Saturday, June 27, 2009

Sepeda Jengki Pedal 8

Pedal 8
Comal First Shelter


Tekadku telah bulat. Jalan raya yang sepi dan serasa tak beru-jung itu kulewati sejengkal demi sejengkal. Selangkah demi selang-kah. Semeter demi semeter. Hingga kota Wiradesa tak tampak lagi di ujung pandanganku. Di atas sadel sepeda jengkiku aku terus mengayuh sambil merenung.

Tiba-tiba seperti ada suara yang menanyaiku.
”Kenapa kau melakukan ini?
Apa yang sedang kau lakukan?
Apa salah orang tuamu?
Apa salah teman-temanmu?
Kenapa kau tega melakukan perbuatan yang dapat mengiris hati orang-orang yang mencintai dan menyayangimu setulus hati?
Apa salah mereka kepadamu?
”Berbagai pertanyaan itu terngiang-ngiang di telingaku.
”Sadarkah engkau dengan perbuatanmu ini?

Cobalah kau ingat, Betapa sayangnya Ibumu padamu? Kau pasti ingat dikala engkau sakit thypes dan kau tergeletak di ranjang setengah bulan!
Siapa yang merawatmu?
Siapa yang menyuapimu?
Siapa yang memanggilkan dokter untukmu?
Siapa yang menjagamu dan menemanimu dikala engkau tidur? Disaat engkau muntah karena tak kuat menahan mual di usus dan lambungmu.
Siapa yang membersihkan kotoran itu?

Bukankah engkau melihat sendiri ketika engkau terbangun, engkau minta dibuatkan teh hangat, dengan mata sayu sambil mengucek-ngucek matanya yang masih merah ia membuatkan teh yang kau minta itu lalu memberikannya padamu. Ia tetap melayanimu dengan penuh kasih sayang meskipun badannya capek. Dan demi harapan ingin melihat sebuah kesembuhan untuk anak terkecilnya yaitu kamu, ia tetap merawat dirimu.

Siapa yang merawatmu disaat engkau masih kecil?
Siapa yang menyusuimu selama 2 tahun?
Siapa yang malam-malam bangun disaat engkau menangis karena ngompol dan harus diganti popoknya? Siapa..?
Siapa yang telah membiayaimu selama belajar di MIM dan SMP…?
Siapa yang membiayaimu disaat engkau ikut por-seni (Pekan Olah Raga dan Seni) MI di Banyumas…..?
Siapa yang memberimu makan selama ini?
Siapa lagi kalau bukan Ibumu dan bapakmu?
Inikah pembalasan yang akan kau berikan padanya?
Sungguh kejam, durhaka, anak yang tidak berbakti dan tidak tahu terima kasih.”

Di mana akhlak yang kau pelajari sewaktu kau belajar di Ma-drasah dulu?
Di mana pelajaran agama yang kau pelajari di TPA dan di Ma’had Al Hasan Al Bashri? Di mana nuranimu…?
Di mana akal sehatmu sehingga engkau berani melakukan tindakan yang bakal membuat ia menangis mungkin sehari mungkin seminggu mungkin sebulan atau bahkan bertahun-tahun…..?

Bukankah dulu engkau sendiri yang meminta sekolah di STM N 1 Kedungwuni. Sekolah yang jauh dari tempat tinggalmu. Bahkan diawal-awal, Ibumu telah mengi-ngatkanmu, bahwa ia akan kesulitan membiayai sekolahmu. Tapi kau tetap keukeuh pada pendirian ingin sekolah di sana. Sekarang engkau ingin mencoba menyakitinya dengan pergi tanpa pamit alias kabur dari rumah.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang membentuk lagu keras dan rock di telingaku. Sehingga rasanya gendang telingaku terasa mau pecah.

Pikiran iblislah yang terus menyemangatiku agar terus dan terus menggenjot dan mengayuh pedal sepeda jengkiku. ”Sudah ga usah dipikirkan, bukankah mereka tidak peduli padamu, buktinya setiap hari menu makannya itu-itu melulu tak ada variasi. Kalau pagi sego megono (nasi liwet lauk nangka yang dicacah tanpa aturan dengan golok hingga terpotong kecil-kecil lalu diberi bumbu dan rempah-rempah dengan rasa khas Pekalongan dan dikukus hingga mateng). Kalau siang ya nasi lauk tempe goreng dan sayur asam. Uang saku juga tidak bertambah Rp 2000,- terus padahal kan harga-harga pada naik, angkot juga naik tarifnya, jajanan di kantin juga naik. Masa kamu uang sakunya ndak naik-naik, kamu juga pingin hiburan, masa tiap kali diajak main PS kamu menolak terus dengan alasan ga punya duit. Daripada di sana lebih baik di Jakarta. Ayo terus genjot, teman-temanmu pasti senang jika kamu tak ada di sana. Karena tak ada anggota organisasi seperti kamu yang nyebelin, telat rapat terus dll.”

Ternyata hati, ampela, lambung, rambut, kaki, tangan, otak dan seluruh anggota badanku memilih untuk terus melanjutkan perjalanan sekaligus petualangan baru bersepeda ke Jakarta. Jarang-ja-rang lho kawan piknik ke Jakarta naik sepeda. Biasanya ke Jakarta kan naik bus atau kereta api atau sepeda motor. Walaupun dulu ke Jakarta pernah ada yang jalan kaki.

Eh di Comal muncul lagi pertanyaan, tapi sekarang agak aneh pertanyannya. Setan apa yang merasukimu hah? Kesambet di mana kau? Apa di pohon salam? sebab beberapa hari ini kau agaknya se-neng banget manjat pohon. Padahal kan udah lama kau pensiun dari kegiatan panjat memanjat. Atau di sungai besar yang mengalir airnya hingga Pait itu? Karena akhir-akhir ini kau juga sering mandi di sungai walaupun air di sumur banyak.

Aku ragu, kurem sepedaku. Kupinggirkan. ”Hebat sekali,” je-ritku. Sudah lama aku tak mengayuh sejauh ini. Paling jauh juga ke sekolah. Ini sudah ± 30 km dari rumahku. Apalagi untuk ukuran se-peda jengki. Untungnya dulu ayahku mengajarkan aku menempuh perjalanan jauh dengan bersepeda walaupun saat itu aku hanya duduk di belakang alias membonceng. Serta dulu sering bareng teman-te-manku ke Pantai Kisik dan Sunter atau ke Makam Pahlawan Wangandowo (Bojong) dan Bukit di Kajen. Daerah yang pernah ku-singgahi bersepeda bareng ayahku antara lain Ulujami, Kedungwuni, juga Sragi. Comal sebuah kecamatan yang berkabupaten di Pemalang berada di sebelah barat Pekalongan menjadi tempat pemberhentian pertama (Comal First Shelter). Kulihat jam menunjukan pukul 07.00 wib. Aku memang tak membawa jam tapi aku bisa melihat jam dinding yang menempel di Masjid dekat aku berdiri.

