Pedal 10
Maag
Mata melotot dan tubuh kaku berdiri.Itulah keadaan Mbak Buroh yang dipanggil Mbak Ndiroh jika di Jakarta ketika melihatku.Apalagi aku datang dengan menenteng sebuah sepeda jengki.Datang ke Jakarta itu biasanya membawa oleh-oleh ntah buah atau makanan.Boro-boro bawa oleh2 buah malahan yang dibawa hanyalah seonggok besi sepeda jengki.Bagaimana tidak tercengang dan terheran-heran.Tak ada hujan tak ada angin apalagi badai lebih dari tak ada.Wong angin seolah-olah berhenti bertiup menyambut keadaan diriku.
Kawan, Pekalongan-Jakarta tidaklah dekat.Jarak sejauh itu kini telah kutaklukan dengan sepeda jengki yang kugenjot selama 3 hari dengan 2 malamnya aku tidur.Tanpa bekal dalam tas ataupun perlengkapan lainnya.Aku hanya bermodalkan nekat kawan.Bekal yang ada hanyalah botol aqua yang berisi air kran dan berulang kali tumpah ketenggorokan.Sesudah itu diisi kembali dengan air kran dari masjid-masjid yang kusinggahi.Berbekal Rp 20.000,- tubuh ini sampai ke Jakarta.
Alhamdulillah hujan selalu absent selama perjalanan petualangan ini. Alhamdulillah juga ban sepeda jengkiku tak mengalami kebocoran di tengah jalan.Coba jika bocor sempet mampir, mau kusuguh apa tamu yang tak diharapkan ini.
Kawan, di sinilah letak kekuasaan Allah yang masih mau beserta hambanya yang lemah ini.
Cerita panjang kali lebar telah menjadi luas.Keliling dan volume tak luput keluar dari mulut bau kecut ini.Kakakku bangkit.Entah mau ke mana dia.Aku mengikuti dari belakang.Tak terbersit dalam rumus dugaanku, ternyata beliau menuju ke sebuah wartel di belakang kontrakannya yang dibangun tanpa aturan dan tanpa perencanaan serta tanpa memperhatikan nilai-nilai estetika ini.Kontrakannya tidak seperti perumahan2 atau gedung mall2 yang sombong dan angkuh yang berdiri di setiap Kecamatan di Jakarta.Kontrakan kakakku tidak pantas disebut rumah sekalipun untuk kategori RS6 (Rumah Sangat Sederhana Sekali Selonjor Saja Susah). Malahan lebih pas jika disebut Kandang Ayam karena memang ada beberapa ayam yang dipelihara teman kakakku satu kontrakan.
“Sopo sing Njenengan telpon Mbak?”1tanyaku dalam logat Jawa
“KangIbun!”jawabnya pendek
“Lha opo sampeyane ra pamit karo Simak lan Bapak?”sambungnya
“Nek aku pamit yo mesti ra oleh ra Mbak.”
”Pirang ndino kowe numpak pit kok nganti geseng rumpeng koyo kuwi raine?”
”Telung dino rung wengi Mbak, kenopo?”
“Masmu kuwi6 si Roghibun (nama panjang Kang Ibun kakak ketigaku dari 8 bersaudara) wis mider-mider ngkluru kowe, reti ora?”cerocosnya
“Jare areng nggon kancamu sing Petukangan terus kerono rak ono Masmu dituduhi koncomu sing liyo sing ning Kedungwuni lha kerono podo bae rak ono ning kono terus masmu lapor Polisi bar njaluk izin reng Simak, Simake dewe nangis terus 3 ndino rung wengi karo ngomong”Lha akune iki salah opo.Wong bocah anteng2 kok moro2 ilang, lungo ora pamit.Eh alah bocah diurus bener2 kok koyo kiye.” ceritanya yang ia kabarkan setelah menelepon Kang Ibun tadi.
“Ndung (panggilan sayang terhadap anak kecil) opo kowene ora ninggal tulisan?”
“Aku ninggal tulisan sih Mbak tapi tak sog ke neng mburi foto wisuda TPA-ku”
Nun jauh di Pekalongan kabar hilangnya diriku telah berganti jadi judul cerita”Petualangan bersepeda ke Jakarta”.Cerita tersebut menyebar dengan cepat dan luas dari mulut ke mulut seantero Tunjungsari.
