Friday, June 26, 2009

Sepeda Jengki Pedal 7

Pedal 7
Perempatan Gumawang

Jam dinding menunjukkan pukul 05.15 wib. Dari dalam rumah sehabis sholat shubuh seorang remaja mengeluarkan sepeda jengki. Sepeda jenis perempuan berwarna biru merek PHOENIX pabrikan China. Dengan rem bos di bagian as roda belakang. Rem yang cara pengeremannya diputar berlawanan arah genjotannya dan sepeda jengki itu juga tanpa rem depan. Serta tanpa palang antara sadel dan setangnya. Sepeda itu juga memiliki tempat duduk di belakang alias boncengan. Sedang standard yang dipakai adalah standard 1 miring kurang lebih 10 derajat jika distandardkan dengan posisi di sebelah kiri. Sadelnya berwarna hitam dengan lampu di depan yang akan menyala jika ada aliran listrik yang dihasilkan oleh putaran dinamo. Sedang dinamo akan berputar jika roda depan berputar itu artinya lampu akan nyala jika sepeda dijalankan, jika sepeda berhenti otomatis lampu juga mati. Sepeda yang dibelikan ayahnya seharga Rp 150.000,- ini dibeli dari Paman Jahri setahun yang lalu. Tepatnya tahun 2002. Tapi bulannya ia kurang tahu. Paman Jahri adalah sahabat ayahnya. Dan si remaja itu adalah aku sendiri Ibnu Thoha.

Aku mengambil sepeda jengki itu dari rumah bagian belakang karena memang sepeda itu berada di ruang dapur. Aku lewat samping timur rumah menuju ke depan melewati halaman yang di sana terdapat pohon jambu monyet, pohon nangka, pohon kelapa, pohon rambutan, pohon kelapa gading dan pohon jambu biji. Kemudian belok kiri lewat selatan Musholla An Nurul Jannah.

Ku hendak pergi. Sebelumnya kuisi perut kecilku dengan sepotong roti sumbu/singkong rebus. Seperti biasa sebelum bepergian aku berpamitan dulu pada Ibuku. Aku bilang mau beli ballpoint ke rumah Mbak Sri. Pedagang makanan, minuman, alat-alat tulis dan keperluan rumah tangga. Lokasinya berada di samping selatan Masjid As Sholihin dan di belakang/sebelah barat Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tunjungsari.
Ya, biasa layaknya keadaan di desa, meskipun pagi-pagi buta kita membeli sesuatu di rumah pedagang, kita akan dilayani dengan senang hati. Begitu juga dengan Mbak Sri, ia akan melayani dengan senang hati pembeli yang datang, meskipun pagi-pagi buta. Padahal kalau mau ia tak perlu melayani pembeli macam aku dan kembali mendengkur di atas kasur empuknya.

Namun omongan atau pamitan untuk membeli ballpoint itu hanyalah sebuah perkataan basa-basi. Dalam hatiku aku bergumam, ”Maafkan aku Ibu, kalau aku telah berbohong”. Saat itu yang ada di-benak hatiku hanyalah ingin melaksanakan niatku yang telah terpen-dam beberapa bulan belakangan. Niat yang terpendam oleh emosi se-orang anak muda. Anak muda yang merasa sekali lagi merasa kecewa terhadap kurangnya kasih sayang kedua orang tuanya. Niat yang lahir oleh rasa iri dirinya terhadap keadaan teman-temannya. Bagaimana tidak kecewa, ketika teman-temannya bisa berangkat ke sekolah naik angkutan umum atau sepeda motor, ia harus naik sepeda. Kalau jaraknya dekat itu mungkin tidak masalah, tapi jarak yang harus ditempuh sampai ± 14 km ke sekolahnya.

Semua itu terjadi karena orangtuanya tak sanggup memberinya uang saku untuk naik angkutan umum. Selain itu ketika teman-temannya bisa dengan mudah untuk jajan makanan atau peralatan sekolah. Ia harus menabung dari uang saku yang tak seberapa. Walaupun ada beasiswa JPS (Jaring Pengaman Sosial) di sekolah, ayahku tak mengizinkan-ku meminta keringanan tersebut. Bahkan ketika sekolah memberiku beasiswa ”Supersemar”. Sebuah beasiswa yang didapat karena kita berprestasi. Akupun tak jua diizinkan oleh ayahku untuk mengambil-nya. Karena ada syarat yang harus dilengkapi yaitu meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Di situlah letak ketidaksetujuan ayahku. Makanya begitu aku memohon supaya ayahku pergi ke Balai Desa untuk meminta surat itu, ayahku tak juga berangkat ke Balai Desa.

