Thursday, June 25, 2009

Sepeda Jengki Pedal 5

Pedal 5
Trophus ala Darwinisme


Tiga bulan sudah aku menjalani masa di SMP. Sekarang aku sedang menghadapi ulangan umum catur wulan 1. Usup temanku mengulang hafalan pelajaran sejarahnya dengan keras. Mulai dari Phitecantrophus Erectus hingga Meganthropus palaeojavanicus. Tak lupa materi ciri-ciri Homo Sapiens yang disebut-sebut sebagai generasi manusia purba yang cerdas. Siswa-sisiwi berderet di belakang gedung 1A. Mereka duduk di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga kuning kejinggaan. Tak hanya dia yang terdengar nyaring suara hafalannya tapi juga teman-teman yang lain tak mau kalah. Termasuk aku.

Jam kedua ujian hari ini memang pelajaran IPS Sejarah. Pelajaran yang ini memang banyak memakan memori otak kanan kami. Karena sebagian besar pelajaran ini mempelajari hal-hal masa lampau. Dan kami disuruh bertamasya ke zaman pra sejarah. Sehingga kami harus menghafalkan tentang nama manusia purba, tempat ditemukannya fosil, artefak maupun prasasti-prasasti. Padahal kalau ditelisik lebih mendalam kita yang beragama Islam tak akan mudah mempercayainya.

Bagaimana mungkin asal-usul dan nenek moyang manusia berasal dari kera. Sedangkan dalam kitab suci kami Alqur’an, nenek moyang kami berasal dari yang satu yang Allah ciptakan dari saripati tanah liat yaitu Nabi Adam. Namun bagi para pengikut teori Evolusi Darwin, mereka yakin dengan teori mereka bahwa nenek moyang mereka berasal dari kera.

Sekalipun itu merendahkan harga diri mereka. Sehingga nama-nama fosil yang mereka para arkeolog Darwinisme temukan tak akan jauh gelarnya dengan “TROPHUS”. Lihat saja contohnya. Yang terkenal Phitecantrophus Erectus (Manusia kera yang berjalan tegak) lalu ada Meganthropus palaeojavanicus disusul dengan banyak jenis trophus-trophus yang lain seperti Pitecantrophus Wajakensis, Pitecantrophus Nethertalensis, Pitecantrophus Pekinensis dan lain sebagainya.

Seminggu sudah UUC 1 kami jalani. Siswa yang nilainya kurang harus menjalani remedial. Alhamdulillah dari sekian pelajaran yang diujikan tak satupun yang tega mencantumkan namaku dalam daftar siswa yang ikut remedi. Hari ini keberuntungan dan rahmat Ilahi masih memayungi siswa desa ini. Pengumuman itu sendiri ditulis di selembar kertas daftar absensi siswa yang ditempelkan di kaca ruang guru. Selama seminggu kegiatan belajar mengajar praktis kosong. Guru-guru sibuk menyetorkan daftar nilai siswa ke walikelas-walikelas. Sedang para siswa paling datangnya jam 7 pagi lalu jam 10 sudah sepi. Sabtu depan ayahku akan mengambilkan raportku.

Ayahku datang dengan sepeda jengki biru. Pakaiannya sederhana hanya kemeja batik dengan celana cokelat muda tapi lebih cocok kalau dibilang krem. Kulit hitam dengan uban menghiasi rambutnya. Senyum keci terlempar dari mulutnya ketika ia mellihatku yang sedang duduk bergerumun dengan teman-temanku. Giginya kuning namun tetap utuh belum ada yang tanggal meskipun usianya telah 60an. Katanya ia jarang sikat gigi tapi ia tidak sering makan dan minum yang panas-panas dan dingin-dingin. Sehingga meskipun usianya telah menginjak senja giginya tetep utuh. Itulah rahasianya sekalian menjalankan perintah sang baginda Rasul. Sekali mendayung 2/3 pulau terlampaui. Sambil nyari pahala sambil merawat gigi.

Pukul sembilan pagi ia keluar dari ruangan. Acara pembagian raport telah usai. Ia langsung pamit tanpa mengucapkan sebatang kata selain senyuman dan salam. Katanya hendak mengambil raport kakakku di SMA Bojong.
“Alhamdulillah tak ada yang merah, aku dapat predikat juara kelas lagi!” teriakku di sanubari.

