 2 sebab yang dapat membuat si besar kalah adalah yang besar jatuh atau diserang dari belakang. Karena di sini strategi juga menentukan kawan.

Saturday, June 20, 2009

Sepeda Jengki

Pedal 1
Desa kecilku


Suasana kedamaian dan asri tanpa asap polusi masih bisa dirasakan. Udara yang masih terasa bersihnya selalu menjadi asupan oksigen bagi warga desa kecil yang berada di perbatasan 3 kecamatan. Kecamatan Sragi di sebelah barat, kecamatan Bojong di sebelah selatan dan kecamatan Wiradesa di sebelah timur sedang di utara dibatasi oleh rel kereta api yang daerah seberangnya masuk wilayah Sragi dan Wiradesa. Semua kecamatan tersebut termasuk dalam Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah, pulau Jawa, Negara Indonesia, Regional Asia Tenggara, Benua Asia, Dunia / Bumi, Galaksi Bima Sakti, Alam Semesta.

Desa mini ini yang namanya diambil dari nama sebuah bunga berpenduduk kurang lebih 1500 jiwa. Dengan agama Islam menjadi agama yang dianut hampir seluruh warganya. Tak ada agama lain di desa ini. Dan sebagian penduduknya berprofesi sebagai petani. Walaupun ada yang berprofesi sebagai pedagang, guru, dokter dan penjahit. Padi masih menjadi idola tanaman di sawah. Dengan sebagian penduduk yang berpenghasilan dari padi maka di desa ini dibangunlah Pabrik Penggilingan Padi oleh seorang yang beruang. Beliau adalah H.Baedlowi. Meskipun sebenarnya pabrik tersebut posisinya ada di wilayah Sembung Jambu, Bojong.

Namun sekarang keadaan begitu memprihatinkan. Hampir semua remaja dan pemudanya merantau ke kota dan ke negeri orang. Sebagian memang sudah lulus SMA tapi tak sedikit yang baru lulus SD sudah merantau. Sehingga ketika kita datang ke Tunjungsari tidak pada Hari Raya kita tak akan menemui banyak remaja dan pemuda di sana. Yang ada hanyalah nenek-nenek dan janda-janda muda. Janda karena mereka banyak yang di tinggal suaminya ke kota walaupun sebenarnya mereka belum bercerai tapi ada juga yang memang janda betulan bukan bohongan. Padahal untuk merantau tidaklah segampang yang dibayangkan. Pendidikan sangatlah penting untuk mengarungi derasnya arus kehidupan kota. Apalagi pendidikan agama. Jika pendidikan agama kita dangkal atau iman kita tak tebal kita bisa terbawa arus yang menyeret kita ke dalam lumpur kehinaan dan lembah kegelapan serta kemaksiatan. Godaan kehidupan kota yang begitu materialistis, hedonis, apatis, dan individualis sanggup merubah seorang yanng tadi paginya Mukmin dan Muslim sorenya berubah menjadi Kafir dan murtad. Yang tadi siang adalah saudara, malamnya bisa menjadi musuh. Kalau malamnya adalah kawan siangnya bisa menjadi lawan.

