Tuesday, June 30, 2009

Sepeda Jengki Pedal 11

Pedal 11
Kacang Atom Garuda


Kawan karena penderitaan yang dialami kakakku semenjak balita (bawah lima belas tahun) sampai sekarang ia menjadi orang yang minder atau bahasa gaulnya rendah diri dan tak PEDE (percaya diri) bahkan untuk bertemu kambing Ayahku pun dia malu.Padahal kambing kan tak punya akal ya kawan.
Makanya begitu Kang Ibun menyuruh kakakku Mbak Buroh tuk pinjam uang ke tempat Pak Zaeni saudara sepupuku yang merupakan seorang pedagang tempe yang sukses yang tinggal di Buaran 1, Klender, Jaktim ia tidak langsung berangkat malahan bingung.Padahal Kang Ibun telah menjamin bahwa ia akan mengganti uang pinjaman sebesar Rp 100.000,- itu. Apalagi Kang Ibun telah menelepon Pak Zaeni, katanya.Uang pinjaman itu sebenarnya direncanakan untuk biaya pemulangan paket nyasar yang ia terima dan bikin repot Mbak Buroh saja, yaitu kedatangan si bungsu Mudda untuk dikembalikan ke Pekalongan.Karena Ibuku sudah tak tahan ingin bertemu si Kecil yang telah tumbuh menjadi perjaka nan lumayan handsome ini.


Allah Tuhanku ternyata lebih tahu tentang keadaan hambanya.Di saat Mbakku bingung apakah ia memang harus meminjam uang ke tempat Pak Zaeni yang kaya itu atau bagaimana, Allah mendengar desingan gurindam keluhan Mbakku.Ia kirimkan rizki tak terduga lewat seorang pengamen gadungan yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu kontrakan Mbakku, MbakSari.Kenapa kukatakan pengamen gadungan? jawabnya karena ia tak setiap hari menjadi pengamen tapi ia akan jadi pengamen jika dalam keadaan kepepet atau lagi ada mut serta jika perintah sang suami yang bekerja sebagai Penjaga dan Perawat TPU ( Tempat Pemakaman Umum ).Mbak Sari bersedia meminjamkan uang sebesar yang diharapkan kakakku yaitu Rp 100.000,-.Uang itu merupakan gaji suaminya selama sebulan.Padahal kawan kalau kau pingin tahu uang tersebut rencananya akan digunakannya untuk membayar kontrakan bulan ini serta uang makan selama 2 minggu serta jatah si Jengger, ayam jago kesayangan suaminya yang disimpan dan tidur bareng sekontrakan di kamar seukuran 2.5 x 4 m itu.Dan kawan kau juga harus tahu keikhlasan teman kakakku ini karena jatuh tempo bayar kontrakan adalah tinggal 4 hari lagi.Uang kontrakan sebesar Rp 100.000,- dibagi bareng kakakku 1/3 nya.

Untuk meyakinkan Mbak Sari kakakku bilang, ia hanya pulang mengantarkan aku dan menghadiri pernikahan kakakku yang lain ”Muqorrobin (kakak ke-6)” di Kebumen selama 3 hari.Dan pada saat hari jatuh tempo ia akan mengembalikan uang tersebut.Sebab Kang Ibun yang rizqinya alhamdulillah lancar telah menjanjikan untuk menggantinya.Teman hikmah selanjutnya dari petualangan bersepeda ke Jakarta adalah Jika Kau tinggal di Jakarta Carilah Teman yang dapat kau Pinjam uangnya disaat kau sulit dan tidak meminta / pinjam apapun disaat kau senang.

Rencananya aku akan pulang naik kereta. Transportasi yang dari dulu aku idam-idamkan untuk menaikinya.Tak lupa kukabarkan rencana ini pada Ibuku di Pekalongan.Besoknya tanggal 29 Januari 2003 tepat pukul 06.00 pagi waktu indonesia barat aku dan Mbak Buroh pergi ke Pulogadung untuk berangkat naik bus ke Kebumen.Ke Kebumen karena kami akan menghadiri pernikahan Kang Bin pada hari kamisnya tanggal 30 Januari 2003.Pulogadung merupakan salah satu terminal bus antar kota antar propinsi (AKAP) besar di bilangan Jakarta Timur.Kami ke sana naik ojek biar cepat sampai. Rencana naik kereta api untuk pertama kalinya harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan alias dibatalkan.Karena ongkos kereta api bisnis lebih mahal dari ongkos bus.Sedangkan anggaran Rp 100.000,- kami tak sanggup tuk menjangkau biaya kereta api yang per kepala dihargai Rp 65.000,- kala itu.