Wednesday, June 24, 2009

Sepeda Jengki Pedal 4

Pedal 4
MOS


Wahyu, Dofa, Ahmad dan aku serta Basyir bersepeda bersama. Semuanya mengendarai sepeda mini biru merek Phoenix. Pagi pukul 08.00 wib, matahari telah meninggi sepanjang tombak tentara dari garis cakrawala. Jalan Tunjungsari-Kadipaten sepi. Hanya kami berlima pemakai jalan ini. Jalan selebar 2 meter ini belum beraspal hanya tanah coklat keras yang menutupinya. Jika hujan turun di musim penghujan maka kami harus bersiap-siap untuk jatuh karena begitu licinnya. Sedang ban sepeda kami tak mengenal tipe basah dan tipe kering seperti ban Bridgestone ala motoGP.

Jalan ini adalah salah satu jalan penghubung bagi desa kami jika hendak ke kota. Lokasinya berada di bagian selatan desa. Di pinggir jalan sebelah selatannya terdapat sungai irigasi selebar ± 3 meter dengan kedalaman 2 meter. Jika musim kemarau tiba, bisa dipastikan air di sungai itu habis dan bagian dasar sungai akan nampak kering kerontang. Karena sungai tersebut termasuk sungai tadah hujan. Sedangkan sebelah utaranya puluhan hektar sawah membentang. Jika sedang musim tanam sawah tersebut akan terlihat seperti lembaran karpet hijau yang amat sejuk dan sedap jika dipandang oleh indra penglihatan kita.

Kami hendak mendaftar di SMP N 3 Wiradesa guna melanjutkan pendidikan setelah lulus dari MIM Muhammadiyah. Jarak gedung SMP tersebut sekitar 5 km dari desa kami sehingga kami mampu menempuhnya dengan hanya bersepeda. Selain itu memang belum ada angkot dari desa kami menuju ke sana. Pendaftaran akan ditutup pada pukul 12.00 wib.

Besoknya, kami melihat pengumuman. Apakah kami diterima atau tidak? Anak laki-laki dan perempuan SD/MI riuh rendah saling berteriak dan dorong-mendorong. Kulihat namaku tertera di papan pengumuman.
“Hey, konco-konco aku ditompo. Alhamdulillah! Kowe piye, Wah?”
“Alhamdulillah aku podo bae ditompo. Tapi neng kelas 1B.”
“Aku podo bae ditompo neng 1B!” kata Ahmad.
“Nek aku neng 1A, bareng kowe Ibnu!”kata Dofa.
“Syir, kowe ditompo pora?”
“Alhamdulillah aku ditompo, tapi aku misah dewe neng 1D!”
“Ra po-po, tinimbang ora ditompo, iyo kan?”

Bagiku masuk kelas 1A adalah sebuah kebangggaan. Karena di sana berkumpul para pemilik DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) tinggi-tinggi.
Sepatu hitam merek Reebok kukenakan di kaki kanan dan kaki kiriku. Kaos kaki putih polos melapisi kaki mungilku sebelum Reebok menutupnya. Kain bendera Indonesia terbalik membungkus badan kerempeng yang telah terisi nasi megono. Putih di atas sebagai baju dan merah sebagai celana. Seragam MI yang dulu dipakai setiap hari senin dan selasa ini wajib kami pakai selama acara resmi yang berjudul MOS (Masa Orientasi Sekolah). Masa orientasi ini akan berlangsung selama 3 hari. Sebelum periodeku masuk SMP namanya bukan MOS melainkan PENATARAN P4.

MOS adalah acara yang dimaksudkan untuk memperkenalkan sekolah kepada kami. Baik memperkenalkan gedung-gedungnya yang selalu membisu kepada kami ataupun sistem pengajaran yang akan kami hadapi dan gunakan serta guru-guru dan lingkungan yang akan kita injak setiap hari senin hingga jumat selama 3 tahun. Selain itu MOS dimaksudkan untuk lebih mengakrabkan antar siswa baru yang berasal dari SD dan MI serta desa yang berbeda. Di acara MOS kami juga diajak bermain dari yang keras dan menakutkan hingga yang lemah lembut penuh kelucuan serta sedikit menggelitik.

