Pedal 3
Sayur Lodeh
Ayam jantan berkokok diikuti gema adzan subuh dari masjid As Sholihin yang dikumandangkan oleh Lek Rali. Suara kokok ayam dan adzan itu membangunkan kami dari mimpi indah. Udara dingin menyambutku setelah ayahku membangunkanku dengan membelaiku penuh kasih dan sayang. Ia sendiri telah bangun terlebih dahulu bareng ibuku. Mungkin sebelum subuh keduanya mendirikan sholat tahajjud. Hampir setiap hari ia tak pernah lupa mengingatkanku untuk diajak sholat shubuh berjamaah di musholla samping rumahku. Dan ia akan membangukanku jika aku belum terbangun, namun kadang aku juga lebih dulu bangunnya dari mereka jika aku sedang rajin.
Kring..kring..kring..kring..suara bel sepeda jengki Lek Khaliri membelah pagi desa kecil Tunjungsari. Jika Sang penjual tempe itu sudah berangkat membawa keranjangnya yang berisi tempe menandakan jam dinding telah menunjukan pukul 05.30 wib.
“Ibnu, mono tuku tempe Rp 1000,-,” pinta ibuku
“Endi duwite, Mak!” jawabku
“Kiye, bar kuwi tuku sego nggon Wo Wahayu 3 bungkus yo!”
“Inggih, Mak!”
Ku berjalan menemui Lek Khaliri. Sekotak tempe berukuran 10 x 20 cm diserahkan Lek Khaliri padaku.
“Matur nuwun, Lek! niki artone.”
“Podo-podo, Ibnu!”
Aku adalah bontot dari 8 bersaudara. Sebenarnya kalau mau ibu akan menyuruh kakakku yang membeli nasi tapi ibu ingin mnegajari aku untuk tidak menjadi anak yang manja.
Dengan berjalan kaki aku menuju warung Wo Wahayu. Jaraknya memang tak seberapa dengan rumah ibuku ± 400 m. Dalam sekejap mata berkedip pun aku mungkin sudah sampai ke sana jika aku berlari. Warung nasi yang buka tiap pagi itu menyediakan sarapan berupa nasi megono, bubur, sayur lodeh, teh manis dan krupuk sebagai lalapan. Tidak hanya aku dari kauman kulon yang jadi pelanggannya, tapi hampir dari penjuru desa. Walaupun tidak semuanya he..he..he..he..he..
Nasi tersebut bisa dibungkus untuk dibawa pulang dan dimakan di rumah atau mau dimakan di warung juga bisa. Kalau dibungkus Wo Wahayu menyediakan godong gedang (daun pisang) sebagai pembungkusnya. Sedangkan apabila ingin makan di sana, Wo wahayu menyediakan piring beling (piring kaca).
Warungnya berada di depan rumahnya menhadap ke selatan. Dengan ukuran ruangan 4 x 4 m warung tesebut mampu menampung 1 meja besar tempat Wo Wahayu menaruh barang-barang logistik. Terus 2 tempat duduk/kursi berukuran besar dan panjang yang terbuat dari kayu jati berukir di senderannya menempati sebelah timur dan selatan meja itu. Jendelanya berbentuk lempengan kayu yang bisa dilepas dan dipasang. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sederhana tapi bersih dan rapi. Namanya juga Wo Wahayu. Kalau boleh diartitkan Wahayu = Wah + Ayu (cakep). Jadi kalau warungnya tidak rapi nama pemiliknya bisa diganti dengan Wahelek = Wah + Elek (jelek). Tapi aku tak tahu, kenapa beliau diberi nama Wahayu. Wallahu a’lam bi shawab.
Aku datang ke sana kurang lebih pukul 05.45 wib. Nasi belum diangkat dari tungkunya. Megono pun baru selesai dijunjung dari dandang. Sayur lodeh telah tersaji di baskom seng. Aku memang pelanggan yang datang paling awal. Berberapa orangn dewasa datang menyusul di belakangku. Wo Wahayu datang dari dapur sambil mengusap rambutnya dengan tangan kanan. Mungkin ingin terlihat rapi bagi pelanggannya. Rambut putih telah menghiasi sebagian komunitas rambut di kepalanya. Rambut tak berkerudung itu di ikat dengan rambut itu sendiri. Kami orang desa menyebutnya digelung untuk model rambut yang hanya digandrungi kaum hawa tua. Ia mulai melayani pembeli dengan bertanya penuh ramah.
“Kowe opo Leh?” tanyanya padaku.