Ibuku yang begitu sabar sedih, aku pun turut sedih. Akhirnya Ibuku meminta tolong pada saudaraku, yang kebetulan merupakan pamong desa untuk membuatnya. Entah apa yang ada dipikiran ayahku. Apakah ayahku mungkin merasa mampu walaupun nyatanya ia tidak mampu. Mungkin yang ada di kepalanya hanyalah gengsi, karena selama ini ia termasuk orang yang dihormati warga Desa Tunjungsari. Oleh sebab itu, yang ada dipikiranku itu bagaimana caranya agar aku tak bertemu dengan kedua orang tuaku khususnya ayahku. Walaupun sebenarnya ayahku baik dan disiplin dalam beribadah. Buktinya dulu waktu kukecil kalau waktu sholat telah tiba ia memanggilku untuk sholat berjamaah. Meskipun kala itu aku sedang asyik-asyiknya bermain. Entah itu shalat dhuhur ataupun ashar, maghrib, isya bahkan subuh. Padahal orang tua yang lain cuek-cuek bebek.

Ia pula yang pertama kali mengenalkan kepadaku kalau sholat jumat itu wajib bagi laki-laki sebelum pelajaran itu di sekolah kudapatkan. Sehingga jika hari jumat datang dan jam dinding menunjukkkan pukul 11.00 wib, aku belum pulang dari bermain karena hari libur, ia akan mencariku dan menyuruhku mandi untuk diajak jumatan. Padahal ketika itu aku masih berusia 6 tahun. Sungguh ia adalah orang tua yang begitu memperhatikan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Ia juga sering mengajarkan kepadaku tentang budi pekerti, bercerita masa-masa penjajahan, bercerita tentang seluk-beluk Tunjungsari, serta silsilah keluarga dari nenek-kakek buyut hingga lahirlah aku ke dunia yang semakin panas ini. Ia juga selalu mengajakku ke mesjid As Sholihin setiap sore di bulan Ramadhan untuk mendengarkan Tafsir Qur’an yang dilanjutkan berbuka bersama.

Dan waktu musim kemarau saben sore setelah adzan dan sholat ashar. Sewaktu matahari mulai condong ke barat. Ayahku juga mulai memimpin anggota keluarga kami. Mereka dikerahkan ke sawah sebagai pasukan penyiram tanaman ketimun yang di tanam di sawah di belakang rumahku. Bahkan kakakku yang kelima ’Dila’ juga ikut menyiram timun meskipun sebenarnya ia sedang hamil kala itu. Ayahku menimba air di sumur buatan yang ia gali sendiri di sawah saudara ayahku yang kering di musim kemarau. Ia mengambil lokasi sumur di sawah bagian pinggir tepatnya di bawah pohon mangga golek.

Awalnya air buat nyiram ketimun kami bawa dengan cara ditenteng seember-seember. Satu di tangan kanan dan dan satu di tangan kiri. Namun karena jalan yang harus di tempuh ± 15 meter dan jika dijalani secara bolak-balik begitu terasa capeknya di badan dan cepat membakar serta menghabiskan banyak kalori dan tenaga kami. Maka ayahku mengeluarkan ide cemerlang. Ia memasang selang yang terbuat dari plastik sebagai saluran air dari sumur ke sawah di mana timun di tanam. Ia membuat semacam tempat penampungan air timbaan yang tebuat dari ember besar. Ia taruh penampungan itu setinggi pundak dan bagian bawahnya dilubangi lalu selang plastik tadi dipasang pada lubang tadi. Sehingga air yang ditaruh di tampungan otomatis mengalir ke sawah tempat dimana timun berada. Ide itu muncul sesuai dengan teori fisika di mana air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Meskipun tetap menenteng namun jaraknya yang harus ditempuh berkurang 90% dan penentengan hanya terjadi di area sawah di mana ada timun di situ.

Ketika bacaan surat Al-Baqoroh ayat 31 mulai berkumandang dari Masjid di Waru Kidul selang kami rapihkan. Karena bacaan itu menandakan kalau adzan maghrib segera mengangkasa. Dan kami sendiri harus mandi dan bersiap-siap untuk bergegas ke Musholla di samping rumah guna mendirikan salah satu kewajiban kami sebagai seorang muslim yaitu sholat Maghrib berjamaah. Begitulah setiap pagi dan sore kegiatan kami sekeluarga selama masa pelanggaran. Masa di mana sawah mengalami kekurangan pasokan air dan dia tidak bisa ditanami padi. Karena padi merupakan tanaman yang membutuhkan banyak asupan air. Maka tanaman yang tak butuh banyak air menjadi alternatif. Seperti ketimun, walaupun sebenarnya sama-sama membutuhkan air. Jika masa pelanggaran, tidak hanya ayahku saja yang menanam sawah bukan dengan padi tapi juga petani-petani yang lain. Ada yang menanam semangka, kacang panjang atau kacang hijau.