Di SMP, MOS tidak diadakan seperti di tingkat SMA. Kalau di SMA kadang-kadang siswa baru disuruh ini dan itu. Seperti disuruh menggunakan pita dari tali rafia berwarna-warni bagi yang perempuan serta menggunakan topi kerucut dari kertas karton bagi yang laki-laki. Ataupun disuruh menggunkan sepatu yang berbeda warna. Tapi kalau di SMP kami benar-benar dididik untuk mengenal apa itu sekolah menengah pertama, bagaimana tantangan dan kendala serta persiapan apa yang harus dilakukan ketika kami berada di sana. Kami juga diajarkan bagaimana tata krama terhadap teman dan guru. Semua materi itu tertuang dalam materi yang kakak pembina bilang WAWASAN WIYATA MANDALA.
Upacara apel pagi sebelum MOS di mulai.

“Semuanya siaap..krek!”
“Kepada Sang Merah Putih Hormaaaat…krek!!”

Serentak tangan kanan kami terangkat menuju pelipis kanan. Sebuah kain berwarna merah dan putih berkibar di angkasa. Rasa haru dan merinding menggelayut sekujur badan merasakan perjuangan para pahlawan dahulu yang merebut kemerdekaaan dari tangan keparat Belanda. Mereka rela mengorbankan apapun yang dimilikinya demi mem-pertahankan sebuah harga diri bangsa yang diinjak-injak. Bahkan harta terakhir mereka yang tidak dapat diganti dengan apapun juga dikorbankan yaitu nyawa mereka. Dalam benak mereka tertanam kata-kata pengobar semangat penuh makna : LEBIH BAIK BERPUTIH TULANG DARIPADA BERPUTIH MATA dan bagi yang muslim lebih bersemangat lagi dengan kata-kata : HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID. Nyawa merekapun akhirnya melayang dengan status syahid dengan surga penuh bidadari telah menunggu di akhirat sana.

Upacara telah selesai tapi kami tak boleh masuk ke ruangan. Ternyata, kakak-kakak pembina ingin memberikan kami pendidikan latihan baris berbaris seperti tentara. Dari posisi siap, lencang kanan, lencang kiri, jalan di tempat, hadap kanan, hadap kiri, belok kanan, belok kiri, berhitung, hormat kepada bendera merah putih, istirahat di tempat, hingga langkah tegap yang membuat kaki cepat capek karena kaki harus dihentakan dengan kuat. Waktu kami berhitung banyak yang salah. Temanku si Amat waktu berhitung salah satunya. Ceritanya begini. Dia berdiri di barisan depan dan nomor dua dari kanan. Sewaktu kami disuruh berhitung oleh kakak pembina ia harusnya mengucapkan dua tapi tak disangka yang keluar lain.

“Semuanya siaap..krek!”
“Berhitung….! Mulai!!!” aba-aba dari kakak pembina laki-laki.
“Satu…,”suara temanku nomor satu.
“………………………………………………” semuanya diam tak ada yang bersuara termasuk aku.
“Mat!!!”teriak temanku satunya yang berada di belakangnya.
“Ada apa?” jawab Amat.
“Giliran kamu berhitung!!”
“Oh ya, S-Y-A-T-U!” teriaknya memecah keheningan suasana. Sontak semua peserta MOS tertawa cekikikan.

“Di…..aaaaammmmmmm, semuanya diiiiiaaaammmm!!!!!!!” kakak pembina berteriak kencang bak serigala melolong di malam jumat kliwon.
Secara otomatis anak-anak diam karena takut.
“Ulangi ya..siapa kamu namanya dik?”
“Amat, Kak!” kata temanku yang tadi menegur.
“Jangan melamun ya, nanti kakak suruh push up lho!”
“Iya kak!”

“Berhitung mulai..!”
“Satu..dua..tiga..empat..lima..enam..tujuh..delapan…9..10..11..12..13..14..15..16!!”
Semua siswa baru memang berjumlah 160 yang terbagi dalam 4 kelas dari A, B, C, dan D serta tiap 1 baris berbanjar 10 anak.

Sewaktu jalan di tempat suara hentakan sepatu begitu keras. Kaki kami harus diangkat setinggi-tingginya.
“Ayo diangkat setinggi rata-rata air!!”
“Kak tidak ada air di sini!” cerocos temanku yang bocor.
“Maksudnya angkat kaki setinggi ini!” kakak pembina dari OSIS itu mempraktekan dengan mengangkat kakik kanannya membentuk sudut 900 dengan betisnya. Sedangkan kaki kirinya berpijak di bumi berdiri lurus.