Bus AKAP yang kami pilih mereknya seperti toko electronik di Wiradesa ”SINAR JAYA”. Sedang jurusannya adalah PORTUGAL ” Purwokerto sebelahnya Tegal ” .Belakangan kuketahui kalau mau ke Kebumen langsung dari Jakarta harusnya naik angkutan langsung bus jurusan Jogja.Maksudnnya Jakarta-Jogjakarta yang bernama “P.O Sumber Alam”.Namun karena untuk ke Kebumen tepatnya Karanganyar Mbak Buroh kurang berpengalaman ya yang dia pilih Jurusan Jakarta-Purwokerto setelah mengorek cara pergi ke Kebumen dari teman-temannya.Sedang aku adalah seorang prajurit yang nunut 15 apa kata perintah Jenderal. Makmum yang mengikuti gerakan Imam.Dan kuli yang mau disuruh-suruh bos.Aku hanya diam 11000 kata.Karena memang aku tak tahu menahu tentang bus atau kereta yang mau berangkat dari atau balik ke Jakarta.

Dalam perjalanan Jakarta-Purwokerto silih berganti orang naik dan turun.Kukira mereka penumpang jarak dekat, ternyata bukan. Dan anehnya meskipun mereka sama-sama naik bus tapi mereka tak bayar.Heran aku kok bisa ya naik bus ga bayar.Kakakku mau naik bus harus nyari pinjaman ke temannya, seratus ribu lagi. Kan berarti mahal naik bus itu.Ini malah naik turun tidak ditarikin ongkos sama kondektur seolah merupakan cs-nya.Ternyata orang-orang tersebut adalah para pedagang asongan, pengamen, pengemis dan peminta sumbangan. Pedagang asongan menjajakan tisu, air meneral kemasan botol dan cup, rokok, permen, gorengan, donat, buku, koran, buah, lontong, handuk kecil, teh kotak, ikat pinggang atau gesper, kipas bambu, cd (compact disk kawan bukan celana dalam), topi, senter kecil, mainan anak-anak, boneka dan yang terakhir adalah ballpoint, barang yang mengingatkanku akan penghianatan sang anak pada orang tuanya. 
Mereka senang kalau ada yang membeli barang dagangannya.Tapi mereka ternyata lebih senang lagi kalau disuruh teriak-teriak.Suaranya yang nyaring seperti ember pecah yang jatuh dari atap rumahku membuat suasana bus begitu ramai tak terbayangkan dan memekakan telinga.Mereka saling bergantian berteriak, berkoar, berkokok serta mengaum atau melolong seperti serigala untuk menawarkan barang dagangannya.

“AQUA….AQUA….QUA…QUA…………………………………”
“Aqua Bu…Aqua Mas…Aqua Mbak…Aqua Pak….Cuma Rp 1500,- kok pak.”
Waktu itu harga aqua memang masih Rp 1500,-. Lain air mineral lain pula koran dan yang lainnya.
“KORAN-KORAN… TAHU..TAHU…TARAHU…TARAHU…IKAT PINGGANG...IKAT PINGGANG…SUNLIGHT…SUNLIGHT… CUMA 1000 RUPIAH…HANDUK.. HANDUK… GORENGANNYA PAK BU MBAK MAS DIK …”
“Mau nukar uang mas, Rp 100.000,- Cuma Rp 110.000,- kok mas..murah..”kata mbak-mbak sang juragan moneter.