Seandainya di desaku ada Koran, maka dongeng ini akan menjadi Headline News-nya dengan judul yang lebih variatif ”Beli Ballpoint ke Jakarta dengan Bersepeda”.
Semuanya seolah tak percaya.Bagaiman mungkin orang sealim aku bisa melakukan hal itu. Maklum, aku dikenal masyarakat sebagai orang yang taat beragama dan beribadah, aktif di organisasi remaja, pendiam dan berbakti pada orangtua.Bagaimana tidak berbakti, disaat anak-anak yang lain sibuk main bola aku malah sibuk ngarit suket 11 untuk kambingku.Disaat yang lain kalau disuruh belanja ke warung pada tidak mau dengan alasan malu dan acara TV-nya masih seru, aku malah semangat berangkat meskipun tanpa diberi upah.Membantu memasak dan membatik adalah kegiatan rutin yang aku laksanakan sebagai hobi meskipun itu adalah kegiatan perempuan.Ke sawah dan ke ladang sepulang sekolah atau pada hari libur menjadi hiburan dikala tugas sekolah menumpuk bikin pusing kepala.Bersepeda ke sekolah menjadi ciri baktiku berikutnya kepada orangtua.Maksudnya dengan bersepeda aku bisa menghemat uang ya itung2 sambil olah raga dan menghambat laju polusi udara serta berpraktek ria tentang ilmu kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah SAW, teman.
Menyapu halaman dan mengaji di tempat Pak Ridlwan hampir menjadi santapan saben sore dan malam hari.Itulah gambaran tentang diriku dari luar yang tampak oleh orang-orang di sekitarku.Sehingga dengan keadaan seperti itu pujian dari Masyarakat terhadapku tak pernah surut.Dan akupun tertantang tuk membuktikan bahwa aku memang seperti yang mereka puji yaitu anak yang rajin, sopan, berbakti dan sederhana.Namun isi hatiku dan pikiranku mereka tak mengetahuinya hanya aku dan Allahlah yang tahu, bahkan Allah lebih tahu tentang diriku karena memang Ia adalah Tuhanku yang Maha Tahu.Di sinilah keadaanku sekarang yang telah berubah 180 derajat dari aku yang tampak dan hadir di Masyarakat Tunjungsari.
Kembali ke Jakarta.Karena tak mambawa bekal apa-apa selain sepasang baju yang menempel di badan, Mbak Buroh meminjam baju Amri-anak Mak Awi teman Mbak Buroh di Jakarta yang tinggal di Jalan SD INPRES Kp.Usman Harun-.Seminggu aku di Jakarta menemani Mbak Buroh jualan peyek kalau pagi di Pasar Jambul, Cililitan dekat RSUD Budi Asih di bilangan Jalan Dewi Sartika.Mendorong gerobak pagi-pagi buta sejauh 4 km.Menyeberang jalanan raya padat mobil-mobil dan bus-bus besar.Kami berjualan dari pagi hingga siang hari disaat matahari berada di ubun-ubun kepalaku.Kalau malam kami mengetap alias menata peyek yang akan dijual esok hari ke gerobak di tempat Bosnya’Pak Waryudi’.
Gerobak beroda 2 berbahan seng sederhana itulah saksi perjuangan hidup kakakku selama berpuluh tahun mengais rezeki dalam kerasnya kehidupan ibukota.Yang kata orang kejamnya ibukota lebih kejam dari kejamnya Ibu Tiri.Serta membungkusi rempah-rempah dan bumbu-bumbu basah macam trasi, ketumbar, mrica dan asem juga ikan teri yang beliau hutang dari Simbok”Teman jualan kakakku di pasar yang telah lanjut usia”.Kulit gosongku yang kepanasan selama 3 hari mulai mengelupas seperti Ular yang hendak berganti kulit.Karena suasana Jakarta telah kuadaptasi ke badan kerempeng. Anehnya demam atau flu tak mampir ketubuh ini meskipun dijemur di terik sinar matahari bercampur sinar ultraviolet yang tembus kebumi akibat ozon yang berlubang diserbu gas karbon dioksida dan monoksida dari asap kendaraan bermotor serta asap pabrik yang menjamur di sejagad Jakarta.