Keadaan sekarang juga memprihatinkan. Remaja Tunjungsari yang dulu dikenal santri hingga jika ada teman mereka yang mau main jadi malu karena merokok dan tidak pakai kerudung. Kini remaja Tunjungsari sendirilah yang tanpa malu-malu lagi mengum-bar aurat mereka sendiri. Rambut terurai tanpa penghalang kerudung menjadi pemandangan yang bisa dikatakan lumrah sekarang. Atau bahkan memakai pakaian seperti LEPET yang begitu ketat sekarang menjadi tren mode. Padahal dengan gelar sebagai desa dengan semua penduduknya MUSLIM seharusnya pemandangan seperti itu tak pernah terlihat di desa ini. Namun kenyataan bercerita lain. Remaja muslim seolah dengan sukarela menyerahkan harga diri pakaian dan aqidah keislamannya kepada budaya barat yang begitu rendah. Sekali lagi begitu rendah. Semua budaya barat diembatnya mentah-mentah tanpa berpikir panjang. Idola mereka bukan lagi Nabi Muhammad ataupun para sahabat. Idola mereka sekarang adalah Delon, Rossa, Britney Spears, Madonna, Michael Jackson, BackstreetBoys, Ronaldinho, Agnes Monica, atau bahkan Inul daratista yang oleh seseorang diplesetkan namanya menjadi Inul Darah SETAN. Bolehlah mereka dijadikan idola khususnya dalam semangat berkreasi dan bekerja. Tapi kalau yang ditiru yang buruk-buruknya bagaimana? Sungguh miris hati ini. Kalau orang seperti aku saja miris bagaimana dengan para orang tua. Kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Budaya merokok bagi laki-laki seolah menjadi wajib. Kalau seorang aktivis organisasi saja merokok bagaimana dengan yang bukan aktivis. Atau kalau seorang ulama saja merokok bagaimana dengan umatnya. Padahal akibat dari merokok telah dicantumkan di bungkusnya. Mulai dari impotensi yang merupakan monster bagi seorang lelaki, serangan jantung, kanker hingga gangguan kehamilan dan janin. Namun produk olahan dari daun hijau yang cantik itu begitu memesona bagi remaja khususnya laki-laki. Katanya kalau tidak merokok banci & tidak gaul. Padahal itu hanyalah hasutan dari setan yang selalu mengajak manusia pada kehancuran. Dan bisa dibuktikan tanpa rokokpun seseorang bisa berprestasi dan tetep punya teman banyak yang berarti pergaulannya luas, iya kan! Ada lagi mitos bahwa merokok adalah hak asasi manusia dan jika mereka dilarang berarti yang melarang seseorang merokok maka ia telah melanggar HAM seseorang. Padahal yang merokoklah yang melanggar HAM orang yang tidak merokok untuk menghirup udara yang bersih dan tidak beracun (Republika, 5/9/07).

Wilayah desa ini termasuk dalam kawasan Kecamatan Sragi. Namun tahun 2004, bulan September Sragi dimekarkan menjadi 2 Kecamatan; Kec.Sragi di sebelah selatan dan Kec.Siwalan untuk bagian utara. Desa Tunjungsari kini masuk ke dalam Kec.Siwalan. Dengan Rukun Tangga (RT) sebanyak 17 dan Rukun Warga (RW) sebanyak 4. Desa ini juga dibagi menjadi beberapa dukuh. Dukuh Kauman, Dukuh Tunjung, Dukuh Klanyah, dan Dukuh gempol. Masing-masing dukuh merupakan nama lain dari Rukun Warga. Desa yang letaknya tidak dekat pantai juga tidak di pegunungan ini dipimpin seorang lurah/kepala desa yang dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan secara langsung yang acara pemilihan tersebut kami menyebutnya dengan ‘KODRAH LURAH’. Seorang kepala desa tidaklah digaji. Tapi ia mendapatkan sebuah sawah sepetak yang lebar yang kami sebut dengan ‘BENGKOK’. Cara bacanya bukan bengkok yang berarti melengkung tapi kata ‘BE’ di sini dibaca seperti kita mengucapkan ‘SE’ pada kata ‘SEDIH’.

Pemerintah desa menyediakan sarana dan prasarana. Dalam bidang pemerintahan sebuah Balai Desa terletak di tengah jantung desa yaitu di RT 07 RW 02. Bangunannya khas Jawa Tengah berbentuk ‘joglo’. Dalam bidang kesehatan di desa ini terdapat sebuah PUSKESMAS dengan sepasang suami-istri yang menjadi dokter di sana. Mereka berasal dari Semarang. Tanah pemakaman di desaku ada 4 tempat, 2 di Kauman, 1 di Tunjung, dan 1 lagi di Klanyah. Dalam urusan irigasi air terdapat sebuah sungai besar di bagian barat yang lebarnya ± 25 meter dengan dalam ± 3 meter.

Lalu ada sungai keci di sebelah timurnya yang dipisahkan oleh tanggul tanah alami (kami menyebutnya benteng) yang tingginya sekitar 3 meter juga. Satu sungai lagi berlokasi di tengah-tengah desa. Ia membelah desa dari ujung perbatasan desa paling selatan hingga ujung perbatasan desa paling utara. Di tengah jalan, sungai itu bercabang ke barat menuju sawah-sawah. Untuk urusan olah raga ada sebuah Lapangan sepak bola di bagian timur desa yang berbatasan dengan sawah. Walaupun tidak selebar Lapangan San Siro milik klub Italia AC MILAN yang penting kami punya lapangan sepak bola. Yaah, daripada tidak punya!