Di samping itu, aku juga mempunyai masalah dengan anggota dan pengurus Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) sebuah or-ganisasi remaja yang bernaung di bawah ormas Islam Muhamma-diyah. Waktu itu aku tidak mau dijadikan ketua IRM, namun waktu pemilihan ketua IRM aku tetap dicalonkan. Dan yang terjadi akhir-nya aku terpilih menjadi ketua IRM periode 2002/2003.

Akhirnya semua program-program IRM yang telah direncanakan banyak yang tidak sukses dalam pelaksanaannya. Setiap rapat aku hadir terlambat atau bahkan aku tak hadir dan tak tampak batang hidungku yang mancung sama sekali. Dengan berbagai alasan yang klasik hingga mutakhir sampai jujur malas untuk hadir di rapat aku ungkapkan. Setelah IRM kubuatnya tak exist, selanjutnya sekolahku mulai berantakan. Ke sekolah sering terlambat, nilai-nilai ulanganku jeblok, absensiku / ketidakhadiranku di sekolah juga banyak. Sifat-sifat buruk dari syetan muncul dari pribadi yang dulu dikenal santun, ramah dan sopan ini. Sifat-sifat tak terpuji juga terbit dari mantan ke-tua OSIS SMP N 2 WIRADESA yang dikenal disiplin dan bertang-gungjawab ini.

Mudah marah, mudah tersinggung, indisipliner, pem-bohong / pendusta, ingkar janji, tidak amanah adalah beberapa sifat jelek yang muncul dari mantan juara III Lomba Baca Puisi Tingkat Jateng tahun 1997 bulan Oktober di Banyumas dan mantan juara kelas MIM dan SMP serta mantan santri Ma’had Al Hasan Al Bashri ini. Namun dengan alasan-alasan yang aku ungkapkan semua yang berurusan denganku tetap percaya padaku. Dan lagi-lagi yang ada di pikiranku adalah bagaimana caranya agar aku tak bertemu dengan mereka. Dan puncaknya adalah pagi ini. Aku merencanakan kabur dari rumah. Padahal seharusnya bagaimana masalah itu diselesaikan bukan malah dihindari. Sehingga bagaimana mungkin suatu masalah akan cepat selesai kalau terus dihindarinya. Sebuah pendapat mengatakan, ”Suatu masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk dihindari”. Namun yang ada dikepalaku hanyalah kabur. Padahal kalau dipikir-pikir masalahnya tak begitu serius tapi bagiku masalah ini adalah masalah serius. Apa sebab? Sebab semua hal itu membuat pikiranku tertekan dan bathinku tersiksa.

Beberapa usaha telah kulakukan untuk meredam keinginan kaburku. Mulai dari sering membaca buku-buku psikologi, pertanian hingga bermain PS. Namun hasrat itu tetap tinggi. Setan setiap hari menggodaku untuk kabur. Bahkan setiap pagi dan sore hasrat itu begitu kuat. Untuk meredam keinginan kabur iitu aku sengaja bermain bola setiap hari dengan teman-temanku. Meskipun hari itu hujan, aku akan menuju lahan kosong yang biasa kami gunakan untuk bermain. Sering pula aku menangis dalam membaca Alqur’an dan sholatku. Sayangnya aku adalah pribadi pendiam dan suka merahasiakan segala sesuatu. Sehingga ketika terjadi suatu masalah padaku, aku akan memendamnya dalam-dalam. Berceritapun aku berani. Bahkan untuk meminta uang saku pun aku sering tak berani kecuali benar-benar terpaksa. Biasanya Ibuku yang memberi bukan aku yang meminta.

Pagi ini suasana desa masih diselimuti kegelapan. Desa kecil ini juga masih sepi, hanya baru beberapa orang yang mulai beraktivitas. Ada yang jalan-jalan, ada yang mulai berangkat ke sawah atau para pedagang tempe yang akan menjajakan tempenya. Tak nampak kecurigaan dari mereka terhadapku.