“Sekul megono kaleh mboten ngagem jangan, sing setunggal sekul megono ngagem jangan, Wo!”
“Wo, aku ndisik yo. Soale anakku arep mangkat sekolah adoh!” kata perempuan bernama Rahmah beralasan.
“Aku podo wae Wo njaluk ndisik, bojoku arep mangkat kerjo!” kata perempuan satunya.
“Piro Mbak Rahmah?”
“5 bungkus, 3 megono ora nganggo lodeh, sing siji nganggo lha sing siji bubur kanggo anak cilikku!”
Wo Wahayu membungkuskan nasi megono untuk Mbak Rahmah. Ia meninggalkan pelanggan pertamanya, aku. Satu pelanggan mendahuluiku.
“Matur nuwun, Wo. Niki Rp 2.500,-!“ ia menyerahkan uang pada Wo Wahayu.
“Njenengan nopo, Bu?” tanya Wo Wahayu pada wanita bersuamikan orang kantoran itu.
“Telung bungkus sego megono nganggo lodeh Wo. Sing siji dipepes yo Wo karo kei tempe. Siji bae tempene!”
Dengan cepat dan tangkas Wo Wahayu membungkus satu persatu nasi megono.
“Iki wo duwite Rp 1.750,-“
Pelanggan berikutnya datang. Seorang perempuan tua. Usianya kurang lebih 65 tahun. Ia juga minta didahulukan. Aku mengalah. Tak mungin aku berkeras diri. Di mana budi pekertiku. Ia datang dengan beberapa orang.
“Wo, njenengan pinten bungkus?” tanya Wo Wahayu pada perempuan tua bernama Siti itu. Ia memanggil Wo Siti dengan “Wo” karena Wo Wahayu lebih muda dari Wo Siti.
“Sak bungkus wae, Yu!”
Berikutnya bapak-bapak datang ingin sarapan di situ sebelum berangkat ke sawah. Wo Wahayu pun mendahulukan mereka. Kesabaranku menunggu dan mengalah mulai terusik karena jam telah menunjukan pukul 06.25 wib.
“Wo aku ra Wo. Moso, aku tekone paling ndisik ko didodoline terakhir!!” aku protes.
“Ngko ndisik Leh yo!”
Pelanggan berikutnya datang silih berganti minta didahulukan hingga Wo Wahayu melupakan aku. Aku sudah kehabisan kesabaran. Apalagi jam telah berdentang dengan jarum panjang telah berada di atas angka 9 dan jarum pendek berada di atas angka antara 6 dan tujuh. Itu artinya sebentar lagi pukul 7 pagi. Waktu di mana aku harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku belum mandi apalagi sarapan. Hati dongkol & darah panas mengalir di sekujur badan. Dengan wajah merah menahan tangis serta mata yang mulai berair aku meninggalkan warung sambil memukul pintu warung.
Dalam hati aku bernyanyi lagu sedih. Umpatan dan cacian bertubi-tubi keluar dari mulut mungilku.
“Asem, dl@3876....!!!!! Kurang Ajar @#$@*%(!!)Astaghfirullah.!!”
Kadang memang orang tua itu terlau egois. Mereka tidak memperhatikan perasaan anak kecil macam aku. Bagaimana mungkin aku yang datang paling awal harus pulang tanpa menenteng sebungkuspun nasi megono. Walaupun anak kecil tak seharusnya mereka mengkerdilkannya. Inikah teladan orang tua bagi anak kecil seperti aku. Jika aku mau aku bisa mengobrak-abrik dagangan Wo Wahayu. Tapi dalam diriku telah tertanam sifat kesabaran ibuku yang tak mungkin luntur begitu saja oleh sebungkus nasi megono.
Aku tak habis berpikir bagaimana orang tua yang kata orang telah memakan bangku sekolah dan banyak garam masih begitu rendah rasa menghargainya meskipun terhadap anak-anak. Kalau terhadap anak kecil saja seperti itu bagaimana terhadap orang tua. Dari Ibu istri kantoran, nenek-nenek hingga bapak-bapak.
Walaupun anak kecil, sepatutnya orang yang lebih dewasa menghargainya. Budaya antri memang belum tertanam dalam jiwa rakyat desaku. Semoga Allah mencurahkan rahmat pada mereka sehingga dikemudian hari mereka akan lebih menghargai dan memahami perasaan anak kecil sehingga di Negara ini lahir para pemimpin berakhlak mulia karena tauladan yang mulia pula.
No comments:
Post a Comment
Sahabat katakan sesuatu untuk dasir..perkataanmu kan memotivasiku untuk terus berkarya...