Pedal 8
Comal First Shelter
Tekadku telah bulat. Jalan raya yang sepi dan serasa tak beru-jung itu kulewati sejengkal demi sejengkal. Selangkah demi selang-kah. Semeter demi semeter. Hingga kota Wiradesa tak tampak lagi di ujung pandanganku. Di atas sadel sepeda jengkiku aku terus mengayuh sambil merenung.
Tiba-tiba seperti ada suara yang menanyaiku.
”Kenapa kau melakukan ini?
Apa yang sedang kau lakukan?
Apa salah orang tuamu?
Apa salah teman-temanmu?
Kenapa kau tega melakukan perbuatan yang dapat mengiris hati orang-orang yang mencintai dan menyayangimu setulus hati?
Apa salah mereka kepadamu?
”Berbagai pertanyaan itu terngiang-ngiang di telingaku.
”Sadarkah engkau dengan perbuatanmu ini?
Cobalah kau ingat, Betapa sayangnya Ibumu padamu? Kau pasti ingat dikala engkau sakit thypes dan kau tergeletak di ranjang setengah bulan!
Siapa yang merawatmu?
Siapa yang menyuapimu?
Siapa yang memanggilkan dokter untukmu?
Siapa yang menjagamu dan menemanimu dikala engkau tidur? Disaat engkau muntah karena tak kuat menahan mual di usus dan lambungmu.
Siapa yang membersihkan kotoran itu?
Bukankah engkau melihat sendiri ketika engkau terbangun, engkau minta dibuatkan teh hangat, dengan mata sayu sambil mengucek-ngucek matanya yang masih merah ia membuatkan teh yang kau minta itu lalu memberikannya padamu. Ia tetap melayanimu dengan penuh kasih sayang meskipun badannya capek. Dan demi harapan ingin melihat sebuah kesembuhan untuk anak terkecilnya yaitu kamu, ia tetap merawat dirimu.
Siapa yang merawatmu disaat engkau masih kecil?
Siapa yang menyusuimu selama 2 tahun?
Siapa yang malam-malam bangun disaat engkau menangis karena ngompol dan harus diganti popoknya? Siapa..?
Siapa yang telah membiayaimu selama belajar di MIM dan SMP…?
Siapa yang membiayaimu disaat engkau ikut por-seni (Pekan Olah Raga dan Seni) MI di Banyumas…..?
Siapa yang memberimu makan selama ini?
Siapa lagi kalau bukan Ibumu dan bapakmu?
Inikah pembalasan yang akan kau berikan padanya?
Sungguh kejam, durhaka, anak yang tidak berbakti dan tidak tahu terima kasih.”
Di mana akhlak yang kau pelajari sewaktu kau belajar di Ma-drasah dulu?
Di mana pelajaran agama yang kau pelajari di TPA dan di Ma’had Al Hasan Al Bashri? Di mana nuranimu…?
Di mana akal sehatmu sehingga engkau berani melakukan tindakan yang bakal membuat ia menangis mungkin sehari mungkin seminggu mungkin sebulan atau bahkan bertahun-tahun…..?
Bukankah dulu engkau sendiri yang meminta sekolah di STM N 1 Kedungwuni. Sekolah yang jauh dari tempat tinggalmu. Bahkan diawal-awal, Ibumu telah mengi-ngatkanmu, bahwa ia akan kesulitan membiayai sekolahmu. Tapi kau tetap keukeuh pada pendirian ingin sekolah di sana. Sekarang engkau ingin mencoba menyakitinya dengan pergi tanpa pamit alias kabur dari rumah.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang membentuk lagu keras dan rock di telingaku. Sehingga rasanya gendang telingaku terasa mau pecah.
Pikiran iblislah yang terus menyemangatiku agar terus dan terus menggenjot dan mengayuh pedal sepeda jengkiku. ”Sudah ga usah dipikirkan, bukankah mereka tidak peduli padamu, buktinya setiap hari menu makannya itu-itu melulu tak ada variasi. Kalau pagi sego megono (nasi liwet lauk nangka yang dicacah tanpa aturan dengan golok hingga terpotong kecil-kecil lalu diberi bumbu dan rempah-rempah dengan rasa khas Pekalongan dan dikukus hingga mateng). Kalau siang ya nasi lauk tempe goreng dan sayur asam. Uang saku juga tidak bertambah Rp 2000,- terus padahal kan harga-harga pada naik, angkot juga naik tarifnya, jajanan di kantin juga naik. Masa kamu uang sakunya ndak naik-naik, kamu juga pingin hiburan, masa tiap kali diajak main PS kamu menolak terus dengan alasan ga punya duit. Daripada di sana lebih baik di Jakarta. Ayo terus genjot, teman-temanmu pasti senang jika kamu tak ada di sana. Karena tak ada anggota organisasi seperti kamu yang nyebelin, telat rapat terus dll.”