Aku tersadar dan bergumam, “Mumpung desa masih sepi dan gelap aku akan kabur dari rumah sekarang, apalagi ujian semester ganjil kelas 2 STM-ku telah usai. Dan seandainya aku ingin kembali ke rumah nanti, anggaplah ini liburan yang menyenangkan yang tak pernah aku dapatkan dari orang tuaku sewaktu kecil. Walaupun dulu waktu liburan MIM kelas IV aku pernah diajak ke Jakarta naik bus sampai semua isi perutku habis terkuras karena muntah hingga muntah yang berwarna kuning dan pahit, tapi di sana aku hanya ikut jualan peyek ke pasar. Bukan diajak ke tempat-tempat wisata.

Jadi yang terasa padaku adalah liburan yang tak berkesan. Kecuali kesan jadi penjual peyek. Kesan yang tentunya tak diharapkan oleh anak kecil macam aku. Padahal sebelum aku berangkat ke Jakarta aku sudah membayangkan akan diajak kakakku, Mbak Buroh ( Kakak nomor 2 yang tinggal di Jakarta ) jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah atau ke Taman Impian Jaya Ancol atau Ragunan atau Monas. Tapi yang kudapat adalah mengisi liburanku dengan bangun pagi buta mendorong gerobak warna biru dan mengantar Mbak Buroh ke Pasar Jambul jualan peyek. Sebuah pasar kecil di bilangan Cililitan, Jakarta Timur.”

Aku mulai mengayuh sepeda jengki menyusuri jalan desa melewati sawah-sawah yang berada di kanan dan kiri jalan. Aku lewat Dukuh Klanyah. Walaupun desa, jalan-jalan utama telah diaspal. Kegiatan ’petualangan’ ini aku laksanakan bulan Januari 2003. Di mana masa ujian semester 3-ku di jenjang STM telah kulalui.

Dalam perjalanan, sewaktu mulai meninggalkan Desa Tun-jungsari ( Kec.Siwalan dulunya Sragi ) dan akan memasuki Kam-pung Dukuh, Desa Ketandan ( Kec.Wiradesa, Kab. Pekalongan ) da-lam hatiku ingin rasanya aku kembali. Dan mengurungkan niat bu-rukku ini. Niat yang dapat membuat banyak orang panik. Khusus-nya kedua orang tuaku. Lebih-lebih Ibuku yang begitu sayang pada-ku. Niat yang dapat membuat Kakak-kakakku, teman-temanku atau mungkin guru-guruku merasa kehilangan diriku. Walaupun sekarang aku telah berubah, aku tetaplah adik yang dulu penurut, teman yang dulu setiakawan, sering membantu mengerjakan PR dan taat beribadah serta rendah hati, murid yang dulu sering membantu bapak dan ibu guru membawakan buku tugas anak-anak tanpa harus diminta, meminta tugas ke ruang guru waktu jam kosong disaat teman-temanku ingin pada bolos, murid yang sopan, santun, disiplin, bertanggungjawab & pandai.

Niat yang bakal menggemparkan desa. Niat yang bakal membuat nama keluarga tercoreng. ”Selain itu, desa ini juga akan kehilangan mantan juara dan tunas desa yang berprestasi seperti aku tentunya jika aku jadi pergi dari sini. Eit jangan sombong, kau harus rendah hati meskipun kenyataannya memang demikian.,” lirihnya di hati bagian empedu sambil beristighfar karena aku ingat hadits nabi Muhammad SAW berkenaan dengan bahwa orang yang sombong tidak akan masuk surga walaupun kesombongan itu seberat biji dzarrah ( partikel terkecil di dunia ) semacam inti atom neutron atau proton.

Setelah menggenjot pedal sepedaku pelan-pelan akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan niatku itu. Sepeda kukayuhnya me-nyusuri jalan raya beraspal Wiradesa-Bojong. Pagi itu kebetulan ja-lanan sepi, tak banyak angkutan pasar yang lewat. Mungkin mereka kesiangan atau telah sampai di pasar lebih dulu. Atau diriku yang memang berangkat pagi-pagi buta. Desa Ketandan-Desa Waru Kidul-Desa Waru Lor-Desa Kampil dan Kel. Gumawang telah kulewati sa-tu per satu.

