Pedal 6
Cacing dan Typhus
Ku pandangi wajahnya yang mulai menua dan keriput. Ia tampak tulus dan terlihat kelelahan. Kepalanya di baringkan di atas kedua tangannya yang saling tindih antara tangan kanan dan tangan kirinya. Sedang tangannya yang seharian bekerja keras itu disandarkan pada bibir ranjang tempat tidur di mana aku membaringkan tubuhku yang lemas karena sakit.
Selama hampir 24 jam ia melayani, menunggu dan merawat aku, menyuapiku, menemaniku, menghiburku dan mendoakanku tanpa mengenal lelah. Hatiku terlalu rapuh untuk terus memandangi wanita tegar ini. Tak kuasa aku menahan mata ini. Mataku kabur tatkala mengingat segala kasih dan sayang yang ibu berikan, dan berlinangkanlah mutiara bening dari sudut mataku. Ingin aku memeluknya, tapi tubuhku terlalu lemas untuk bergerak sehabis aku memuntahkan segala isi perut. Tadi ibu membersihkan muntahan yang keluar dari perutku.
Aku cacingan kata Dokter Affandi yang memeriksaku pukul 20.00 wib. Di desaku ia lebih akrab dengan panggilan Pak Wandi. Ia dipanggil ke rumah karena aku mengerang kesakitan. Dan muntah beberapa kali serta buang air besar 2 kali. Mencret lagi.
Dan pukul 23.00 wib ini ia istirahat di sampingku karena kecapekan. Ibuku tidur dengan lelapnya. Ku lihat sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bertanya dalam hati apakah ia masih hidup ataukah telah tiada. Alhamdulillah, perutnya masih bergerak naik dan turun yang menandakan ia masih hidup. Tak bisa kubayangkan seandainya ia tiba-tiba meninggalkanku untuk selamanya. Sungguh tak bisa. Mataku kembali kabur menahan tangis dan air mata yang membasahi kelopak dan bulu mataku dan mulai membasahi bantal.
“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku. Mungkin ia tak bisa mendengar karena masih tertidur, tapi tak apalah.
Dua karung gabah masing-masing berbobot 52 kg dan 53 kg. Keduanya nangkringdi langkring depan dan boncengan belakang sepeda jengkiku. Dengan kepayahan kutuntun pelan-pelan sepeda. Hari ini aku mendapat tugas membawa gabah itu ke pabrik penggilingan padi Pak De H.Baedlowi. Beras hasil penggilingan rencananya mau digunakan untuk hajatan nikahan kakak kelimaku, Dila. Tahun 2001 ia dilamar orang Tirto, kota Pekalongan.
Pukul 14.00 wib. Matahari mulai lengser dari singgasana tertingginya. Antrean di pabrik Ricemill mulai banyak setelah buka pukul 1 lebih 45 menit. Bahkan ada yang sudah menuggu di luar gedung pabrik sejak pukul 13.00 tadi. Biasanya yang begitu adalah warga dari luar desa Tunjungsari. Nash, karyawan Pak de memutar diesel. Asap hitam mengepul dari corong knalpot diesel. Asap hitam yang keluar dari pembuangan kotoran diesel berbahan bakar solar itu menimbulkan bau yang tak sedap. Diesel itu sebagai motor penggerak mesin penggiling padi. Getaran yang ditimbulkan mesin penggiling terasa mengguncang gedung. Kebisingan yang ditimbulkan diesel dan mesin penggiling memantul ke dinding memekakan telinga.
Karung bertuliskan netto 50 kg tapi berisi ± 53 kg gabah kering milik orang diangkat nash ke kepala sebelum ditumpahkan ke corong mesin Ricemill. Enteng sekali kelihatannya. Mungkin karena Nash sudah terbiasa jadi gabah segetu mungkin dianggapnya tumpukan kapas kali ya sama Nash. He..he..he.. Bagaimana tidak biasa? Ia sudah kerja di situ sejak aku masih MI hingga aku STM. Kulit gabah atau kami sering menyebutnya dedeg muncrat dari corong ke penampungan sementara di ruang belakang mesin Ricemill. Sedang beras hasil kelupasan mengalir ke bakul melalui corong depan. Bakul terbuat dari anyaman bambu telah dipersiapkan Nash untuk menampungnya. Jika bakul telah penuh, Nash menuangnya ka karung. Padi punya orang telah selesai digiling dan Nash meminta sang empunya untuk mambawa beras yang telah terkuliti ke mesin Ricemill pembersih yang berada di sebelahnya.