Berbeda dengan pedagang asongan, para Pengamen punya cara tersendiri dalam usaha menghibur para penumpang yang tak butuh hiburan ini.Mereka ada yang ngamen bawa gitar, ada yang bawa kendang, ada pula yang bawa icik-icik (Semacam alat musik yang terbuat dari lempengan seng yang dibentuk setengah lingkaran lalu dibubuhi banyak tutup botol “COCA COLA” yang dilubangi dan dirangkai pada seng tersebut menggunakan paku yang diambil dari sisa proyek atau yang terbuat dari bambu yang juga ditempeli tutup botol ”SPRITE” dan disusun berbaris rapi seperti tentara mau perang di ujung bambunya sedang sisanya buat pegangan) mereka memainkan icik2 dengan dipukul-pukulkan ke paha mereka sampai kalau habis pulang ngamen paha mereka merah memar seperti daging sapi Idul Adha dan sakit tak tertahankan.Atau mereka memukulkannya ke telapak tangan kiri mereka hingga terbentuklah sebuah nada yang tak karuan bunyinya.Dan sambil membunyikan icik-icik itulah mereka menyanyi ngalor ngidul ngetan ngulon 16. 
Sedang untuk yang menggunakan gitar mereka biasanya lebih jelas nada dan melodinya, meskipun sambil menyanyi.Secara bergantian para pengamen dengan berbagai lagu bergantian naik turun menyertai bus Sinar Jaya yang mulai membelah kota Jakarta menuju Bekasi lalu tol Cikampek terus melaju Karawang-Subang-Indramayu-Cirebon-Brebes belok kanan ke arah Purwokerto.Lagu-lagu mereka kadang ada yang enak tapi tak jarang kita mendengar lagu yang tak jelas iramanya temponya ataupun melodinya.
Jika telah selesai mereka jalan dari tempat duduk depan ke tempat duduk penumpang paling belakang sambil menjulurkan kantong bekas permen ”MENTHOS” untuk meminta sedikit sedekah dari penumpang yang baik hati dan dermawan.Yang baik hati biasanya akan memberi Rp 1000,- tapi yang sedikit baiknya atau kurang baik paling yang keluar recehan cepek (Rp 100,-) dari dalam kantongnya. Meskipun ketika mengambil dari kantong ada pecahan Rp 50.000,-, ada Rp 20.000,-, ada Rp 10.000,-, ada Rp 5000,- dan seribuan.Tapi yang mereka cari pasti yang paling kecil nominalnya bahkan kalau perlu jika masih ada uang recehan Rp 25,- mereka akan memilih opsi yang terakhir. Sayang uang kecil bergambar burung pipit itu telah lenyap dari peredaran dikarenakan kebijakan moneter Bank Indonesia yang tak lagi menerbitkan si logam kesukaan penumpang yang sedikit baik hatinya itu.
Yang aneh adalah aku. Karena tak kudapati recehan logam di kantong baju dan celana serta di dalam tas Mbak Buroh, maka kuserahkan saja sebungkus ”KACANG ATOM MEREK GARUDA” yang kubeli dari salah satu pedagang asongan tadi.Kan nilainya Rp 250,- lebih besar 10 kali lipat dari Rp 25,- betul kan kawan.Diapun menerimanya sambil cengengesan menampakkan giginya yang hitam dan tonggos itu akibat sering menghisap tembakau yang dibungkus papir atau kelobot (kulit jagung ) alias rokok.Itu baru pengamen, lain lagi dengan Pengemis.

Mereka mengemis ada yang memang bener-bener butuh uang untuk makan dan hidup.Namun ada juga yang mengemis dijadikannya sebagai sebuah pekerjaan alias mata pencaharian.Ada yang buta, baik buta yang bener-bener buta ataupun yang pura-pura buta sambil menggunakan kaca mata hitam dan tongkat, Ada juga si buta yang dituntun oleh temannya yang sehat.

Ada anak kecil yang nyebarin amplop bertuliskan ”Mohon bantuan untuk biaya sekolah dan untuk makan sehari-hari, Terimakasih.” Ada pengemis yang pincang beneran tapi ada juga yang pincang bohongan. Ada juga yang berpuisi, padahal tampangnya seperti preman.Ada ibu-ibu yang mengemis dengan mengorbankan bayinya dengan di gendong seharian di bawah guyuran hujan dan panggangan sinar matahari.Semua itu dilakukan dengan harapan penumpang bus yang berjumlah ± 54 orang menjadi lebih kasihan dan lebih banyak memberikan sumbangan recehannya.Tapi alhamdulillah jarang ada pengemis yang masih muda dan mudi alias remaja belasan tahun.