Dari kehidupan selama seminggu bersama kakakku di Jakarta kutemukan segelintir arti perjuangan hidup menemukan jati diri dan mengangkat gengsi.Aku banyak belajar dari kakakku Mbak Buroh.Darinya yang dulu aku minta dibelikan chocholate ‘Silverqueen’kalau beliau pulang dari Jakarta.Padahal harganya mahal namun ia tetap membelikannya.Baginya kebahagiaan adiknya lebih ia senangi dari uang yang jika habis dapat dicari lagi.Darinya juga aku dulu meminta supaya dibelikan “Tas Gendong” untuk membawa buku-buku paket tebal yang dibuat oleh penerbit yang tanpa menghiraukan kecilnya tas pelajar miskin macam aku ini hingga dalam hitungan menit begitu dimasukkan ke dalam tas lalu tas dicangklong ke pundak terus dibawa lari dan akhirnya putuslah cangklongan tas anak itu di tengah jalan.Dan yang terjadi berikutnya adalah si anak merengek sambil menangis minta dibelikan tas gendong baru yang kuat dengan alasan jika membawa buku-buku tebal tak karuan itu tasnya tak putus lagi.Di situlah kedermawanan kakaku, ia pun membelikannya dengan merek ”Alpina” warna coklat.Sebuah tas yang bermerek dan mahal.
Padahal kala itu barang dagangan andalannya ”PEYEK” sering tak laku dan seandainya lakupun paling berkisar 5-10 bungkus.Sedangkan harga perbungkus adalah Rp 4.000,- dengan setoran Rp 30.000,- perhari.Artinya ia hanya hidup Rp 10.000,- perhari.Sebuah ukuran ekonomi yang fantastis dan jauh dari ukuran hidup sejahtera untuk kehidupan di Jakarta. Kawan kau pasti tahu harga-harga sembako kala itu kan.Di sinilah kutemukan rasa sayang yang begitu luar biasa dari seorang kakak bermata satu ini.Darinya kuambil hikmah dan ibroh dari sebuah derita yang dialaminya semenjak kecil akibat penyakit yang aku tak mengalaminya.Ia sendiri pernah kuanggap sebagai seorang tamu tak dikenal yang datang dari Jakarta karena waktu kulahir ia telah di Jakarta dan jarang nongol dirumah.Yang sering pulang hanyalah barang2 dan kiriman uang untuk orang tuaku.
Di keluargaku bisa dikatakan ia yang paling menderita tapi jiwanya yang paling tegar.Disaat Kakak pertamaku Mudrikah dilangkahi (didahului menikah) oleh adiknya Kang Roghibun yang menikah dengan Mbak Puji di Kebumen.Dan kala itu Mbak Mudrikah sedih dan bingung seperti orang stress dan bisa dikatakan mengidap penyakit gila nomor 13 seperti kata Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi-nya karena tak sanggup menghadapi kenyataan.Di waktu itulah Mbak Mabruroh datang bak malaikat kepagian menghibur sambil menawarkan kabar gembira bagaimana kalau Mbak Mud ikut ke Jakarta? Seketika itu pula Mbak Mud bagai disiram air salju ubun-ubunnya.Padahal untuk mendatangkan saljunya saja susah bangetnya minta ampun kawan.
Ia juga pernah ketipu orang, kawan. Segepok uang yang ia kumpulkan di celengan ayam jagonya yang terbuat dari tanah liat selama beberapa bulan diserahkan kepada sang penipu yang tak tahu adat mencari rizki secara suka rela.Katanya sih beliau seperti di Hipnotis, begitu.Namun gurat penderitaan dan pengalaman hidupnya menguatkan keimanan tuk terus bertahan dan berjuang meneruskan hidup dengan hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Sepasang sepatu yang tak tanggung-tanggung bermerek Eagle warna biru menjadi hadiah berikutnya yang tersampaikan dari tangan wanita pekerja keras dan hanya bertinggi 145 cm ini kepadaku.Ia wanita yang kokoh dan jauh dari kesan pesimis, lembek serta pemalas.