Ternyata hati, ampela, lambung, rambut, kaki, tangan, otak dan seluruh anggota badanku memilih untuk terus melanjutkan perjalanan sekaligus petualangan baru bersepeda ke Jakarta. Jarang-ja-rang lho kawan piknik ke Jakarta naik sepeda. Biasanya ke Jakarta kan naik bus atau kereta api atau sepeda motor. Walaupun dulu ke Jakarta pernah ada yang jalan kaki.
Eh di Comal muncul lagi pertanyaan, tapi sekarang agak aneh pertanyannya. Setan apa yang merasukimu hah? Kesambet di mana kau? Apa di pohon salam? sebab beberapa hari ini kau agaknya se-neng banget manjat pohon. Padahal kan udah lama kau pensiun dari kegiatan panjat memanjat. Atau di sungai besar yang mengalir airnya hingga Pait itu? Karena akhir-akhir ini kau juga sering mandi di sungai walaupun air di sumur banyak.
Aku ragu, kurem sepedaku. Kupinggirkan. ”Hebat sekali,” je-ritku. Sudah lama aku tak mengayuh sejauh ini. Paling jauh juga ke sekolah. Ini sudah ± 30 km dari rumahku. Apalagi untuk ukuran se-peda jengki. Untungnya dulu ayahku mengajarkan aku menempuh perjalanan jauh dengan bersepeda walaupun saat itu aku hanya duduk di belakang alias membonceng. Serta dulu sering bareng teman-te-manku ke Pantai Kisik dan Sunter atau ke Makam Pahlawan Wangandowo (Bojong) dan Bukit di Kajen. Daerah yang pernah ku-singgahi bersepeda bareng ayahku antara lain Ulujami, Kedungwuni, juga Sragi. Comal sebuah kecamatan yang berkabupaten di Pemalang berada di sebelah barat Pekalongan menjadi tempat pemberhentian pertama (Comal First Shelter). Kulihat jam menunjukan pukul 07.00 wib. Aku memang tak membawa jam tapi aku bisa melihat jam dinding yang menempel di Masjid dekat aku berdiri.
Tak kurang sepuluh menit aku berpikir untuk kembali atau terus. Untuk kembali mumpung masih dekat dan untuk terus perjalanan masih jauh jarak yang harus kutempuh. Padahal aku tak tahu aku sebenarnya mau kemana? Ah yang penting kabur dan tak ketemu lagi dengan orang-orang yang dalam tanda kutip bikin aku tak tenang. Dan sepeda jengkipun kembali berjalan. Roda dan rantai berputar dan terus berputar tanpa mengenal rasa lelah. Keduanya berputar sesuai program G03 dengan putaran sebesar 80 rpm dan kecepatan maksimumnya 28 km/jam . Ia tak mau berputar berlawanan arah jarum jam. Sebab jika sekali-kali berani menggunakan program G02 atau berlawanan arah jarum jam maka otomatis sepeda jengki akan berhenti. Karena memang begitulah cara kerja rem bos pada jenis kendaraan kereta angin ini. Namun apalah jua perut yang kosong memanggil sang bos otak supaya memerintahkan kaki tuk berhenti mengayuh dan istirahat. Mesjid di Brebes menjadi tempat pember-hentian berikutnya. Di sana aku minum air kran. Padahal ada uang saku ± Rp 20.000,00 yang bisa aku belikan roti dan air mineral. Dahaga dan lelah telah sirna. Sebelum melanjutkan perjalanan tak lupa sebotol air mineral dan sebungkus roti bolu isi 12 potong kubeli. Kupersiapkan jika nanti ditengah jalan aku kehausan dan kelaparan. Rp 1500,00 + Rp 1200,00 telah kuhabiskan dan sisanya kukantongi.
Tujuanku sekarang telah terbentuk dan tercatat dalam memoriku yang minim kreasi ini ”JAKARTA”. Di mana kakakku Buroh tinggal. Tepatnya daerah Kel.Kebonpala, Kec.Makasar, Jakarta Timur. Aku masih ingat. Walaupun kenangan itu terukir 7 tahun yang lalu. Paling tidak aku kenal daerah yang Mbak Buroh tinggali. Matahari mulai beranjak meninggi dan rasa panas menghampiri tubuhku. Kebetulan waktu telah memasuki waktu sholat Dhuhur, sambil istirahat aku sholat di Brebes. Badanku terasa pegal semua. Pikiran tentang orang tua dan teman-teman di desa telah lenyap dari bayanganku. Walaupun kadang masih muncul. Yang ada di pikiranku sekarang adalah sholat dhuhur dulu setelah itu menemui kakakku di Jakarta. Walaupun apa yang terjadi di sana nanti. Dalam hatiku aku berkata sudah kepalang tanggung aku mengayuh sepeda sejauh ini. Selepas jamaah dhuhur aku melanjutkan petualanganku. Ya sebuah PETUALANGAN BERSEPEDA KE JAKARTA. Untuk sholat Ashar aku mampir di Masjid daerah Cirebon. Yang ada di pikiranku hanyalah mampir ke masjid dan masjid tak ada keinginan untuk mampir ke rumah orang atau kantor polisi. Bahkan botol air minum telah beberapa kali kuisi ulang dengan air kran dari beberapa masjid yang kusinggahi. Tak ada perasaan takut diare untuk hari ini dan esok selama petualangan belum berhenti.