Kita patut bersyukur jika generasi muda kita tak menjadi pemalas seperti pengemis-pengemis itu. Selanjutnya adalah si Peminta Sumbangan. Biasanya ia mengaku dari Pondok Pesantren atau petugas Pembangunan Masjid bagian Pencari dana.Mereka berseragam seperti kotoran cicak ”HITAM PUTIH”.Sebelum mereka berjalan membawa kotak amal dan di sodorkan kepada para penumpang bus yang ingin berinfaq, mereka biasanya akan mengoceh bak burung beo yang hanya di ajarkan untuk mengucapkan “ASSALAMU ‘ALAIKUM….ASSALAMU ‘ALAIKUM…” setiap paginya.Setelah itu barulah kotak infaq diedarkankannya dari bangku penumpang depan sampai bangku pennumpang belakang.Mereka juga sebagaimana halnya Pengemis ada yang bener2 ditugaskan mencari dana tapi banyak juga yang memanfaatkan tugas seperti untuk mengemis.
Dan yang kedua itu orang sering menyebutnya adalah “PENGEMIS BERSERAGAM”.

Monday, June 29, 2009

Sepeda Jengki Pedal 10

Pedal 10
Maag


Mata melotot dan tubuh kaku berdiri.Itulah keadaan Mbak Buroh yang dipanggil Mbak Ndiroh jika di Jakarta ketika melihatku.Apalagi aku datang dengan menenteng sebuah sepeda jengki.Datang ke Jakarta itu biasanya membawa oleh-oleh ntah buah atau makanan.Boro-boro bawa oleh2 buah malahan yang dibawa hanyalah seonggok besi sepeda jengki.Bagaimana tidak tercengang dan terheran-heran.Tak ada hujan tak ada angin apalagi badai lebih dari tak ada.Wong angin seolah-olah berhenti bertiup menyambut keadaan diriku.

Kawan, Pekalongan-Jakarta tidaklah dekat.Jarak sejauh itu kini telah kutaklukan dengan sepeda jengki yang kugenjot selama 3 hari dengan 2 malamnya aku tidur.Tanpa bekal dalam tas ataupun perlengkapan lainnya.Aku hanya bermodalkan nekat kawan.Bekal yang ada hanyalah botol aqua yang berisi air kran dan berulang kali tumpah ketenggorokan.Sesudah itu diisi kembali dengan air kran dari masjid-masjid yang kusinggahi.Berbekal Rp 20.000,- tubuh ini sampai ke Jakarta.

Alhamdulillah hujan selalu absent selama perjalanan petualangan ini. Alhamdulillah juga ban sepeda jengkiku tak mengalami kebocoran di tengah jalan.Coba jika bocor sempet mampir, mau kusuguh apa tamu yang tak diharapkan ini.
Kawan, di sinilah letak kekuasaan Allah yang masih mau beserta hambanya yang lemah ini.

Cerita panjang kali lebar telah menjadi luas.Keliling dan volume tak luput keluar dari mulut bau kecut ini.Kakakku bangkit.Entah mau ke mana dia.Aku mengikuti dari belakang.Tak terbersit dalam rumus dugaanku, ternyata beliau menuju ke sebuah wartel di belakang kontrakannya yang dibangun tanpa aturan dan tanpa perencanaan serta tanpa memperhatikan nilai-nilai estetika ini.Kontrakannya tidak seperti perumahan2 atau gedung mall2 yang sombong dan angkuh yang berdiri di setiap Kecamatan di Jakarta.Kontrakan kakakku tidak pantas disebut rumah sekalipun untuk kategori RS6 (Rumah Sangat Sederhana Sekali Selonjor Saja Susah). Malahan lebih pas jika disebut Kandang Ayam karena memang ada beberapa ayam yang dipelihara teman kakakku satu kontrakan.

“Sopo sing Njenengan telpon Mbak?”1tanyaku dalam logat Jawa
“KangIbun!”jawabnya pendek
“Lha opo sampeyane ra pamit karo Simak lan Bapak?”sambungnya
“Nek aku pamit yo mesti ra oleh ra Mbak.”
”Pirang ndino kowe numpak pit kok nganti geseng rumpeng koyo kuwi raine?”
”Telung dino rung wengi Mbak, kenopo?”
“Masmu kuwi6 si Roghibun (nama panjang Kang Ibun kakak ketigaku dari 8 bersaudara) wis mider-mider ngkluru kowe, reti ora?”cerocosnya
“Jare areng nggon kancamu sing Petukangan terus kerono rak ono Masmu dituduhi koncomu sing liyo sing ning Kedungwuni lha kerono podo bae rak ono ning kono terus masmu lapor Polisi bar njaluk izin reng Simak, Simake dewe nangis terus 3 ndino rung wengi karo ngomong”Lha akune iki salah opo.Wong bocah anteng2 kok moro2 ilang, lungo ora pamit.Eh alah bocah diurus bener2 kok koyo kiye.” ceritanya yang ia kabarkan setelah menelepon Kang Ibun tadi.