2 karung padi kering milikkku mendapat giliran untuk dipecah. Kebetulan aku mendapat urutan nomor 5. Aku bersiap menadah padi kelupasan dengan bakul. Lalu kumasukkan ke karung bekas gabah tadi. Setelah itu kugeret karung pertama ke mesin Ricemill pembersih yang jaraknya sekitar 2 meter dari mesin pemecah gabah. Berikutnya karung kedua menyusul di belakang karung 1 untuk antri.
Waktu ashar telah tiba. Tapi berasku belum bersih juga. Tepat pukul 16.15, 2 karung berasku mendapat jatah untuk dibersihkan. Bekatul dari padi kukumpulkan untuk umpan ayam di rumah. Selesai sudah beras digiling oleh karyawan yang satunya. Beras ditimbang oleh Bu De ku, Wo Khur. Ia istri dari Pak De H.Baedlowi. Tadinya bukan ia yang jaga, namun sepeninggalnya pak De mau tak mau ia harus jaga Ricemill. Total jenderal beras yang digiling ada 60 kg. Biayanya Rp 6000,- dengan perhitungan biaya jasa penggilingan adalah Rp 100/kg. Sedangkan bekatulnya di gratiskan kata Wo Khur.
“Matur nuwun nggih Wo!” ucapku.
“Podo-podo Ndung!!” jawab Wo Khur ramah.
Beras yang tadinya 2 karung kini tinggal 1 karung setelah mengalami proses penggilingan. Kuangkat beras tadi dengan kupeluk dan menggunakan kedua tanganku memegang pojokan karung tersebut. Sedangklan bagian atasnya biar tertutup rapat ku pocong dengan tali rafia kuat-kuat. Kuletakkan komplotan beras dalam karung itu di boncengan belakang sepeda jengki. Supaya tidak jatuh kuikat karung dengan tali yang kubuat dari sobekan karet ban dalam sepeda bekas. Perasaan beras 60 kg dengan gabah 105 kg lebih enteng gabah 105 kg. Apa karena aku sudah kecapekan kali ya. Aku merasa tak kuat memboncengkan beras 60 kg. Sepeda jengkiku bagian depan hendak terangkat sewaktu aku mau mulai menggenjotnya.
“E…e..ee..eee..eee”
Dari belakang seorang Paman berteriak, “Ati-ati, ndung!!”
“Inggih, Lek!” sahutku.
Sepeda berjalan 10 meter sepedaku goyang ketika menuruni turunan yang tak mulus jalannya.
Dan….”GEDEBUG!!!!!”
Beras setengah karung itu jatuh dari boncenganku. Bersamaan itu pula sepedaku roboh ke kiri. Dan aku sendiri ikut roboh. Bokong karung itu sobek tersangkut baut as roda belakang. Mungkin aku kurang kuat sewaktu mengikatnya.
Lek Rali lari dari teras rumahnya. Ia menunduhku yang terjatuh. Aku disuruhnya memegang setang sepeda kuat-kuat. Ia lalu mengangkat beras dan menaruhnya di langkring depan. Setelah itu ia memintaku duduk di boncengan sambil mengemudikan sepeda. Jadi sepedanya tak ku genjot kawan. Tapi bisa dikatakan dituntun.
Cahaya matahari di ufuk barat mulai kemerahan. Ashar hampir habis. Jam dinding telah memperlihatkan jarum pendeknya di angka 5 dan jarum panjangnya di angka 10.
Aku bergegas menuju kamar mandi sambil berdoa mau ke toilet, “Allaahumma innii a’uudzubika minal khubutsi wal khobaaits”.
Tak lupa aku menenteng handuk di pundakku. Ku guyur sekujur badanku. Segar sekali. Debu bekatul beras hilang dari tubuhku mengalir bersama air suci yang mengguyur dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Angin berhembus menambah dinginnya suasana sore menjelang petang. Aku tak berlama-lama di kamar mandi.