Keringat membasahi tubuhku. Sesekali baju lengan panjang atau kaos bergambar kepala harimau warna hitam kugunakan lengannya untuk menyeka keringat yang mengalir deras dari ubun-ubun kepalaku. Baju seragam PEMUDA PANCASILA itu pun menjadi basah kuyup meskipun tak ada hujan. Ya Alhamdulillah hujan tak turun menyertai perjalanan ini. Tapi panas matahari yang memantul dari aspal atau langsung mengenai badan ini terasa membakar sekujur tubuh kerempeng ini. Terbersit dalam hati ketika melihat TOPI di jalan untuk mengambil-nya. Namun hati dan akalku melarangnya. Karena memang bukan hakku untuk menggunakannya. Walaupun dalam keadaan seperti ini ternyata nurani dan imanku masih bisa berkata lho kawan.
Dan puncak panas hari ini adalah jalanan aspal perbatasan Ja-wa Tengah dan Jawa Barat tepatnya Brebes-Cirebon. Di mana kanan dan kiri jalan ditumbuhi tanaman bawang merah yang tak ada satu-pun pohon besar di pinggir jalan. Sehingga semakin menambah pa-nas dan dahaganya hari itu. Entah kalau diukur suhunya mungkin mencapai sekitar 380C. Kalau anak kecil yang kepanasan mungkin sudah kejang-kejang kali…Celana panjang abu-abu seragam STM-ku membantu melindungi kakiku dari terik matahari dan pembakaran sinar ultra violet yang mulai menerobos dengan leluasa ke lapisan atmosfer bumi karena makin melebarnya lubang ozon akibat pemanasan global dan gas rumah kaca. Sinar matahari yang mengandung sinar UV itu tak tahu perasaan seenaknya memanggang tubuhku yang kurus kering ini. Matahari mulai bergerak perlahan-lahan untuk menyelam di ufuk barat. Semburat jingga nampak indah mengiringi kayuhan remaja tak tahu terima kasih ini.
Akhirnya perlahan namun pasti hari mulai gelap bersamaan terbenamnya sang surya di ufuk barat yang tunduk pada perintah sang Maha Pengatur. Tapi aku tak juga menemukan musholla atau mesjid untuk sholat maghrib. Padahal aku berencana tak akan mela-kukan kayuhan sepeda pada malam harinya. Namun tempat yang ku-harapkan tak kunjung tampak.
Sepeda terus kukayuh. Aku pasrah jika aku meninggal di ja-lanan sepi tapi ramai ini. Sepi karena tak kujumpai perumahan penduduk. Yang ada hanyalah hamparan tanaman padi dan ilalang. Bahkan surau, masjid atau mushola yang kucari di kiri dan kanan jalan belum juga nongol. Ramai karena kendaraan-kendaraan besar macam truk-truk gandeng, container dan bus-bus besar mulai banyak Semuanya berjalan di sebelah kiri jalan raya tdak disebelah kanan.
Entah kenapa di Indonesia yang katanya mayoritas masyarakatnya adalah muslim tapi jalannya di sebelah kiri, sedangkan di Inggris penduduknya yang sebagian besar beragama Kristen malah jalannya di sebelah kanan. Padahal Rasulullah Muhammad SAW lebih menekankan kepada kita dalam melakukan sesuatu khususnya yang baik-baik dengan yang kanan atau mendahulukan sebelah kanan daripada sebelah kiri. Contohnya wudlu dimulai dari tangan kanan kemudian baru tangan kiri. Atau perintah makan menggunakan tangan kanan. Contoh lainnya adalah tangan kanan digunakan untuk memberikan sesuatu atau hadiah kepada teman atau orang lain, sedangkan untuk yang kurang baik dengan tangan kiri. Contohnya ketika buang air besar ataupun kecil digunakan tangan kiri untuk membersihkannya.
Sejarah mencatat pada masa penjajahan Inggris di Indonesia seorang Jenderal bernama Jenderal Raflesia Arnoldi memberlakukan peraturan tersebut. Begitu yang tercatat dalam buku sejarah bangsa. Dan mereka (kendaraan-kendaraan besar) seolah-olah siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalan di depannya. Perasaan takut dan takjub mengisi pikiran ini. Sungguh pemandang-an yang jarang sekali kulihat.