Tak kurang sepuluh menit aku berpikir untuk kembali atau terus. Untuk kembali mumpung masih dekat dan untuk terus perjalanan masih jauh jarak yang harus kutempuh. Padahal aku tak tahu aku sebenarnya mau kemana? Ah yang penting kabur dan tak ketemu lagi dengan orang-orang yang dalam tanda kutip bikin aku tak tenang. Dan sepeda jengkipun kembali berjalan. Roda dan rantai berputar dan terus berputar tanpa mengenal rasa lelah. Keduanya berputar sesuai program G03 dengan putaran sebesar 80 rpm dan kecepatan maksimumnya 28 km/jam . Ia tak mau berputar berlawanan arah jarum jam. Sebab jika sekali-kali berani menggunakan program G02 atau berlawanan arah jarum jam maka otomatis sepeda jengki akan berhenti. Karena memang begitulah cara kerja rem bos pada jenis kendaraan kereta angin ini. Namun apalah jua perut yang kosong memanggil sang bos otak supaya memerintahkan kaki tuk berhenti mengayuh dan istirahat. Mesjid di Brebes menjadi tempat pember-hentian berikutnya. Di sana aku minum air kran. Padahal ada uang saku ± Rp 20.000,00 yang bisa aku belikan roti dan air mineral. Dahaga dan lelah telah sirna. Sebelum melanjutkan perjalanan tak lupa sebotol air mineral dan sebungkus roti bolu isi 12 potong kubeli. Kupersiapkan jika nanti ditengah jalan aku kehausan dan kelaparan. Rp 1500,00 + Rp 1200,00 telah kuhabiskan dan sisanya kukantongi.

Tujuanku sekarang telah terbentuk dan tercatat dalam memoriku yang minim kreasi ini ”JAKARTA”. Di mana kakakku Buroh tinggal. Tepatnya daerah Kel.Kebonpala, Kec.Makasar, Jakarta Timur. Aku masih ingat. Walaupun kenangan itu terukir 7 tahun yang lalu. Paling tidak aku kenal daerah yang Mbak Buroh tinggali. Matahari mulai beranjak meninggi dan rasa panas menghampiri tubuhku. Kebetulan waktu telah memasuki waktu sholat Dhuhur, sambil istirahat aku sholat di Brebes. Badanku terasa pegal semua. Pikiran tentang orang tua dan teman-teman di desa telah lenyap dari bayanganku. Walaupun kadang masih muncul. Yang ada di pikiranku sekarang adalah sholat dhuhur dulu setelah itu menemui kakakku di Jakarta. Walaupun apa yang terjadi di sana nanti. Dalam hatiku aku berkata sudah kepalang tanggung aku mengayuh sepeda sejauh ini. Selepas jamaah dhuhur aku melanjutkan petualanganku. Ya sebuah PETUALANGAN BERSEPEDA KE JAKARTA. Untuk sholat Ashar aku mampir di Masjid daerah Cirebon. Yang ada di pikiranku hanyalah mampir ke masjid dan masjid tak ada keinginan untuk mampir ke rumah orang atau kantor polisi. Bahkan botol air minum telah beberapa kali kuisi ulang dengan air kran dari beberapa masjid yang kusinggahi. Tak ada perasaan takut diare untuk hari ini dan esok selama petualangan belum berhenti.

Keringat membasahi tubuhku. Sesekali baju lengan panjang atau kaos bergambar kepala harimau warna hitam kugunakan lengannya untuk menyeka keringat yang mengalir deras dari ubun-ubun kepalaku. Baju seragam PEMUDA PANCASILA itu pun menjadi basah kuyup meskipun tak ada hujan. Ya Alhamdulillah hujan tak turun menyertai perjalanan ini. Tapi panas matahari yang memantul dari aspal atau langsung mengenai badan ini terasa membakar sekujur tubuh kerempeng ini. Terbersit dalam hati ketika melihat TOPI di jalan untuk mengambil-nya. Namun hati dan akalku melarangnya. Karena memang bukan hakku untuk menggunakannya. Walaupun dalam keadaan seperti ini ternyata nurani dan imanku masih bisa berkata lho kawan.

Dan puncak panas hari ini adalah jalanan aspal perbatasan Ja-wa Tengah dan Jawa Barat tepatnya Brebes-Cirebon. Di mana kanan dan kiri jalan ditumbuhi tanaman bawang merah yang tak ada satu-pun pohon besar di pinggir jalan. Sehingga semakin menambah pa-nas dan dahaganya hari itu. Entah kalau diukur suhunya mungkin mencapai sekitar 380C. Kalau anak kecil yang kepanasan mungkin sudah kejang-kejang kali…Celana panjang abu-abu seragam STM-ku membantu melindungi kakiku dari terik matahari dan pembakaran sinar ultra violet yang mulai menerobos dengan leluasa ke lapisan atmosfer bumi karena makin melebarnya lubang ozon akibat pemanasan global dan gas rumah kaca. Sinar matahari yang mengandung sinar UV itu tak tahu perasaan seenaknya memanggang tubuhku yang kurus kering ini. Matahari mulai bergerak perlahan-lahan untuk menyelam di ufuk barat. Semburat jingga nampak indah mengiringi kayuhan remaja tak tahu terima kasih ini.

Akhirnya perlahan namun pasti hari mulai gelap bersamaan terbenamnya sang surya di ufuk barat yang tunduk pada perintah sang Maha Pengatur. Tapi aku tak juga menemukan musholla atau mesjid untuk sholat maghrib. Padahal aku berencana tak akan mela-kukan kayuhan sepeda pada malam harinya. Namun tempat yang ku-harapkan tak kunjung tampak.

Sepeda terus kukayuh. Aku pasrah jika aku meninggal di ja-lanan sepi tapi ramai ini. Sepi karena tak kujumpai perumahan penduduk. Yang ada hanyalah hamparan tanaman padi dan ilalang. Bahkan surau, masjid atau mushola yang kucari di kiri dan kanan jalan belum juga nongol. Ramai karena kendaraan-kendaraan besar macam truk-truk gandeng, container dan bus-bus besar mulai banyak Semuanya berjalan di sebelah kiri jalan raya tdak disebelah kanan.