Ku gosok seluruh personil jasad kerempeng anugerah Ilahi dengan sabun Nuvo family warna merah. Kami sekeluarga menggunakan sabun Nuvo karena tergiur dengan iklan di TV. Waktu itu nuvo mengadakan kunjungan untuk memberikan hadiah ke keluarga-keluarga yang menggunakan sabun nuvo. Tapi ternyata harapan kami kosong belaka. Agen itu tak pernah mampir ke rumahku.
Aku tak lupa menggosok gigi seri dan gerahamku yang tadi siang habis makan cumi dengan kuah kentut hitamnya. Ssedapp ssekalli!!
Segera handuk kutarik dari gantungan. Kubalutkan di pinggangku untuk menutup auratku dan beranjak menuju kamar untuk ganti pakaian. Baju kukenakan. Sarung kulilitkan. Sajadah kugelar menghadap kiblat. Rambut kusisir. Selanjutnya…..
“Allaahu akbar…!!!”
Kuterbuai dalam kubangan kekhusu’an sholat asharku yang terlambat. Sungguh kenikmatan ibadah yang tak terkira. Suasana khusu’ membuatku merinding ditambah hembusan udara dingin desa yang membuat bulu kudukku berdiri. Bersimpuh jiwaku dalam sujudku.
“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..!” sambil kutengokkan wajahku ke kanan. Pertanda sholat ashar telah selesai. Rasa khouf dan tawadlu’ menyelimuti doaku dan wiridku. Tasbih, tahmid, takbir dan tahlil membasahi bibirku.
Seusai sholat dan dzikir badanku makin merinding. Dingin menusuk pori-poriku. Rasa nyeri menusuk-nusuk lambungku. Kupegang leher dan jidatku. Panas!! Badanku mulai menggigil. Buru-buru aku meminum teh hangat. Kedua kakiku seperti kesemutan dan pegal-pegal. Kuambil jaket. Aku belum memberitahu ibuku. Kunang-kunang mulai bertebaran di atas kepalaku. Pusing. Aku pusing. Pandanganku kuning dan kabur.
Kulihat lidahku di cermin. “Yah kotor! Jangan-jangan typhes? Ah aku harus makan biar ada yang mengganjal di perut ini.”
“Mak, aku lapar. Aku pingin makan!”
Malam harinya, Pak Wandi datang ke rumah untuk memeriksaku. Ia di panggil oleh ibuku. Setelah diperiksa aku positif terkena gejala typhes. Tiga hal yang harus aku hindari selama penyembuhan adalah tidak boleh makan pedas-pedas, es dan kecapekan jika aku tak ingin penyakit ini datang lagi.
Sekarang aku harus istirahat selama pernikahan kakakku.
Ku terbangun dimalam hari. Suara kokok ayam tetangga bersahutan. Gelap. Hanya warna putih duduk bersimpuh yang nampak di hadapanku. Badanku merinding. Mungkinkah ia malaikat yang hendak mencabut nyawaku? Satu tanda akan datangnya kematian dari yang 3 telah hadir di jasadku. Ya karena aku sering sakit. Itulah pelajaran tentang koreksi diri bagi umat manusia msekipun bukan di masa senja. Selain tumbuhnya uban dan bertambahnya usia. Badanku yang meriang dan demam karena efek typhus menambah rasa takutku.
Ku amati dengan seksama. Bukan. Itu bukan malaikat pencabut nyawa. Tapi itu siapa ya? Sepertinya dia ibuku yang sedang mengenakan mukena. Ia sedang duduk bersimpuh di atas sajadah. Dan ia sedang berdoa dengan kedua tangannya menengadah ke atas. Tak ku dengar apa yang ia minta. Ku hanya mendengar ia sesekali sesenggukan.
Kawan, sekali lagi ia mendampingiku di samping tempat tidurku. Namun sekarang ia tidak tidur. Ia sedang menemaniku yang sedang jatuh sakit karena typhus dan perlu banyak istirahat. Dan mungkin dalam doanya tadi salah satunya ia berdoa bagi kesembuhanku. Sungguh ia seorang ibu sejati.
“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku
No comments:
Post a Comment
Sahabat katakan sesuatu untuk dasir..perkataanmu kan memotivasiku untuk terus berkarya...