Seorang pemuda muallaf diminta Ustadznya makan disiang hari. Padahal hari itu bulan puasa. Pemuda tersebut memang baru pulang dari Manado. Ia habis menghadiri pemakaman ayahnya yang non muslim. Karena masih dihitung musafir maka kewajiban puasanya luntur *kayak baju..*
Sebelum disuruh makan, pemuda itu bercerita sambil marah kalau ia tak mendapatkan bagian warisan dari ayahnya. Saudara-saudaranya beralasan ia telah pindah agama dan tak berhaq lagi.
Pemuda itupun ke dapur. Ternyata istri ustadz yang biasa dipanggilnya ibu itu telah menyiapkan makanan, minuman dan buah-buahan. Seusai makan ia kembali menemui ustadz yang selalu ia panggil Abah semenjak ia jadi muallaf. Ia ingin meneruskan ceritanya tentang ketidakadilan saudaranya. Sebelum pemuda itu bercerita panjang, sang Ustadz meminta pemuda untuk makan lagi. Karena merasa telah kenyang ia menolak dengan halus. Namun abahnya memaksanya untuk pergi ke dapur. Ia menurut. Ibunya telah mengambilkan sepiring nasi dengan lauk, segelas susu dan buah. Ia makan dilihat ibunya. Sehingga ia menghabiskan makanan tersebut.
Selesai makan yang kedua ia kembali menemui abahnya. Ternyata ia masih ingin mengadukan ketidakadilan saudaranya tentang pembagian warisan.
Melihat itu, Ustadz menyuruhnya makan lagi di dapur. Ia menolak dengan alasan bahwa ia kekenyangan. Tapi Ustadz tetap memaksanya supaya makan lagi. Ia menolaknya, tapi ustadz tetap mendorongnya ke dapur. Sang Ibu telah menyiapkan seporsi nasi lengkap dengan lauk ayam goreng dan sayur sop. Serta segelas Susu. Ia pun makan sambil berkali-kali memegang mulutnya supaya tidak muntah karena kekenyangan. Beberapa kali kejadian itu berulang. Karena tak sanggup melanjutkan makan ia pun menyerah. Dan memohon kepada Abahnya yang dihormatinya agar tak memaksanya melanjutkan makan lagi.
Mendengar murid sekaligus anak angkatnya menyerah, sang ustadz menjelaskan. Kalau hanya makan segitu saja sudah menyerah, kenapa engkau masih berkeras hati ingin mendapatkan jatah warisan?
Mendengar itu, pemuda itupun mengerti apa maksud abahnya yang memintanya makan sampai 3x dalam waktu berdekatan.
Sebelum disuruh makan, pemuda itu bercerita sambil marah kalau ia tak mendapatkan bagian warisan dari ayahnya. Saudara-saudaranya beralasan ia telah pindah agama dan tak berhaq lagi.
Pemuda itupun ke dapur. Ternyata istri ustadz yang biasa dipanggilnya ibu itu telah menyiapkan makanan, minuman dan buah-buahan. Seusai makan ia kembali menemui ustadz yang selalu ia panggil Abah semenjak ia jadi muallaf. Ia ingin meneruskan ceritanya tentang ketidakadilan saudaranya. Sebelum pemuda itu bercerita panjang, sang Ustadz meminta pemuda untuk makan lagi. Karena merasa telah kenyang ia menolak dengan halus. Namun abahnya memaksanya untuk pergi ke dapur. Ia menurut. Ibunya telah mengambilkan sepiring nasi dengan lauk, segelas susu dan buah. Ia makan dilihat ibunya. Sehingga ia menghabiskan makanan tersebut.
Selesai makan yang kedua ia kembali menemui abahnya. Ternyata ia masih ingin mengadukan ketidakadilan saudaranya tentang pembagian warisan.
Melihat itu, Ustadz menyuruhnya makan lagi di dapur. Ia menolak dengan alasan bahwa ia kekenyangan. Tapi Ustadz tetap memaksanya supaya makan lagi. Ia menolaknya, tapi ustadz tetap mendorongnya ke dapur. Sang Ibu telah menyiapkan seporsi nasi lengkap dengan lauk ayam goreng dan sayur sop. Serta segelas Susu. Ia pun makan sambil berkali-kali memegang mulutnya supaya tidak muntah karena kekenyangan. Beberapa kali kejadian itu berulang. Karena tak sanggup melanjutkan makan ia pun menyerah. Dan memohon kepada Abahnya yang dihormatinya agar tak memaksanya melanjutkan makan lagi.
Mendengar murid sekaligus anak angkatnya menyerah, sang ustadz menjelaskan. Kalau hanya makan segitu saja sudah menyerah, kenapa engkau masih berkeras hati ingin mendapatkan jatah warisan?
Mendengar itu, pemuda itupun mengerti apa maksud abahnya yang memintanya makan sampai 3x dalam waktu berdekatan.