Entah kenapa di Indonesia yang katanya mayoritas masyarakatnya adalah muslim tapi jalannya di sebelah kiri, sedangkan di Inggris penduduknya yang sebagian besar beragama Kristen malah jalannya di sebelah kanan. Padahal Rasulullah Muhammad SAW lebih menekankan kepada kita dalam melakukan sesuatu khususnya yang baik-baik dengan yang kanan atau mendahulukan sebelah kanan daripada sebelah kiri. Contohnya wudlu dimulai dari tangan kanan kemudian baru tangan kiri. Atau perintah makan menggunakan tangan kanan. Contoh lainnya adalah tangan kanan digunakan untuk memberikan sesuatu atau hadiah kepada teman atau orang lain, sedangkan untuk yang kurang baik dengan tangan kiri. Contohnya ketika buang air besar ataupun kecil digunakan tangan kiri untuk membersihkannya.

Sejarah mencatat pada masa penjajahan Inggris di Indonesia seorang Jenderal bernama Jenderal Raflesia Arnoldi memberlakukan peraturan tersebut. Begitu yang tercatat dalam buku sejarah bangsa. Dan mereka (kendaraan-kendaraan besar) seolah-olah siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalan di depannya. Perasaan takut dan takjub mengisi pikiran ini. Sungguh pemandang-an yang jarang sekali kulihat.

Terbayar sudah harapan yang membuncah tuk menemukan musholla / masjid. Dari jarak ± 200 m kulihat Mustoko begitu orang jawa bilang. Meskipun orang Jakarta bilang itu adalah kubah. Simbol mesjid yang terletak di puncak tertinggi bangunan tempat ibadah bagi orang Islam. Entah apa namanya yang penting bagiku adalah aku berharap bisa istirahat di sana. Mudah-mudahan mesjid itu tak dikunci. Kupercepat ayunan pedal sepeda jengkiku. Karena kuper-kirakan waktu maghrib hampir habis. Sesampai di Mesjid itu yang ternyata adalah musholla kulihat hanya ada satu rumah di pinggir musholla itu. Aku yakin bahwa musholla ini adalah musholla keluarga tersebut. Rumah itu berada di sebelah kanan Musholla jika kita menghadap ke Kiblat (barat) atau di sebelah utara Musholla dan menghadap ke selatan. Sedangkan toilet dan tempat wudlunya berada di sampaing barat rumah Pak Khaeruddin juga menghadap ke selatan. Aku meminta izin kepada keluarga tersebut. Dari perkenalan Bapak Tuan Rumah itu adalah Bp. Khaerudin. Dan yang lainnya tak ada yang diperkenalkan oleh beliau. Ia bersedia mengizinkan aku untuk sholat maghrib dan isya serta menginap di situ. Maghrib aku laksanakan penuh dengan kekhusu’an. Selesai sholat dari wajah Pak Khaerudin kutangkap rasa heran kenapa aku sampai menginap segala.

Beliau bertanya,”Adik mengapa menginap di sini segala?”
“Aku ada masalah dengan keluarga, Pak” jawabku.
“Sebenarnya adik dari mana dan mau ke mana?” lanjutnya.
”Aku dari Pekalongan, tapi untuk ke mana aku bingung.”
”Kok bingung?” ia mencecarku.
”Sebenarnya aku mau ke tempat kakakku.”
”Di mana itu?”
”Di Jakarta Timur.”
”Terus!”
”Tapi aku takut kakakku marah karena aku kabur dari rumah.”
”Jadi adik tidak bilang orang tua tuk kesana!!”
”Sekarang adik sudah makan apa belum?” tanyanya lembut sekarang.
”Belum.”
”Sebentar ya......”

Sejurus kemudian kepala keluarga tersebut mengambilkan nasi dan lauk pauk ala kadarnya dari dalam rumah yang diambilkan putrinya. Tempe goreng dan sayur sop serta ikan teri plus sambal. Beberapa menit kemudian tubuhku terasa segar kembali setelah terisi oleh karbohidrat dan protein dari hidangan penuh keikhlasan Pak Khaerudin. Aku pamit untuk istirahat setelah sholat maghrib, Isya dan makan malam. Semalaman aku tidur tanpa selimut. Dingin dan nyamuk menyerang tanpa kenal ampun. Mungkin karena lapar juga nyamuk-nyamuk tersebut.

Bedug shubuh bergema dilanjutkan alunan adzan membangunkanku dari lelapnya tidur. Aku kaget. Kamar mandi untuk wudlu dan buang air dikunci. Aku berpikir keras bagaimana aku bisa wudlu kalau tidak ada air. Karena tak ada jalan lain, air mi-neral dalam botol aqua pun akhirnya aku gunakan untuk wudlu. Aku sholat dengan khusu’. Setelah selesai aku berdoa semoga besok di-perjalanan aku tak menemukan halangan yang berarti serta kudoakan keluarga ini semoga memperoleh rizki yang lancar sebab jika aku berdoa agar mereka diberi rizki yang banyak aku takut rizki tersebut akan habis saat itu juga, kuketuk pintu rumah Pak Khaerudin yang masih terkunci untuk mohon diri. Pak Khaerudin keluar.

”Pak, saya berterima kasih atas semuanya. Sekarang saya mau mo-hon diri. Mohon maaf telah merepotkan keluarga bapak.” katku sopan.
”Ah biasa aja dik, sekarang mau kemana?”
”Ke Jakarta, mencari kakakku” ujarku.
”Jadi ke Jakarta?”
”Iya Pak.”
”Ya udah kalau begitu saya tak sanggup menghalangi niatmu yang telah bulat. Hati-hati di jalan. Oh tunggu sebentar!” pesannnya kebapakan sambil masuk ke rumah.

Friday, June 26, 2009

Sepeda Jengki Pedal 6

Pedal 6
Cacing dan Typhus


Ku pandangi wajahnya yang mulai menua dan keriput. Ia tampak tulus dan terlihat kelelahan. Kepalanya di baringkan di atas kedua tangannya yang saling tindih antara tangan kanan dan tangan kirinya. Sedang tangannya yang seharian bekerja keras itu disandarkan pada bibir ranjang tempat tidur di mana aku membaringkan tubuhku yang lemas karena sakit.

Selama hampir 24 jam ia melayani, menunggu dan merawat aku, menyuapiku, menemaniku, menghiburku dan mendoakanku tanpa mengenal lelah. Hatiku terlalu rapuh untuk terus memandangi wanita tegar ini. Tak kuasa aku menahan mata ini. Mataku kabur tatkala mengingat segala kasih dan sayang yang ibu berikan, dan berlinangkanlah mutiara bening dari sudut mataku. Ingin aku memeluknya, tapi tubuhku terlalu lemas untuk bergerak sehabis aku memuntahkan segala isi perut. Tadi ibu membersihkan muntahan yang keluar dari perutku.