Dan suatu sore ia mengalirkan segayung air mahal dari ujung matanya yang tinggal sebelah.Ia menceritakan pedihnya hidup di Jakarta sendirian.Kakinya tertusuk “Paku Karatan” yang kangen pingin menusuk karena lama tak digunakan oleh tukang kayu untuk mengait kusen-kusen pintu dan jendela.Infeksi siap mengancam jiwanya, meskipun si paku tadi sudah dicabut dari kaki mungilnya namun sisa karatannya belum bersih benar tuk minggat dari daging sikil 12nya.Uang tak ada.Dagangan seminggu ini tak menghasilkan apa-apa selain buat makan dan setoran serta capek dan pegal-pegal.Padahal ia butuh ke dokter untuk berobat. Beginilah susahnya jadi orang miskin.Mau berobat saja bingung.Sedangkan bagi mereka yang beruang jerawatpun diurusnya meskipun harus pergi berobat sampai ke Singapore segala.
Ia mengambil silet.Digunakannya silet tersebut tuk membelek dan mengoperasi telapak kaki mininya supaya bisa dibersihkan Si bangsat karatan yang betah tinggal di kaki kanannya itu yang telah menemani perjuangannya.Dikorek-koreknya telapak kaki kecil itu dengan cottonbuds yang diolesi dettol dengan harapan begundal karat mau hijrah ke tempat aslinya.Karena bengkak, ia tak bisa jualan PEYEK selama setengah bulan digantikan Kakak ketujuhku Mukminah yang datang dari Depok. Tentu hasil dagangannya merosot terjun bebas ke jurang kerugian dan kebangkrutan.Begitu ceeritanya kawan, kalau kau ingin menangis menangislah sebelum menangis itu dilarang, tapi kalau kau tak meneteskan Si mutiara air mata berarti hatimu memang terbuat dari batu pualam.Salah, batu yang paling keras pokoknya atau memang ceritaku yang tak sanggup mengundang air tadi.
MAAG.Hari itu ia demam.Perutnya sakit laksana ditusuk duri dan jarum karung goni. Matanya berkunang-kunang, bagai melihat bintang disiang hari berputar-putar di atas kepalanya.Pusing tak tertahankan.Sakit maag akutnya kambuh.Ia tiba-tiba pingsan jatuh tak sadarkan diri di meja dagangannya di Pasar Jambul.Teteh ’PEDAGANG NASI’ di pasar yang merupakan sobat kakakku membantu menyadarkannya dengan menggoyang-goyangkan badannya namun tak kunjung bangun Si Kakak.Digosok-gosoknya perut wanita kecil ini dengan balsem hingga habis satu botol balsem merek ”RHEUMASON” warna merah.Tapi kakakku belum juga sadar.Kakinnya juga digosok-gosok dengan minyak kayu putih merek ”KAMPAK” yang terkenal sengatan panasnya, tapi belum juga ada tanda sadar atau siuman dari kakakku.Dikipasinya dengan kipas angin merek ”Maspion” tak tanggung-tanggung langsung pada putaran 3 yang merupakan putaran paling kuat. Itupun tak ada pengaruhnya.Sekujur badan kakakku dipijat dan diurut sekenanya oleh orang-orang yang merasa sanggup memijat ntah laki-laki maupun perempuan dari ujung kaki sampai ujung kepala.Dengan harapan kakakku sadar. Semua usaha yang dilakukan seolah seperti kapur barus yang menguap tak berbekas dihisap angin pasar bercampur aroma ikan asin bau amis. Empat jam sudah kakakku tergeletak tak ada gerak laksana mayat atau pasien UGD yang mengalami koma.Mungkinkah kakakku telah meninggal, dirabanya denyut nadi tangan kakakku oleh Teteh.Tapi katanya masih berdennyut.Dasar orang pasar berpendidikan rendah, melihat orang pingsan lama bukannya dibawa ke dokter malah didiamkan.Terbersit ide dari Pak Ali ’Suami Teteh’.Larilah ia ke belakang warung mengambil seember air.Semua orang berteriak… Jangan Pak Ali………… kasian…., tanpa menghiraukan teriakan orang-orang disitu dirsmkannya itu air sehingga tumpahlah seember air bekas cucian piring ke muka wajah kakakku.PPYYAARRRR…..dan seketika itu juga kakakku bangun sambil tergagap.
Begitu sadar, langsung saja dia bertannya, ”Apa yang terjadi, Teh?”
“Tadi kamu pingsan selama 4 jam.” jawab Teteh.