“Ndung (panggilan sayang terhadap anak kecil) opo kowene ora ninggal tulisan?”
“Aku ninggal tulisan sih Mbak tapi tak sog ke neng mburi foto wisuda TPA-ku”

Nun jauh di Pekalongan kabar hilangnya diriku telah berganti jadi judul cerita”Petualangan bersepeda ke Jakarta”.Cerita tersebut menyebar dengan cepat dan luas dari mulut ke mulut seantero Tunjungsari.
Seandainya di desaku ada Koran, maka dongeng ini akan menjadi Headline News-nya dengan judul yang lebih variatif ”Beli Ballpoint ke Jakarta dengan Bersepeda”.

Semuanya seolah tak percaya.Bagaiman mungkin orang sealim aku bisa melakukan hal itu. Maklum, aku dikenal masyarakat sebagai orang yang taat beragama dan beribadah, aktif di organisasi remaja, pendiam dan berbakti pada orangtua.Bagaimana tidak berbakti, disaat anak-anak yang lain sibuk main bola aku malah sibuk ngarit suket 11 untuk kambingku.Disaat yang lain kalau disuruh belanja ke warung pada tidak mau dengan alasan malu dan acara TV-nya masih seru, aku malah semangat berangkat meskipun tanpa diberi upah.Membantu memasak dan membatik adalah kegiatan rutin yang aku laksanakan sebagai hobi meskipun itu adalah kegiatan perempuan.Ke sawah dan ke ladang sepulang sekolah atau pada hari libur menjadi hiburan dikala tugas sekolah menumpuk bikin pusing kepala.Bersepeda ke sekolah menjadi ciri baktiku berikutnya kepada orangtua.Maksudnya dengan bersepeda aku bisa menghemat uang ya itung2 sambil olah raga dan menghambat laju polusi udara serta berpraktek ria tentang ilmu kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah SAW, teman.

Menyapu halaman dan mengaji di tempat Pak Ridlwan hampir menjadi santapan saben sore dan malam hari.Itulah gambaran tentang diriku dari luar yang tampak oleh orang-orang di sekitarku.Sehingga dengan keadaan seperti itu pujian dari Masyarakat terhadapku tak pernah surut.Dan akupun tertantang tuk membuktikan bahwa aku memang seperti yang mereka puji yaitu anak yang rajin, sopan, berbakti dan sederhana.Namun isi hatiku dan pikiranku mereka tak mengetahuinya hanya aku dan Allahlah yang tahu, bahkan Allah lebih tahu tentang diriku karena memang Ia adalah Tuhanku yang Maha Tahu.Di sinilah keadaanku sekarang yang telah berubah 180 derajat dari aku yang tampak dan hadir di Masyarakat Tunjungsari.

Kembali ke Jakarta.Karena tak mambawa bekal apa-apa selain sepasang baju yang menempel di badan, Mbak Buroh meminjam baju Amri-anak Mak Awi teman Mbak Buroh di Jakarta yang tinggal di Jalan SD INPRES Kp.Usman Harun-.Seminggu aku di Jakarta menemani Mbak Buroh jualan peyek kalau pagi di Pasar Jambul, Cililitan dekat RSUD Budi Asih di bilangan Jalan Dewi Sartika.Mendorong gerobak pagi-pagi buta sejauh 4 km.Menyeberang jalanan raya padat mobil-mobil dan bus-bus besar.Kami berjualan dari pagi hingga siang hari disaat matahari berada di ubun-ubun kepalaku.Kalau malam kami mengetap alias menata peyek yang akan dijual esok hari ke gerobak di tempat Bosnya’Pak Waryudi’.