Aku cacingan kata Dokter Affandi yang memeriksaku pukul 20.00 wib. Di desaku ia lebih akrab dengan panggilan Pak Wandi. Ia dipanggil ke rumah karena aku mengerang kesakitan. Dan muntah beberapa kali serta buang air besar 2 kali. Mencret lagi.
Dan pukul 23.00 wib ini ia istirahat di sampingku karena kecapekan. Ibuku tidur dengan lelapnya. Ku lihat sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bertanya dalam hati apakah ia masih hidup ataukah telah tiada. Alhamdulillah, perutnya masih bergerak naik dan turun yang menandakan ia masih hidup. Tak bisa kubayangkan seandainya ia tiba-tiba meninggalkanku untuk selamanya. Sungguh tak bisa. Mataku kembali kabur menahan tangis dan air mata yang membasahi kelopak dan bulu mataku dan mulai membasahi bantal.

“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku. Mungkin ia tak bisa mendengar karena masih tertidur, tapi tak apalah.

Dua karung gabah masing-masing berbobot 52 kg dan 53 kg. Keduanya nangkringdi langkring depan dan boncengan belakang sepeda jengkiku. Dengan kepayahan kutuntun pelan-pelan sepeda. Hari ini aku mendapat tugas membawa gabah itu ke pabrik penggilingan padi Pak De H.Baedlowi. Beras hasil penggilingan rencananya mau digunakan untuk hajatan nikahan kakak kelimaku, Dila. Tahun 2001 ia dilamar orang Tirto, kota Pekalongan.

Pukul 14.00 wib. Matahari mulai lengser dari singgasana tertingginya. Antrean di pabrik Ricemill mulai banyak setelah buka pukul 1 lebih 45 menit. Bahkan ada yang sudah menuggu di luar gedung pabrik sejak pukul 13.00 tadi. Biasanya yang begitu adalah warga dari luar desa Tunjungsari. Nash, karyawan Pak de memutar diesel. Asap hitam mengepul dari corong knalpot diesel. Asap hitam yang keluar dari pembuangan kotoran diesel berbahan bakar solar itu menimbulkan bau yang tak sedap. Diesel itu sebagai motor penggerak mesin penggiling padi. Getaran yang ditimbulkan mesin penggiling terasa mengguncang gedung. Kebisingan yang ditimbulkan diesel dan mesin penggiling memantul ke dinding memekakan telinga.

Karung bertuliskan netto 50 kg tapi berisi ± 53 kg gabah kering milik orang diangkat nash ke kepala sebelum ditumpahkan ke corong mesin Ricemill. Enteng sekali kelihatannya. Mungkin karena Nash sudah terbiasa jadi gabah segetu mungkin dianggapnya tumpukan kapas kali ya sama Nash. He..he..he.. Bagaimana tidak biasa? Ia sudah kerja di situ sejak aku masih MI hingga aku STM. Kulit gabah atau kami sering menyebutnya dedeg muncrat dari corong ke penampungan sementara di ruang belakang mesin Ricemill. Sedang beras hasil kelupasan mengalir ke bakul melalui corong depan. Bakul terbuat dari anyaman bambu telah dipersiapkan Nash untuk menampungnya. Jika bakul telah penuh, Nash menuangnya ka karung. Padi punya orang telah selesai digiling dan Nash meminta sang empunya untuk mambawa beras yang telah terkuliti ke mesin Ricemill pembersih yang berada di sebelahnya.

2 karung padi kering milikkku mendapat giliran untuk dipecah. Kebetulan aku mendapat urutan nomor 5. Aku bersiap menadah padi kelupasan dengan bakul. Lalu kumasukkan ke karung bekas gabah tadi. Setelah itu kugeret karung pertama ke mesin Ricemill pembersih yang jaraknya sekitar 2 meter dari mesin pemecah gabah. Berikutnya karung kedua menyusul di belakang karung 1 untuk antri.

Waktu ashar telah tiba. Tapi berasku belum bersih juga. Tepat pukul 16.15, 2 karung berasku mendapat jatah untuk dibersihkan. Bekatul dari padi kukumpulkan untuk umpan ayam di rumah. Selesai sudah beras digiling oleh karyawan yang satunya. Beras ditimbang oleh Bu De ku, Wo Khur. Ia istri dari Pak De H.Baedlowi. Tadinya bukan ia yang jaga, namun sepeninggalnya pak De mau tak mau ia harus jaga Ricemill. Total jenderal beras yang digiling ada 60 kg. Biayanya Rp 6000,- dengan perhitungan biaya jasa penggilingan adalah Rp 100/kg. Sedangkan bekatulnya di gratiskan kata Wo Khur.

“Matur nuwun nggih Wo!” ucapku.
“Podo-podo Ndung!!” jawab Wo Khur ramah.

Beras yang tadinya 2 karung kini tinggal 1 karung setelah mengalami proses penggilingan. Kuangkat beras tadi dengan kupeluk dan menggunakan kedua tanganku memegang pojokan karung tersebut. Sedangklan bagian atasnya biar tertutup rapat ku pocong dengan tali rafia kuat-kuat. Kuletakkan komplotan beras dalam karung itu di boncengan belakang sepeda jengki. Supaya tidak jatuh kuikat karung dengan tali yang kubuat dari sobekan karet ban dalam sepeda bekas. Perasaan beras 60 kg dengan gabah 105 kg lebih enteng gabah 105 kg. Apa karena aku sudah kecapekan kali ya. Aku merasa tak kuat memboncengkan beras 60 kg. Sepeda jengkiku bagian depan hendak terangkat sewaktu aku mau mulai menggenjotnya.

“E…e..ee..eee..eee”
Dari belakang seorang Paman berteriak, “Ati-ati, ndung!!”
“Inggih, Lek!” sahutku.

Sepeda berjalan 10 meter sepedaku goyang ketika menuruni turunan yang tak mulus jalannya.

Dan….”GEDEBUG!!!!!”

Beras setengah karung itu jatuh dari boncenganku. Bersamaan itu pula sepedaku roboh ke kiri. Dan aku sendiri ikut roboh. Bokong karung itu sobek tersangkut baut as roda belakang. Mungkin aku kurang kuat sewaktu mengikatnya.