Dan yang dirasakan kakakku setelah itu hanyalah pegal dan masuk angin.Ya, karena dikipasi angin ”MASPION” tingkat 3 selama ¼ jam serta perut yang kembung akibat kedinginan terkena siraman air cucian piring Pak Ali, Sekujur tubuhnya juga panas karena olesan balsem ”RHEUMASON” warna merah yang tak karuan oleh teteh dan orang-orang sepasar.
Segelas teh hangat diminta oleh Teteh supaya kakakku meminumnya segera supaya badan kakakku seger kembali.Kawan kuseka dulu ya air mataku, aku tak kuat membayangkan semua itu.Tidak sekedar itu aja sobat, ia juga cerita pada suatu malam sepulang ngetap pukul 03.00, ia hendak diperkosa preman Ambon yang mabok mungkin akibat minum wiski rasa baygon terlalu banyak kali yaa.Namun karena badannya yang kecil tak sulit baginya tuk meloloskan diri.
Penderitaan selanjutnya yang ia ceritakan padaku adalah tentang pernikahannya. Pernikahannya dengan orang Jogja tahun 1998 gagal total.Suaminya meninggalkannya pada minggu ketiga.Selain karena memang orangnya tak cocok dengan keluarga kami mungkin juga akibat kata-kata pengusiran.Bahkan kata-kata pengusiran dari rumah ayahku di Pekalongan,aku yang melakukannya.”Pokoke wong kae13 (Suami Mbak Buroh) kudu lungo dek kene 14 (rumah orang tuaku)” Begitulah kata-kata yang keluar dari mulutku.Kala itu aku masih SMP.Kata-kata itu keluar karena adanya perasaan seorang anak yang tidak suka terhadap seseorang.Dan kata-kata itu keluar sekenanya tanpa memperhatikan etika berbicara dan sambil teriak lagi, walaupun sebenarnya aku sudah tahu sopan dan santun serta adab berbicara.Namun Mbak Buroh memakluminya, karena memang laki-laki tersebut tak bertanggung jawab atas kakakku. Nafkah lahir tidak diberikannya, kerjapun juga tidak.Menurutku dia pemalas serta kurang waras. Entah kenapa ia bisa menikah dengan kakakku yang tegar dan pekerja keras.Ternyata Si laki-laki kurang genap itu dinikahkan oleh kakaknya (sahabat kakakku) yang merengek-rengek kayak bayi minta ASI pada Ibunya di dengkul Mbakku yang hatinya mudah trenyuh supaya Mbakku mau menikah dengan adiknya yang hanya 99 itu.
Beberapa minggu setelah pernikahan adiknya dengan Mbak Buroh, kakak suami Mbakku yang bernama Mbak Umi kabur dari kontrakan kakakku.Ia kabur dengan membawa barang-barang berharga milik kakakku termasuk ”Sendal Jepit” warna biru muda merek ”SUNLY” yang baru sehari sebelumnya dibeli dari warung sebelah.Ia pergi tak sendirian, tapi bareng suami kakakku yang pikirannya kurang 1 stirp supaya bisa dikatakan tidak menderita penyakit gila no. 40 begitu kata Andrea Hirata dalam novel tetralogi ”LASKAR PELANGI” nya.Tak cukup sampai di situ penderitaan kakakku kawan. Namun alhamdulillahnya kawan, pernikahan penuh kekonyolan itu tak merenggut keperawanan dan orisinilitas kakakku.Kenapa bisa begitu? sebab saat pernikahan itu kakakku sedang dalam keadaan datang bulan alias menstruasi atau kedatangan tamu yang tak diundang namun tetap nylonong pingin datang. Sedangkan dalam syariah Islam, saat sang wanita sedang haid si Kumbang tidak boleh menjamah sutra kebanggan sang ratu.Dan biasanya kakakku jika tamunya datang masanya adalah 2 minggu dan pada minggu ketiga setelah hari pernikahan Suami kakakku pas sedang balik ke Jogjakarta. Sehingga daripada itu kakakku tetap virgin belum tersentuh oleh lelaki dungu itu.
Tahun 2002, kakakku resmi bercerai dengan suaminya. Dengan sidang tanpa kehadiran pihak lelaki yang tak jelas batang kakinya bahkan jejaknya yang bau terasi juga tak tercium walaupun kita berdiri sejengkal darinya.
No comments:
Post a Comment
Sahabat katakan sesuatu untuk dasir..perkataanmu kan memotivasiku untuk terus berkarya...