Dalam bidang pendidikan di desa ini terdapat 2 sekolah dasar. Satu sekolah dasar Islam Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) dan satu lagi Sekolah Dasar Negeri Tunjungsari. Serta 2 Taman Kanak-kanak (TK); TK Bustanul Athfal (Muhammadiyah) dan TK Muslimat (NU). Dalam bidang keagamaan ada 2 Masjid besar; di RW satu atau bagian selatan ada Masjid As Sholihin yang merupakan masjid ormas Muhammadiyah dan di RW 3 atau bagian utara terdapat Masjid ormas Nahdlatul Ulama yang namanya Baitul Muttaqin. Sedangkan Mushollanya ada 15 buah dengan rincian Muhammadiyah memiliki 5 buah, Nahdlatul Ulama (NU) 7 buah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) 3 buah.

Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah adalah sebuah sekolah swasta Islam yang di sana dulu aku mengenyam ilmu-ilmu dasar membaca, menulis, berhitung, menggambar, bernyanyi, berolah raga dan lain sebagainya. Membaca huruf-huruf alfabhet dari A sampai Z. Menulis huruf besar dan kecil serta huruf Arab baik latin ataupun gandeng yang seperti truk atau kereta api. Yang aku sendiri tidak tahu waktu itu dari mana huruf-huruf itu berasal dan siapa yang membuatnya? Berhitung angka-angka yang susah dari penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian dalam pelajaran Matematika. Belajar menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Mbah Wage Rudolf Soepratman serta lagu Gundul-gundul Pacul versi pop, keroncong sampai Rock.

Aku juga belajar menggambar peman-dangan dua gunung dengan jalan setapak di bawahnya diapit sawah di kanan dan di kiri serta di atasnya beterbangan beberapa burung Sruwiti ( burung kecil seperti burung walet yang jika terbang seolah tak pernah mengepakkan sayapnya dan seperti layang-layang putus saja). Gambaran itu teringat, terukir, tertanam dan terpahat jelas di memoriku hingga dewasa. Dan sewaktu aku di suruh menggambar pemandangan pada training MOTIVASI di Jakarta yang ku gambar ya persis seperti itu. Hingga sang Traineer menertawakan peserta yang menggambar pemandangan seperti itu. Bagaimana tidak di tertawakan? Yang namanya pemandangan itu kan tidak hanya pemandangan dua gunung dengan jalan setapak di bawahnya diapit sawah di kanan dan di kiri serta di atasnya beterbangan beberapa burung Sruwiti. Tapi bisa juga pemandangan itu adalah pemandangan malam dengan bulan purnamanya atau pemandangan SUNRISE dan SUNSET-nya yang sangat indah dan mengagumkan, bukan begitu? Atau yang lainnya. Lha ini dari kecil hingga dewasa bisanya gambar pemandangan, itu-itu saja!! Kapan majunya?

Di sana, di MIM itu juga aku diajarkan oleh Pak Mawardi guru olah raga asal Magelang yang tinggal di Petukangan, Wiradesa. Beliau senang memberi pelajaran Tenis Meja serta catur pada kami dan juga senam SKJ ( Senam Kesegaran Jasmani ) yang terus berseri seperti sinetron Tersanjung di Indosiar. Selain pelajaran Akademik aku juga diajarkan Ilmu-ilmu Agama Islam dari Sholat dengan syarat dan rukunnya hingga membaca dan menulis Alqur’an. Tak ketinggalan ilmu budi pekerti seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Kemuhammadiyahan.

Dan sewaktu di kelas 3 MI kutemui guru laki-laki yang jika mengajar suaranya bak mesin ISUZU PANTHER. Nyaris tak terdengar. Sehingga jika kami murid-murid diajar beliau dan duduk di belakang bersiap-siaplah untuk membuka daun telinga lebar-lebar supaya gelombang suara pak guru yang frekuensinya hanya 200 Hz itu tertangkap di telinga dan masuk ke otak kita.