Lek Rali lari dari teras rumahnya. Ia menunduhku yang terjatuh. Aku disuruhnya memegang setang sepeda kuat-kuat. Ia lalu mengangkat beras dan menaruhnya di langkring depan. Setelah itu ia memintaku duduk di boncengan sambil mengemudikan sepeda. Jadi sepedanya tak ku genjot kawan. Tapi bisa dikatakan dituntun.
Cahaya matahari di ufuk barat mulai kemerahan. Ashar hampir habis. Jam dinding telah memperlihatkan jarum pendeknya di angka 5 dan jarum panjangnya di angka 10.

Aku bergegas menuju kamar mandi sambil berdoa mau ke toilet, “Allaahumma innii a’uudzubika minal khubutsi wal khobaaits”.

Tak lupa aku menenteng handuk di pundakku. Ku guyur sekujur badanku. Segar sekali. Debu bekatul beras hilang dari tubuhku mengalir bersama air suci yang mengguyur dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Angin berhembus menambah dinginnya suasana sore menjelang petang. Aku tak berlama-lama di kamar mandi.

Ku gosok seluruh personil jasad kerempeng anugerah Ilahi dengan sabun Nuvo family warna merah. Kami sekeluarga menggunakan sabun Nuvo karena tergiur dengan iklan di TV. Waktu itu nuvo mengadakan kunjungan untuk memberikan hadiah ke keluarga-keluarga yang menggunakan sabun nuvo. Tapi ternyata harapan kami kosong belaka. Agen itu tak pernah mampir ke rumahku.
Aku tak lupa menggosok gigi seri dan gerahamku yang tadi siang habis makan cumi dengan kuah kentut hitamnya. Ssedapp ssekalli!!

Segera handuk kutarik dari gantungan. Kubalutkan di pinggangku untuk menutup auratku dan beranjak menuju kamar untuk ganti pakaian. Baju kukenakan. Sarung kulilitkan. Sajadah kugelar menghadap kiblat. Rambut kusisir. Selanjutnya…..

“Allaahu akbar…!!!”

Kuterbuai dalam kubangan kekhusu’an sholat asharku yang terlambat. Sungguh kenikmatan ibadah yang tak terkira. Suasana khusu’ membuatku merinding ditambah hembusan udara dingin desa yang membuat bulu kudukku berdiri. Bersimpuh jiwaku dalam sujudku.

“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..!” sambil kutengokkan wajahku ke kanan. Pertanda sholat ashar telah selesai. Rasa khouf dan tawadlu’ menyelimuti doaku dan wiridku. Tasbih, tahmid, takbir dan tahlil membasahi bibirku.

Seusai sholat dan dzikir badanku makin merinding. Dingin menusuk pori-poriku. Rasa nyeri menusuk-nusuk lambungku. Kupegang leher dan jidatku. Panas!! Badanku mulai menggigil. Buru-buru aku meminum teh hangat. Kedua kakiku seperti kesemutan dan pegal-pegal. Kuambil jaket. Aku belum memberitahu ibuku. Kunang-kunang mulai bertebaran di atas kepalaku. Pusing. Aku pusing. Pandanganku kuning dan kabur.
Kulihat lidahku di cermin. “Yah kotor! Jangan-jangan typhes? Ah aku harus makan biar ada yang mengganjal di perut ini.”
“Mak, aku lapar. Aku pingin makan!”

Malam harinya, Pak Wandi datang ke rumah untuk memeriksaku. Ia di panggil oleh ibuku. Setelah diperiksa aku positif terkena gejala typhes. Tiga hal yang harus aku hindari selama penyembuhan adalah tidak boleh makan pedas-pedas, es dan kecapekan jika aku tak ingin penyakit ini datang lagi.
Sekarang aku harus istirahat selama pernikahan kakakku.

Ku terbangun dimalam hari. Suara kokok ayam tetangga bersahutan. Gelap. Hanya warna putih duduk bersimpuh yang nampak di hadapanku. Badanku merinding. Mungkinkah ia malaikat yang hendak mencabut nyawaku? Satu tanda akan datangnya kematian dari yang 3 telah hadir di jasadku. Ya karena aku sering sakit. Itulah pelajaran tentang koreksi diri bagi umat manusia msekipun bukan di masa senja. Selain tumbuhnya uban dan bertambahnya usia. Badanku yang meriang dan demam karena efek typhus menambah rasa takutku.

Ku amati dengan seksama. Bukan. Itu bukan malaikat pencabut nyawa. Tapi itu siapa ya? Sepertinya dia ibuku yang sedang mengenakan mukena. Ia sedang duduk bersimpuh di atas sajadah. Dan ia sedang berdoa dengan kedua tangannya menengadah ke atas. Tak ku dengar apa yang ia minta. Ku hanya mendengar ia sesekali sesenggukan.

Kawan, sekali lagi ia mendampingiku di samping tempat tidurku. Namun sekarang ia tidak tidur. Ia sedang menemaniku yang sedang jatuh sakit karena typhus dan perlu banyak istirahat. Dan mungkin dalam doanya tadi salah satunya ia berdoa bagi kesembuhanku. Sungguh ia seorang ibu sejati.
“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku

Sepeda Jengki Pedal 7

Pedal 7
Perempatan Gumawang

Jam dinding menunjukkan pukul 05.15 wib. Dari dalam rumah sehabis sholat shubuh seorang remaja mengeluarkan sepeda jengki. Sepeda jenis perempuan berwarna biru merek PHOENIX pabrikan China. Dengan rem bos di bagian as roda belakang. Rem yang cara pengeremannya diputar berlawanan arah genjotannya dan sepeda jengki itu juga tanpa rem depan. Serta tanpa palang antara sadel dan setangnya. Sepeda itu juga memiliki tempat duduk di belakang alias boncengan. Sedang standard yang dipakai adalah standard 1 miring kurang lebih 10 derajat jika distandardkan dengan posisi di sebelah kiri. Sadelnya berwarna hitam dengan lampu di depan yang akan menyala jika ada aliran listrik yang dihasilkan oleh putaran dinamo. Sedang dinamo akan berputar jika roda depan berputar itu artinya lampu akan nyala jika sepeda dijalankan, jika sepeda berhenti otomatis lampu juga mati. Sepeda yang dibelikan ayahnya seharga Rp 150.000,- ini dibeli dari Paman Jahri setahun yang lalu. Tepatnya tahun 2002. Tapi bulannya ia kurang tahu. Paman Jahri adalah sahabat ayahnya. Dan si remaja itu adalah aku sendiri Ibnu Thoha.

Aku mengambil sepeda jengki itu dari rumah bagian belakang karena memang sepeda itu berada di ruang dapur. Aku lewat samping timur rumah menuju ke depan melewati halaman yang di sana terdapat pohon jambu monyet, pohon nangka, pohon kelapa, pohon rambutan, pohon kelapa gading dan pohon jambu biji. Kemudian belok kiri lewat selatan Musholla An Nurul Jannah.