Gerobak beroda 2 berbahan seng sederhana itulah saksi perjuangan hidup kakakku selama berpuluh tahun mengais rezeki dalam kerasnya kehidupan ibukota.Yang kata orang kejamnya ibukota lebih kejam dari kejamnya Ibu Tiri.Serta membungkusi rempah-rempah dan bumbu-bumbu basah macam trasi, ketumbar, mrica dan asem juga ikan teri yang beliau hutang dari Simbok”Teman jualan kakakku di pasar yang telah lanjut usia”.Kulit gosongku yang kepanasan selama 3 hari mulai mengelupas seperti Ular yang hendak berganti kulit.Karena suasana Jakarta telah kuadaptasi ke badan kerempeng. Anehnya demam atau flu tak mampir ketubuh ini meskipun dijemur di terik sinar matahari bercampur sinar ultraviolet yang tembus kebumi akibat ozon yang berlubang diserbu gas karbon dioksida dan monoksida dari asap kendaraan bermotor serta asap pabrik yang menjamur di sejagad Jakarta.

Dari kehidupan selama seminggu bersama kakakku di Jakarta kutemukan segelintir arti perjuangan hidup menemukan jati diri dan mengangkat gengsi.Aku banyak belajar dari kakakku Mbak Buroh.Darinya yang dulu aku minta dibelikan chocholate ‘Silverqueen’kalau beliau pulang dari Jakarta.Padahal harganya mahal namun ia tetap membelikannya.Baginya kebahagiaan adiknya lebih ia senangi dari uang yang jika habis dapat dicari lagi.Darinya juga aku dulu meminta supaya dibelikan “Tas Gendong” untuk membawa buku-buku paket tebal yang dibuat oleh penerbit yang tanpa menghiraukan kecilnya tas pelajar miskin macam aku ini hingga dalam hitungan menit begitu dimasukkan ke dalam tas lalu tas dicangklong ke pundak terus dibawa lari dan akhirnya putuslah cangklongan tas anak itu di tengah jalan.Dan yang terjadi berikutnya adalah si anak merengek sambil menangis minta dibelikan tas gendong baru yang kuat dengan alasan jika membawa buku-buku tebal tak karuan itu tasnya tak putus lagi.Di situlah kedermawanan kakaku, ia pun membelikannya dengan merek ”Alpina” warna coklat.Sebuah tas yang bermerek dan mahal.

Padahal kala itu barang dagangan andalannya ”PEYEK” sering tak laku dan seandainya lakupun paling berkisar 5-10 bungkus.Sedangkan harga perbungkus adalah Rp 4.000,- dengan setoran Rp 30.000,- perhari.Artinya ia hanya hidup Rp 10.000,- perhari.Sebuah ukuran ekonomi yang fantastis dan jauh dari ukuran hidup sejahtera untuk kehidupan di Jakarta. Kawan kau pasti tahu harga-harga sembako kala itu kan.Di sinilah kutemukan rasa sayang yang begitu luar biasa dari seorang kakak bermata satu ini.Darinya kuambil hikmah dan ibroh dari sebuah derita yang dialaminya semenjak kecil akibat penyakit yang aku tak mengalaminya.Ia sendiri pernah kuanggap sebagai seorang tamu tak dikenal yang datang dari Jakarta karena waktu kulahir ia telah di Jakarta dan jarang nongol dirumah.Yang sering pulang hanyalah barang2 dan kiriman uang untuk orang tuaku.

Di keluargaku bisa dikatakan ia yang paling menderita tapi jiwanya yang paling tegar.Disaat Kakak pertamaku Mudrikah dilangkahi (didahului menikah) oleh adiknya Kang Roghibun yang menikah dengan Mbak Puji di Kebumen.Dan kala itu Mbak Mudrikah sedih dan bingung seperti orang stress dan bisa dikatakan mengidap penyakit gila nomor 13 seperti kata Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi-nya karena tak sanggup menghadapi kenyataan.Di waktu itulah Mbak Mabruroh datang bak malaikat kepagian menghibur sambil menawarkan kabar gembira bagaimana kalau Mbak Mud ikut ke Jakarta? Seketika itu pula Mbak Mud bagai disiram air salju ubun-ubunnya.Padahal untuk mendatangkan saljunya saja susah bangetnya minta ampun kawan.

Ia juga pernah ketipu orang, kawan. Segepok uang yang ia kumpulkan di celengan ayam jagonya yang terbuat dari tanah liat selama beberapa bulan diserahkan kepada sang penipu yang tak tahu adat mencari rizki secara suka rela.Katanya sih beliau seperti di Hipnotis, begitu.Namun gurat penderitaan dan pengalaman hidupnya menguatkan keimanan tuk terus bertahan dan berjuang meneruskan hidup dengan hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Sepasang sepatu yang tak tanggung-tanggung bermerek Eagle warna biru menjadi hadiah berikutnya yang tersampaikan dari tangan wanita pekerja keras dan hanya bertinggi 145 cm ini kepadaku.Ia wanita yang kokoh dan jauh dari kesan pesimis, lembek serta pemalas.