Sedangkan untuk latihan penghormatan lain lagi ceritanya.
“Ayo siku kalian membentuk sudut 450!” Begitulah komando kakak pembina. Sebab kalau sudutnya 900 seperti ganmbar polisi lalu lintas di belakang gambaran punyaku dulu waktu aku masih kecil yang menandakn itu urutan 30. Dan kalau sudutnya 1800 itu namanya lencang kanan bos!

“Semuanya siaap..krek!”
“Posisi siap itu tangan mengepal seperti waktu kita memeras santan kelapa. Diletakkan menempel di paha. Pandangan lurus ke depan jangan tengak-tengok kanan dan kiri. Seperti mau manyeberang jalan raya saja. Kaki kanan dan kiri dirapatkan membentuk huruf V!” Kakak pembina mengingatkan peserta MOS yang masih kikuk dan tegang sehingga lagi-lagi salah.

Hatiku mulai dongkol. Dongkol kenapa? Karena matahari mulai mencurahkan semua sinarnya yang terik. Tapi kakak pembina belum juga kelar memberikan materi PBB (Pelatihan Baris Berbaris) ala tentara ini. Ranah pikiranku mulai berdendang.

“Emang kakak bisa apa memeras santan? Yang benar itu memeras parutan kelapa untuk menghasilkan santan, Kak!”
“Tangan menempel di paha? Biar lengket sekalian kasih lem ALTECO saja!”
“Pandangan ke depan? Ya iyalah ke depan, kalau ke bawah namanya orang lagi mencari uang recehannya yang hilang!!”

“Kaki dirapatkan? Hal kecil menempelkan kaki saja harus pakai rapat segala, sekalian saja votting unutuk menentukan siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju mengenai kaki membentuk huruf V atau pingin ganti dengan huruf yang lain seperti huruf L, X, A atawa C. Begitu kan lebih demokratis, ya kan?

“Tepuk Pramuka…!!!!”
“Prok..prok..prok..Prok..prok..prok..Prok..prok..prok..Prok..prok.......prok….prok..!!

Hari jumat jam 16.00 wib adalah ekstrakulikuler pramuka. Pramuka singkatan dari Praja Muda Karana. Kesatuan yang muncul dari ide orisinil Kakek Jhon Hendry Dunant ini selalu mengenakan pakaian cokelat-cokelat. Pakaian atas cokelat muda dan celananya cokelat tua. Dengan tambahan berupa gambar tunas kelapa di saku kanan dan di baret juga ada. Dasi merah putih dilipat-lipat bak ular tali wongso yang bermutasi dari sebelumnya warna kuning dan hitam. Serta berpindah dan bermigrasi habitatnya dari sebelumnya di hutan kini selalu nyangkut melingkar di leher para pasukan bertongkat itu.

Kami akan tampak gagah sekali jika sudah mengenakan semua aksesori dan embel-embel yang berbau PRAMUKA. Tali temali selalu menggantung di ikat pinggang hitam kami. Ikat pinggang harus hitam tidak boleh putih. Dan selalu hitam tidak pernah naik tingkat ke sabuk merah. Kami naik tingkatnya dari Siaga mula ke siaga bantu lalu ke siaga tata. Di tingkat berikutnya adalah Penggalang ramu, rakit dan terap terus ke Penegak bantara dan laksana dan terakhir Pandega. Setiap anggota pramuka seperti kami wajib menghafalkan 2 puisi yang disebut TRISATYA dan DASADHARMA PRAMUKA.

TRI SATYA

Demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh
-Menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan Negara Kesatuan Republik Indonmesia dan menjalankan Pancasila.
-Menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun masyarakat.
-Menepati dasa dharma.


DASA DHARMA PRAMUKA

Pramuka itu:

1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia
3. Patriot yang sopan dan kesatria
4. Patuh dan suka bermusyawarah
5. Rela menolong dan tabah
6. Rajin, trampil dan gembira
7. Hemat, cermat dan bersahaja
8. Disiplin, berani dan setia
9. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
10. Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan

Tuesday, June 23, 2009

Sepeda Jengki Pedal 3

Pedal 3
Sayur Lodeh


Ayam jantan berkokok diikuti gema adzan subuh dari masjid As Sholihin yang dikumandangkan oleh Lek Rali. Suara kokok ayam dan adzan itu membangunkan kami dari mimpi indah. Udara dingin menyambutku setelah ayahku membangunkanku dengan membelaiku penuh kasih dan sayang. Ia sendiri telah bangun terlebih dahulu bareng ibuku. Mungkin sebelum subuh keduanya mendirikan sholat tahajjud. Hampir setiap hari ia tak pernah lupa mengingatkanku untuk diajak sholat shubuh berjamaah di musholla samping rumahku. Dan ia akan membangukanku jika aku belum terbangun, namun kadang aku juga lebih dulu bangunnya dari mereka jika aku sedang rajin.