Ku hendak pergi. Sebelumnya kuisi perut kecilku dengan sepotong roti sumbu/singkong rebus. Seperti biasa sebelum bepergian aku berpamitan dulu pada Ibuku. Aku bilang mau beli ballpoint ke rumah Mbak Sri. Pedagang makanan, minuman, alat-alat tulis dan keperluan rumah tangga. Lokasinya berada di samping selatan Masjid As Sholihin dan di belakang/sebelah barat Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tunjungsari.
Ya, biasa layaknya keadaan di desa, meskipun pagi-pagi buta kita membeli sesuatu di rumah pedagang, kita akan dilayani dengan senang hati. Begitu juga dengan Mbak Sri, ia akan melayani dengan senang hati pembeli yang datang, meskipun pagi-pagi buta. Padahal kalau mau ia tak perlu melayani pembeli macam aku dan kembali mendengkur di atas kasur empuknya.

Namun omongan atau pamitan untuk membeli ballpoint itu hanyalah sebuah perkataan basa-basi. Dalam hatiku aku bergumam, ”Maafkan aku Ibu, kalau aku telah berbohong”. Saat itu yang ada di-benak hatiku hanyalah ingin melaksanakan niatku yang telah terpen-dam beberapa bulan belakangan. Niat yang terpendam oleh emosi se-orang anak muda. Anak muda yang merasa sekali lagi merasa kecewa terhadap kurangnya kasih sayang kedua orang tuanya. Niat yang lahir oleh rasa iri dirinya terhadap keadaan teman-temannya. Bagaimana tidak kecewa, ketika teman-temannya bisa berangkat ke sekolah naik angkutan umum atau sepeda motor, ia harus naik sepeda. Kalau jaraknya dekat itu mungkin tidak masalah, tapi jarak yang harus ditempuh sampai ± 14 km ke sekolahnya.

Semua itu terjadi karena orangtuanya tak sanggup memberinya uang saku untuk naik angkutan umum. Selain itu ketika teman-temannya bisa dengan mudah untuk jajan makanan atau peralatan sekolah. Ia harus menabung dari uang saku yang tak seberapa. Walaupun ada beasiswa JPS (Jaring Pengaman Sosial) di sekolah, ayahku tak mengizinkan-ku meminta keringanan tersebut. Bahkan ketika sekolah memberiku beasiswa ”Supersemar”. Sebuah beasiswa yang didapat karena kita berprestasi. Akupun tak jua diizinkan oleh ayahku untuk mengambil-nya. Karena ada syarat yang harus dilengkapi yaitu meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Di situlah letak ketidaksetujuan ayahku. Makanya begitu aku memohon supaya ayahku pergi ke Balai Desa untuk meminta surat itu, ayahku tak juga berangkat ke Balai Desa.

Ibuku yang begitu sabar sedih, aku pun turut sedih. Akhirnya Ibuku meminta tolong pada saudaraku, yang kebetulan merupakan pamong desa untuk membuatnya. Entah apa yang ada dipikiran ayahku. Apakah ayahku mungkin merasa mampu walaupun nyatanya ia tidak mampu. Mungkin yang ada di kepalanya hanyalah gengsi, karena selama ini ia termasuk orang yang dihormati warga Desa Tunjungsari. Oleh sebab itu, yang ada dipikiranku itu bagaimana caranya agar aku tak bertemu dengan kedua orang tuaku khususnya ayahku. Walaupun sebenarnya ayahku baik dan disiplin dalam beribadah. Buktinya dulu waktu kukecil kalau waktu sholat telah tiba ia memanggilku untuk sholat berjamaah. Meskipun kala itu aku sedang asyik-asyiknya bermain. Entah itu shalat dhuhur ataupun ashar, maghrib, isya bahkan subuh. Padahal orang tua yang lain cuek-cuek bebek.

Ia pula yang pertama kali mengenalkan kepadaku kalau sholat jumat itu wajib bagi laki-laki sebelum pelajaran itu di sekolah kudapatkan. Sehingga jika hari jumat datang dan jam dinding menunjukkkan pukul 11.00 wib, aku belum pulang dari bermain karena hari libur, ia akan mencariku dan menyuruhku mandi untuk diajak jumatan. Padahal ketika itu aku masih berusia 6 tahun. Sungguh ia adalah orang tua yang begitu memperhatikan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Ia juga sering mengajarkan kepadaku tentang budi pekerti, bercerita masa-masa penjajahan, bercerita tentang seluk-beluk Tunjungsari, serta silsilah keluarga dari nenek-kakek buyut hingga lahirlah aku ke dunia yang semakin panas ini. Ia juga selalu mengajakku ke mesjid As Sholihin setiap sore di bulan Ramadhan untuk mendengarkan Tafsir Qur’an yang dilanjutkan berbuka bersama.

Dan waktu musim kemarau saben sore setelah adzan dan sholat ashar. Sewaktu matahari mulai condong ke barat. Ayahku juga mulai memimpin anggota keluarga kami. Mereka dikerahkan ke sawah sebagai pasukan penyiram tanaman ketimun yang di tanam di sawah di belakang rumahku. Bahkan kakakku yang kelima ’Dila’ juga ikut menyiram timun meskipun sebenarnya ia sedang hamil kala itu. Ayahku menimba air di sumur buatan yang ia gali sendiri di sawah saudara ayahku yang kering di musim kemarau. Ia mengambil lokasi sumur di sawah bagian pinggir tepatnya di bawah pohon mangga golek.

Awalnya air buat nyiram ketimun kami bawa dengan cara ditenteng seember-seember. Satu di tangan kanan dan dan satu di tangan kiri. Namun karena jalan yang harus di tempuh ± 15 meter dan jika dijalani secara bolak-balik begitu terasa capeknya di badan dan cepat membakar serta menghabiskan banyak kalori dan tenaga kami. Maka ayahku mengeluarkan ide cemerlang. Ia memasang selang yang terbuat dari plastik sebagai saluran air dari sumur ke sawah di mana timun di tanam. Ia membuat semacam tempat penampungan air timbaan yang tebuat dari ember besar. Ia taruh penampungan itu setinggi pundak dan bagian bawahnya dilubangi lalu selang plastik tadi dipasang pada lubang tadi. Sehingga air yang ditaruh di tampungan otomatis mengalir ke sawah tempat dimana timun berada. Ide itu muncul sesuai dengan teori fisika di mana air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Meskipun tetap menenteng namun jaraknya yang harus ditempuh berkurang 90% dan penentengan hanya terjadi di area sawah di mana ada timun di situ.