Di perempatan Gumawang, Wiradesa aku berhenti sejenak. Sebuah perempatan yang berdiri pos polisi di sebelah kanan aku berdiri terus traffic light ada di masing-masing lajur jalan. Baik yang ke timur, barat, utara, ataupun yang ke selatan. Lalu toko kelontong dan makanan serta buah-buahan dan antimo milik orang china berada di sebelah kiriku yang duduk di atas sepeda jengkiku menghadap ke uatara. Di belakang toko tersebut terdapat GEREJA PANTEKOSTA. Aku tahu kalau itu gereja karena di bagian depannya terdapat lambang kayu silang seperti tanda plus dalam operasi penjumlahan yang ditempelkan di dinding. Bedanya kayu yang vertikal lebih panjang dari pada kayu yang horizontal. Di utara seberang jalan sebelah kanannya nongkrong sebuah gedung penjual jasa fotokopi dan sebelah kirinya banyak warung bakso dan sate. Sedangkan di atas jalan persis tengah-tengah perempatan menyilang besi yang ditopang tugu pembagi jalan barat, timur, utara dan selatan.

Aku berhenti karena di situ di perempatan Gumawang tiba saatnya aku harus menentukan arah perjalanan selanjutnya. Belok ke kiri yang artinya aku melanjutkan niat kaburku ke arah Jakarta dan daerah barat lainnya atau ke kanan melanjutkan niat kaburku ke arah Semarang dan daerah timur lainnya. Sedangkan kalau ke utara atau menyeberang jelas itu tak mungkin karena aku akan bertemu dengan laut utara Jawa meskipun kalau menyeberang laut bisa ketemu daratan Kalimantan. Sedang dalam silsilah keluargaku tak ada satupun yang menjadi seorang pelaut. Atau pilihan yang keempat adalah berbalik arah ke selatan dan kaburnya dirubah ke arah daerah-daerah di selatan macam Kebumen dan Magelang. Atau pilihan yang terakhir yaitu mengurungkan niat kaburku dan kembali ke rumah serta melanjutkan kehidupan seperti biasa. Tak mungkin aaahh...

“Kalau aku ke Jakarta di sana ada Kakakku atau orang-orang desa Tunjungsari lainnya yang merantau disana, nanti ketahuan! kan aku pingin kabur. Kalau aku ke Semarang atau ke daerah timur lain-nya setahuku di sana tak ada saudara atau tetangga yang merantau di sana. Dan jika aku balik ke rumah…..aku akan bertemu dengan ayah-ku yang sok gengsi itu dan teman-temanku yang membuat aku gerah untuk tinggal di sana. Kalau aku lanjutkan kabur aku akan makan apa nanti, uangku tak cukup untuk hidup walau hanya beberapa hari saja,” gumamku dari hati kecilku.
”Bisa-bisa aku jadi gelandangan, iiiihhhhhh…..ngeri, aku kan anak rumahan masa jadi gelandangan apa kata dunia,” gerutuku sambil menggerakan badanku yang merinding.

Hatiku dan akalku sembrawut tak karuan, benar-benar kacau balau. Pelan dan pelan kakikupun mengayuh pedal mengikuti arah setang sepeda yang dibelokkan ke kiri oleh tanganku yang mengikuti perintah sang juragan ”otak” ku. Di dalam kebimbangan dan kera-guan, serta perasaan sedih dan kecewa. Sedih karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Kecewa karena kenapa nasibku selama ini kok begini.

Aku jadi teringat dengan kata-kata ibuku dulu, ”Nak, coba kamu lahir di Keluarga H.Baedlowi. Hidupmu pasti tak akan begini, kamu pasti akan senang. ”H.Baedlowi sendiri adalah Pak De ku dari pihak Ibu. Ia adalah salah satu orang yang kaya di desaku. Ia punya Pabrik Penggilingan Padi yang cuma satu-satunya di desaku. Namun takdir berkehendak lain sehingga aku dilahirkan di keluarga yang kekurangan ini.

5 comments:

  1. Hmmmm.... sungguh kisah hidup yg memprihatinkan.
    Sabar Sob, ini semua hanyalah ujian dari Alloh, kehidupan emang kadang diatas kadang juga dibawah. Mungkin memang belum saatnya kamu berada di atas. Sabar aja, tunggu hingga nanti saatnya tiba.
    Ayo semangaaaaat...!!

    ReplyDelete
  2. @riosisemut aku terharu...terima kasih kang...insya sekarang aku menjadi lebih paham tentang kehidupan ini...

    ReplyDelete
  3. hidup ga harus kaya harta yg penting kaya ilmu dan ibadah,,,segala sesuatu prbuatan dg diniati ibadah insyaAllh berkah,aminn

    ReplyDelete

Sahabat katakan sesuatu untuk dasir..perkataanmu kan memotivasiku untuk terus berkarya...

Related Post

Related Posts with Thumbnails