Kring..kring..kring..kring..suara bel sepeda jengki Lek Khaliri membelah pagi desa kecil Tunjungsari. Jika Sang penjual tempe itu sudah berangkat membawa keranjangnya yang berisi tempe menandakan jam dinding telah menunjukan pukul 05.30 wib.
“Ibnu, mono tuku tempe Rp 1000,-,” pinta ibuku
“Endi duwite, Mak!” jawabku
“Kiye, bar kuwi tuku sego nggon Wo Wahayu 3 bungkus yo!”
“Inggih, Mak!”

Ku berjalan menemui Lek Khaliri. Sekotak tempe berukuran 10 x 20 cm diserahkan Lek Khaliri padaku.
“Matur nuwun, Lek! niki artone.”
“Podo-podo, Ibnu!”

Aku adalah bontot dari 8 bersaudara. Sebenarnya kalau mau ibu akan menyuruh kakakku yang membeli nasi tapi ibu ingin mnegajari aku untuk tidak menjadi anak yang manja.
Dengan berjalan kaki aku menuju warung Wo Wahayu. Jaraknya memang tak seberapa dengan rumah ibuku ± 400 m. Dalam sekejap mata berkedip pun aku mungkin sudah sampai ke sana jika aku berlari. Warung nasi yang buka tiap pagi itu menyediakan sarapan berupa nasi megono, bubur, sayur lodeh, teh manis dan krupuk sebagai lalapan. Tidak hanya aku dari kauman kulon yang jadi pelanggannya, tapi hampir dari penjuru desa. Walaupun tidak semuanya he..he..he..he..he..

Nasi tersebut bisa dibungkus untuk dibawa pulang dan dimakan di rumah atau mau dimakan di warung juga bisa. Kalau dibungkus Wo Wahayu menyediakan godong gedang (daun pisang) sebagai pembungkusnya. Sedangkan apabila ingin makan di sana, Wo wahayu menyediakan piring beling (piring kaca).

Warungnya berada di depan rumahnya menhadap ke selatan. Dengan ukuran ruangan 4 x 4 m warung tesebut mampu menampung 1 meja besar tempat Wo Wahayu menaruh barang-barang logistik. Terus 2 tempat duduk/kursi berukuran besar dan panjang yang terbuat dari kayu jati berukir di senderannya menempati sebelah timur dan selatan meja itu. Jendelanya berbentuk lempengan kayu yang bisa dilepas dan dipasang. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sederhana tapi bersih dan rapi. Namanya juga Wo Wahayu. Kalau boleh diartitkan Wahayu = Wah + Ayu (cakep). Jadi kalau warungnya tidak rapi nama pemiliknya bisa diganti dengan Wahelek = Wah + Elek (jelek). Tapi aku tak tahu, kenapa beliau diberi nama Wahayu. Wallahu a’lam bi shawab.

Aku datang ke sana kurang lebih pukul 05.45 wib. Nasi belum diangkat dari tungkunya. Megono pun baru selesai dijunjung dari dandang. Sayur lodeh telah tersaji di baskom seng. Aku memang pelanggan yang datang paling awal. Berberapa orangn dewasa datang menyusul di belakangku. Wo Wahayu datang dari dapur sambil mengusap rambutnya dengan tangan kanan. Mungkin ingin terlihat rapi bagi pelanggannya. Rambut putih telah menghiasi sebagian komunitas rambut di kepalanya. Rambut tak berkerudung itu di ikat dengan rambut itu sendiri. Kami orang desa menyebutnya digelung untuk model rambut yang hanya digandrungi kaum hawa tua. Ia mulai melayani pembeli dengan bertanya penuh ramah.

“Kowe opo Leh?” tanyanya padaku.
“Sekul megono kaleh mboten ngagem jangan, sing setunggal sekul megono ngagem jangan, Wo!”