Di kelas ini juga kepalaku pernah berdarah karena dibenturkan temanku ke dinding. Itu terjadi karena kebandelanku sebagai buah naluri kenakanlan anak laki-laki. Waktu itu aku berantem di kelas dengan sahabatku yang badannya lebih besar dari aku. Sehingga tubuhku yang kecil mudah saja baginya untuk dikalahkan.

Sedang waktu kelas 4 kami kemah TKA/TPA di Lapangan Api-Api, Wonokerto, Tingkat Kabupaten Pekalongan. Kami mewakili TKA/TPA Al-Himmah, Tunjungsari, Sragi dan waktu itu alhamdulillah kami juara UMUM 2. Aku sendiri alhamdulillah ikut menyumbangkan 2 gelar juara individu, juara 3 Lomba Baca Puisi Islami dan juara 3 Lomba Nasyid bareng saudaraku Saiful.

Aku juga diajarkan bagaimana caranya menghukum murid yang bandel, yang suka berisik dan kalau diperintah ia membantah. Pelajaran yang unik ini aku dapatkan dari Kepala Sekolahku yang usianya telah lanjut. Bahkan Ibuku sendiri katanya pernah diajarnya dulu. Hukuman itu adalah dengan menarik JAMBANG rambut anak yang bandel sehingga si anak menjerit kesakitan dengan keras seperti sedang belajar olah vokal do-re-mi-fa-sol-la-si-do-do-si-la-sol-fa-mi-re-do.

Di desa ini yang setiap hari jumat khususnya RT 06/01, ketua RT membunyikan TING (tiang listrik) dengan cara dipukul menggunakan batu untuk memanggil warganya supaya kerja bakti membersihkan jalanan dari rumput dan tanaman yang ranting-rantingnya menggangu jalanan dan menghambat aliran air di kalenan (saluran air). Dari anak kecil, remaja putra dan putri, ibu-ibu hingga bapak-bapak semua turun dan keluar dari rumahnya untuk ikut serta dalam kerja bakti. Yang bapak-bapak dan remaja putra membabat rumput dan ranting-ranting pohon. Yang ibu-ibu dan remaja putri menyapu sampah dan membakarnya serta ada yang menyiapkan minuman dan makanan. Sedang anak-anak ikut nimbrung membersihkan tapi kebanyakan hanya ikut bersenang-senang dan bermain karena kerja bakti memanglah ramai.

Semua warga begitu guyub dan rukun. Tak nampak bermusuhan. Walaupun kadang terjadi sedikit gesekan antar mereka namun hari itu adalah hari di mana setiap individu saling bahu membahu untuk menghasilkan lingkungan yang bersih dan asri. Dari jalan utama hingga jalan arteri yang menghubungkan antara gang yang satu dengan gang yang lain semua di bersihkan dan di rapihkan.

Setiap sebulan sekali, kami juga memandikan Musholla An Nurul Jannah. Satu-satunya musholla di Rt 06/01 desa Tunjungsari. Mengepel, menguras bak air selebar 3 meter x 1 meter, mencuci kambal/karpet musholla dan menjemurnya hingga kering dan membersihkan sawang/sarang laba-laba. Kami juga memperbaiki sasak/jembatan yang terbuat dari anyaman bambu ketika sasak tersebut mulai tercerai-berai.


Hari masih terang. Matahari juga belum memperlihatkan tanda-tanda akan terbenam. Tapi kambing-kambingku lari-lari. Ternyata ia terusik dan ketakutan dengan kedatangan kakakku yang lari menuju ke tempat di mana kambing-kambingku kugembalakan.

“Auu.....au.....au....., sikilku loro,” jeritku merintih.
“Kenopo Ibnu?” tanya kakakku.
“Sikilku kejiret tali sing nggo naléni wedus iki lo mas!” jawabku singkat.
“Yo wis kowé muléh rono kon simak kowé kon mangan sék, karo sekalian di obati, lha wedusé genténan aku sing angon!” kata kakakku yang ke 6 menjelaskan maksud kedatangannya.
“Iyo kang aku arep muléh, tapi sikilku loro nggo mlaku angél!”
“Alah loro semono bé, cah lanang loro koyo kuwi nggo tombo otot. Ra popo-ra popo!” kakakku mengejekku.
Dan bekas tali itupun hingga kini masih membekas di pergelangan kaki kananku.

Related Post

Related Posts with Thumbnails