Ketika bacaan surat Al-Baqoroh ayat 31 mulai berkumandang dari Masjid di Waru Kidul selang kami rapihkan. Karena bacaan itu menandakan kalau adzan maghrib segera mengangkasa. Dan kami sendiri harus mandi dan bersiap-siap untuk bergegas ke Musholla di samping rumah guna mendirikan salah satu kewajiban kami sebagai seorang muslim yaitu sholat Maghrib berjamaah. Begitulah setiap pagi dan sore kegiatan kami sekeluarga selama masa pelanggaran. Masa di mana sawah mengalami kekurangan pasokan air dan dia tidak bisa ditanami padi. Karena padi merupakan tanaman yang membutuhkan banyak asupan air. Maka tanaman yang tak butuh banyak air menjadi alternatif. Seperti ketimun, walaupun sebenarnya sama-sama membutuhkan air. Jika masa pelanggaran, tidak hanya ayahku saja yang menanam sawah bukan dengan padi tapi juga petani-petani yang lain. Ada yang menanam semangka, kacang panjang atau kacang hijau.

Di samping itu, aku juga mempunyai masalah dengan anggota dan pengurus Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) sebuah or-ganisasi remaja yang bernaung di bawah ormas Islam Muhamma-diyah. Waktu itu aku tidak mau dijadikan ketua IRM, namun waktu pemilihan ketua IRM aku tetap dicalonkan. Dan yang terjadi akhir-nya aku terpilih menjadi ketua IRM periode 2002/2003.

Akhirnya semua program-program IRM yang telah direncanakan banyak yang tidak sukses dalam pelaksanaannya. Setiap rapat aku hadir terlambat atau bahkan aku tak hadir dan tak tampak batang hidungku yang mancung sama sekali. Dengan berbagai alasan yang klasik hingga mutakhir sampai jujur malas untuk hadir di rapat aku ungkapkan. Setelah IRM kubuatnya tak exist, selanjutnya sekolahku mulai berantakan. Ke sekolah sering terlambat, nilai-nilai ulanganku jeblok, absensiku / ketidakhadiranku di sekolah juga banyak. Sifat-sifat buruk dari syetan muncul dari pribadi yang dulu dikenal santun, ramah dan sopan ini. Sifat-sifat tak terpuji juga terbit dari mantan ke-tua OSIS SMP N 2 WIRADESA yang dikenal disiplin dan bertang-gungjawab ini.

Mudah marah, mudah tersinggung, indisipliner, pem-bohong / pendusta, ingkar janji, tidak amanah adalah beberapa sifat jelek yang muncul dari mantan juara III Lomba Baca Puisi Tingkat Jateng tahun 1997 bulan Oktober di Banyumas dan mantan juara kelas MIM dan SMP serta mantan santri Ma’had Al Hasan Al Bashri ini. Namun dengan alasan-alasan yang aku ungkapkan semua yang berurusan denganku tetap percaya padaku. Dan lagi-lagi yang ada di pikiranku adalah bagaimana caranya agar aku tak bertemu dengan mereka. Dan puncaknya adalah pagi ini. Aku merencanakan kabur dari rumah. Padahal seharusnya bagaimana masalah itu diselesaikan bukan malah dihindari. Sehingga bagaimana mungkin suatu masalah akan cepat selesai kalau terus dihindarinya. Sebuah pendapat mengatakan, ”Suatu masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk dihindari”. Namun yang ada dikepalaku hanyalah kabur. Padahal kalau dipikir-pikir masalahnya tak begitu serius tapi bagiku masalah ini adalah masalah serius. Apa sebab? Sebab semua hal itu membuat pikiranku tertekan dan bathinku tersiksa.

Beberapa usaha telah kulakukan untuk meredam keinginan kaburku. Mulai dari sering membaca buku-buku psikologi, pertanian hingga bermain PS. Namun hasrat itu tetap tinggi. Setan setiap hari menggodaku untuk kabur. Bahkan setiap pagi dan sore hasrat itu begitu kuat. Untuk meredam keinginan kabur iitu aku sengaja bermain bola setiap hari dengan teman-temanku. Meskipun hari itu hujan, aku akan menuju lahan kosong yang biasa kami gunakan untuk bermain. Sering pula aku menangis dalam membaca Alqur’an dan sholatku. Sayangnya aku adalah pribadi pendiam dan suka merahasiakan segala sesuatu. Sehingga ketika terjadi suatu masalah padaku, aku akan memendamnya dalam-dalam. Berceritapun aku berani. Bahkan untuk meminta uang saku pun aku sering tak berani kecuali benar-benar terpaksa. Biasanya Ibuku yang memberi bukan aku yang meminta.

Pagi ini suasana desa masih diselimuti kegelapan. Desa kecil ini juga masih sepi, hanya baru beberapa orang yang mulai beraktivitas. Ada yang jalan-jalan, ada yang mulai berangkat ke sawah atau para pedagang tempe yang akan menjajakan tempenya. Tak nampak kecurigaan dari mereka terhadapku.

Aku tersadar dan bergumam, “Mumpung desa masih sepi dan gelap aku akan kabur dari rumah sekarang, apalagi ujian semester ganjil kelas 2 STM-ku telah usai. Dan seandainya aku ingin kembali ke rumah nanti, anggaplah ini liburan yang menyenangkan yang tak pernah aku dapatkan dari orang tuaku sewaktu kecil. Walaupun dulu waktu liburan MIM kelas IV aku pernah diajak ke Jakarta naik bus sampai semua isi perutku habis terkuras karena muntah hingga muntah yang berwarna kuning dan pahit, tapi di sana aku hanya ikut jualan peyek ke pasar. Bukan diajak ke tempat-tempat wisata.

Jadi yang terasa padaku adalah liburan yang tak berkesan. Kecuali kesan jadi penjual peyek. Kesan yang tentunya tak diharapkan oleh anak kecil macam aku. Padahal sebelum aku berangkat ke Jakarta aku sudah membayangkan akan diajak kakakku, Mbak Buroh ( Kakak nomor 2 yang tinggal di Jakarta ) jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah atau ke Taman Impian Jaya Ancol atau Ragunan atau Monas. Tapi yang kudapat adalah mengisi liburanku dengan bangun pagi buta mendorong gerobak warna biru dan mengantar Mbak Buroh ke Pasar Jambul jualan peyek. Sebuah pasar kecil di bilangan Cililitan, Jakarta Timur.”