“Wo, aku ndisik yo. Soale anakku arep mangkat sekolah adoh!” kata perempuan bernama Rahmah beralasan.
“Aku podo wae Wo njaluk ndisik, bojoku arep mangkat kerjo!” kata perempuan satunya.
“Piro Mbak Rahmah?”
“5 bungkus, 3 megono ora nganggo lodeh, sing siji nganggo lha sing siji bubur kanggo anak cilikku!”

Wo Wahayu membungkuskan nasi megono untuk Mbak Rahmah. Ia meninggalkan pelanggan pertamanya, aku. Satu pelanggan mendahuluiku.

“Matur nuwun, Wo. Niki Rp 2.500,-!“ ia menyerahkan uang pada Wo Wahayu.
“Njenengan nopo, Bu?” tanya Wo Wahayu pada wanita bersuamikan orang kantoran itu.
“Telung bungkus sego megono nganggo lodeh Wo. Sing siji dipepes yo Wo karo kei tempe. Siji bae tempene!”

Dengan cepat dan tangkas Wo Wahayu membungkus satu persatu nasi megono.
“Iki wo duwite Rp 1.750,-“

Pelanggan berikutnya datang. Seorang perempuan tua. Usianya kurang lebih 65 tahun. Ia juga minta didahulukan. Aku mengalah. Tak mungin aku berkeras diri. Di mana budi pekertiku. Ia datang dengan beberapa orang.

“Wo, njenengan pinten bungkus?” tanya Wo Wahayu pada perempuan tua bernama Siti itu. Ia memanggil Wo Siti dengan “Wo” karena Wo Wahayu lebih muda dari Wo Siti.
“Sak bungkus wae, Yu!”

Berikutnya bapak-bapak datang ingin sarapan di situ sebelum berangkat ke sawah. Wo Wahayu pun mendahulukan mereka. Kesabaranku menunggu dan mengalah mulai terusik karena jam telah menunjukan pukul 06.25 wib.

“Wo aku ra Wo. Moso, aku tekone paling ndisik ko didodoline terakhir!!” aku protes.
“Ngko ndisik Leh yo!”

Pelanggan berikutnya datang silih berganti minta didahulukan hingga Wo Wahayu melupakan aku. Aku sudah kehabisan kesabaran. Apalagi jam telah berdentang dengan jarum panjang telah berada di atas angka 9 dan jarum pendek berada di atas angka antara 6 dan tujuh. Itu artinya sebentar lagi pukul 7 pagi. Waktu di mana aku harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku belum mandi apalagi sarapan. Hati dongkol & darah panas mengalir di sekujur badan. Dengan wajah merah menahan tangis serta mata yang mulai berair aku meninggalkan warung sambil memukul pintu warung.
Dalam hati aku bernyanyi lagu sedih. Umpatan dan cacian bertubi-tubi keluar dari mulut mungilku.

“Asem, dl@3876....!!!!! Kurang Ajar @#$@*%(!!)Astaghfirullah.!!”

Kadang memang orang tua itu terlau egois. Mereka tidak memperhatikan perasaan anak kecil macam aku. Bagaimana mungkin aku yang datang paling awal harus pulang tanpa menenteng sebungkuspun nasi megono. Walaupun anak kecil tak seharusnya mereka mengkerdilkannya. Inikah teladan orang tua bagi anak kecil seperti aku. Jika aku mau aku bisa mengobrak-abrik dagangan Wo Wahayu. Tapi dalam diriku telah tertanam sifat kesabaran ibuku yang tak mungkin luntur begitu saja oleh sebungkus nasi megono.

Aku tak habis berpikir bagaimana orang tua yang kata orang telah memakan bangku sekolah dan banyak garam masih begitu rendah rasa menghargainya meskipun terhadap anak-anak. Kalau terhadap anak kecil saja seperti itu bagaimana terhadap orang tua. Dari Ibu istri kantoran, nenek-nenek hingga bapak-bapak.

Walaupun anak kecil, sepatutnya orang yang lebih dewasa menghargainya. Budaya antri memang belum tertanam dalam jiwa rakyat desaku. Semoga Allah mencurahkan rahmat pada mereka sehingga dikemudian hari mereka akan lebih menghargai dan memahami perasaan anak kecil sehingga di Negara ini lahir para pemimpin berakhlak mulia karena tauladan yang mulia pula.

Related Post

Related Posts with Thumbnails