Terbayar sudah harapan yang membuncah tuk menemukan musholla / masjid. Dari jarak ± 200 m kulihat Mustoko begitu orang jawa bilang. Meskipun orang Jakarta bilang itu adalah kubah. Simbol mesjid yang terletak di puncak tertinggi bangunan tempat ibadah bagi orang Islam. Entah apa namanya yang penting bagiku adalah aku berharap bisa istirahat di sana. Mudah-mudahan mesjid itu tak dikunci. Kupercepat ayunan pedal sepeda jengkiku. Karena kuper-kirakan waktu maghrib hampir habis. Sesampai di Mesjid itu yang ternyata adalah musholla kulihat hanya ada satu rumah di pinggir musholla itu. Aku yakin bahwa musholla ini adalah musholla keluarga tersebut. Rumah itu berada di sebelah kanan Musholla jika kita menghadap ke Kiblat (barat) atau di sebelah utara Musholla dan menghadap ke selatan. Sedangkan toilet dan tempat wudlunya berada di sampaing barat rumah Pak Khaeruddin juga menghadap ke selatan. Aku meminta izin kepada keluarga tersebut. Dari perkenalan Bapak Tuan Rumah itu adalah Bp. Khaerudin. Dan yang lainnya tak ada yang diperkenalkan oleh beliau. Ia bersedia mengizinkan aku untuk sholat maghrib dan isya serta menginap di situ. Maghrib aku laksanakan penuh dengan kekhusu’an. Selesai sholat dari wajah Pak Khaerudin kutangkap rasa heran kenapa aku sampai menginap segala.
Beliau bertanya,”Adik mengapa menginap di sini segala?”
“Aku ada masalah dengan keluarga, Pak” jawabku.
“Sebenarnya adik dari mana dan mau ke mana?” lanjutnya.
”Aku dari Pekalongan, tapi untuk ke mana aku bingung.”
”Kok bingung?” ia mencecarku.
”Sebenarnya aku mau ke tempat kakakku.”
”Di mana itu?”
”Di Jakarta Timur.”
”Terus!”
”Tapi aku takut kakakku marah karena aku kabur dari rumah.”
”Jadi adik tidak bilang orang tua tuk kesana!!”
”Sekarang adik sudah makan apa belum?” tanyanya lembut sekarang.
”Belum.”
”Sebentar ya......”
Sejurus kemudian kepala keluarga tersebut mengambilkan nasi dan lauk pauk ala kadarnya dari dalam rumah yang diambilkan putrinya. Tempe goreng dan sayur sop serta ikan teri plus sambal. Beberapa menit kemudian tubuhku terasa segar kembali setelah terisi oleh karbohidrat dan protein dari hidangan penuh keikhlasan Pak Khaerudin. Aku pamit untuk istirahat setelah sholat maghrib, Isya dan makan malam. Semalaman aku tidur tanpa selimut. Dingin dan nyamuk menyerang tanpa kenal ampun. Mungkin karena lapar juga nyamuk-nyamuk tersebut.
Bedug shubuh bergema dilanjutkan alunan adzan membangunkanku dari lelapnya tidur. Aku kaget. Kamar mandi untuk wudlu dan buang air dikunci. Aku berpikir keras bagaimana aku bisa wudlu kalau tidak ada air. Karena tak ada jalan lain, air mi-neral dalam botol aqua pun akhirnya aku gunakan untuk wudlu. Aku sholat dengan khusu’. Setelah selesai aku berdoa semoga besok di-perjalanan aku tak menemukan halangan yang berarti serta kudoakan keluarga ini semoga memperoleh rizki yang lancar sebab jika aku berdoa agar mereka diberi rizki yang banyak aku takut rizki tersebut akan habis saat itu juga, kuketuk pintu rumah Pak Khaerudin yang masih terkunci untuk mohon diri. Pak Khaerudin keluar.
”Pak, saya berterima kasih atas semuanya. Sekarang saya mau mo-hon diri. Mohon maaf telah merepotkan keluarga bapak.” katku sopan.
”Ah biasa aja dik, sekarang mau kemana?”
”Ke Jakarta, mencari kakakku” ujarku.
”Jadi ke Jakarta?”
”Iya Pak.”
”Ya udah kalau begitu saya tak sanggup menghalangi niatmu yang telah bulat. Hati-hati di jalan. Oh tunggu sebentar!” pesannnya kebapakan sambil masuk ke rumah.
No comments:
Post a Comment
Sahabat katakan sesuatu untuk dasir..perkataanmu kan memotivasiku untuk terus berkarya...