Aku mulai mengayuh sepeda jengki menyusuri jalan desa melewati sawah-sawah yang berada di kanan dan kiri jalan. Aku lewat Dukuh Klanyah. Walaupun desa, jalan-jalan utama telah diaspal. Kegiatan ’petualangan’ ini aku laksanakan bulan Januari 2003. Di mana masa ujian semester 3-ku di jenjang STM telah kulalui.

Dalam perjalanan, sewaktu mulai meninggalkan Desa Tun-jungsari ( Kec.Siwalan dulunya Sragi ) dan akan memasuki Kam-pung Dukuh, Desa Ketandan ( Kec.Wiradesa, Kab. Pekalongan ) da-lam hatiku ingin rasanya aku kembali. Dan mengurungkan niat bu-rukku ini. Niat yang dapat membuat banyak orang panik. Khusus-nya kedua orang tuaku. Lebih-lebih Ibuku yang begitu sayang pada-ku. Niat yang dapat membuat Kakak-kakakku, teman-temanku atau mungkin guru-guruku merasa kehilangan diriku. Walaupun sekarang aku telah berubah, aku tetaplah adik yang dulu penurut, teman yang dulu setiakawan, sering membantu mengerjakan PR dan taat beribadah serta rendah hati, murid yang dulu sering membantu bapak dan ibu guru membawakan buku tugas anak-anak tanpa harus diminta, meminta tugas ke ruang guru waktu jam kosong disaat teman-temanku ingin pada bolos, murid yang sopan, santun, disiplin, bertanggungjawab & pandai.

Niat yang bakal menggemparkan desa. Niat yang bakal membuat nama keluarga tercoreng. ”Selain itu, desa ini juga akan kehilangan mantan juara dan tunas desa yang berprestasi seperti aku tentunya jika aku jadi pergi dari sini. Eit jangan sombong, kau harus rendah hati meskipun kenyataannya memang demikian.,” lirihnya di hati bagian empedu sambil beristighfar karena aku ingat hadits nabi Muhammad SAW berkenaan dengan bahwa orang yang sombong tidak akan masuk surga walaupun kesombongan itu seberat biji dzarrah ( partikel terkecil di dunia ) semacam inti atom neutron atau proton.

Setelah menggenjot pedal sepedaku pelan-pelan akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan niatku itu. Sepeda kukayuhnya me-nyusuri jalan raya beraspal Wiradesa-Bojong. Pagi itu kebetulan ja-lanan sepi, tak banyak angkutan pasar yang lewat. Mungkin mereka kesiangan atau telah sampai di pasar lebih dulu. Atau diriku yang memang berangkat pagi-pagi buta. Desa Ketandan-Desa Waru Kidul-Desa Waru Lor-Desa Kampil dan Kel. Gumawang telah kulewati sa-tu per satu.

Di perempatan Gumawang, Wiradesa aku berhenti sejenak. Sebuah perempatan yang berdiri pos polisi di sebelah kanan aku berdiri terus traffic light ada di masing-masing lajur jalan. Baik yang ke timur, barat, utara, ataupun yang ke selatan. Lalu toko kelontong dan makanan serta buah-buahan dan antimo milik orang china berada di sebelah kiriku yang duduk di atas sepeda jengkiku menghadap ke uatara. Di belakang toko tersebut terdapat GEREJA PANTEKOSTA. Aku tahu kalau itu gereja karena di bagian depannya terdapat lambang kayu silang seperti tanda plus dalam operasi penjumlahan yang ditempelkan di dinding. Bedanya kayu yang vertikal lebih panjang dari pada kayu yang horizontal. Di utara seberang jalan sebelah kanannya nongkrong sebuah gedung penjual jasa fotokopi dan sebelah kirinya banyak warung bakso dan sate. Sedangkan di atas jalan persis tengah-tengah perempatan menyilang besi yang ditopang tugu pembagi jalan barat, timur, utara dan selatan.

Aku berhenti karena di situ di perempatan Gumawang tiba saatnya aku harus menentukan arah perjalanan selanjutnya. Belok ke kiri yang artinya aku melanjutkan niat kaburku ke arah Jakarta dan daerah barat lainnya atau ke kanan melanjutkan niat kaburku ke arah Semarang dan daerah timur lainnya. Sedangkan kalau ke utara atau menyeberang jelas itu tak mungkin karena aku akan bertemu dengan laut utara Jawa meskipun kalau menyeberang laut bisa ketemu daratan Kalimantan. Sedang dalam silsilah keluargaku tak ada satupun yang menjadi seorang pelaut. Atau pilihan yang keempat adalah berbalik arah ke selatan dan kaburnya dirubah ke arah daerah-daerah di selatan macam Kebumen dan Magelang. Atau pilihan yang terakhir yaitu mengurungkan niat kaburku dan kembali ke rumah serta melanjutkan kehidupan seperti biasa. Tak mungkin aaahh...

“Kalau aku ke Jakarta di sana ada Kakakku atau orang-orang desa Tunjungsari lainnya yang merantau disana, nanti ketahuan! kan aku pingin kabur. Kalau aku ke Semarang atau ke daerah timur lain-nya setahuku di sana tak ada saudara atau tetangga yang merantau di sana. Dan jika aku balik ke rumah…..aku akan bertemu dengan ayah-ku yang sok gengsi itu dan teman-temanku yang membuat aku gerah untuk tinggal di sana. Kalau aku lanjutkan kabur aku akan makan apa nanti, uangku tak cukup untuk hidup walau hanya beberapa hari saja,” gumamku dari hati kecilku.
”Bisa-bisa aku jadi gelandangan, iiiihhhhhh…..ngeri, aku kan anak rumahan masa jadi gelandangan apa kata dunia,” gerutuku sambil menggerakan badanku yang merinding.

Hatiku dan akalku sembrawut tak karuan, benar-benar kacau balau. Pelan dan pelan kakikupun mengayuh pedal mengikuti arah setang sepeda yang dibelokkan ke kiri oleh tanganku yang mengikuti perintah sang juragan ”otak” ku. Di dalam kebimbangan dan kera-guan, serta perasaan sedih dan kecewa. Sedih karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Kecewa karena kenapa nasibku selama ini kok begini.

Aku jadi teringat dengan kata-kata ibuku dulu, ”Nak, coba kamu lahir di Keluarga H.Baedlowi. Hidupmu pasti tak akan begini, kamu pasti akan senang. ”H.Baedlowi sendiri adalah Pak De ku dari pihak Ibu. Ia adalah salah satu orang yang kaya di desaku. Ia punya Pabrik Penggilingan Padi yang cuma satu-satunya di desaku. Namun takdir berkehendak lain sehingga aku dilahirkan di keluarga yang kekurangan ini.

Related Post

Related Posts with Thumbnails