Dan suatu sore ia mengalirkan segayung air mahal dari ujung matanya yang tinggal sebelah.Ia menceritakan pedihnya hidup di Jakarta sendirian.Kakinya tertusuk “Paku Karatan” yang kangen pingin menusuk karena lama tak digunakan oleh tukang kayu untuk mengait kusen-kusen pintu dan jendela.Infeksi siap mengancam jiwanya, meskipun si paku tadi sudah dicabut dari kaki mungilnya namun sisa karatannya belum bersih benar tuk minggat dari daging sikil 12nya.Uang tak ada.Dagangan seminggu ini tak menghasilkan apa-apa selain buat makan dan setoran serta capek dan pegal-pegal.Padahal ia butuh ke dokter untuk berobat. Beginilah susahnya jadi orang miskin.Mau berobat saja bingung.Sedangkan bagi mereka yang beruang jerawatpun diurusnya meskipun harus pergi berobat sampai ke Singapore segala.

Ia mengambil silet.Digunakannya silet tersebut tuk membelek dan mengoperasi telapak kaki mininya supaya bisa dibersihkan Si bangsat karatan yang betah tinggal di kaki kanannya itu yang telah menemani perjuangannya.Dikorek-koreknya telapak kaki kecil itu dengan cottonbuds yang diolesi dettol dengan harapan begundal karat mau hijrah ke tempat aslinya.Karena bengkak, ia tak bisa jualan PEYEK selama setengah bulan digantikan Kakak ketujuhku Mukminah yang datang dari Depok. Tentu hasil dagangannya merosot terjun bebas ke jurang kerugian dan kebangkrutan.Begitu ceeritanya kawan, kalau kau ingin menangis menangislah sebelum menangis itu dilarang, tapi kalau kau tak meneteskan Si mutiara air mata berarti hatimu memang terbuat dari batu pualam.Salah, batu yang paling keras pokoknya atau memang ceritaku yang tak sanggup mengundang air tadi.

MAAG.Hari itu ia demam.Perutnya sakit laksana ditusuk duri dan jarum karung goni. Matanya berkunang-kunang, bagai melihat bintang disiang hari berputar-putar di atas kepalanya.Pusing tak tertahankan.Sakit maag akutnya kambuh.Ia tiba-tiba pingsan jatuh tak sadarkan diri di meja dagangannya di Pasar Jambul.Teteh ’PEDAGANG NASI’ di pasar yang merupakan sobat kakakku membantu menyadarkannya dengan menggoyang-goyangkan badannya namun tak kunjung bangun Si Kakak.Digosok-gosoknya perut wanita kecil ini dengan balsem hingga habis satu botol balsem merek ”RHEUMASON” warna merah.Tapi kakakku belum juga sadar.Kakinnya juga digosok-gosok dengan minyak kayu putih merek ”KAMPAK” yang terkenal sengatan panasnya, tapi belum juga ada tanda sadar atau siuman dari kakakku.Dikipasinya dengan kipas angin merek ”Maspion” tak tanggung-tanggung langsung pada putaran 3 yang merupakan putaran paling kuat. Itupun tak ada pengaruhnya.Sekujur badan kakakku dipijat dan diurut sekenanya oleh orang-orang yang merasa sanggup memijat ntah laki-laki maupun perempuan dari ujung kaki sampai ujung kepala.Dengan harapan kakakku sadar. Semua usaha yang dilakukan seolah seperti kapur barus yang menguap tak berbekas dihisap angin pasar bercampur aroma ikan asin bau amis. Empat jam sudah kakakku tergeletak tak ada gerak laksana mayat atau pasien UGD yang mengalami koma.Mungkinkah kakakku telah meninggal, dirabanya denyut nadi tangan kakakku oleh Teteh.Tapi katanya masih berdennyut.Dasar orang pasar berpendidikan rendah, melihat orang pingsan lama bukannya dibawa ke dokter malah didiamkan.Terbersit ide dari Pak Ali ’Suami Teteh’.Larilah ia ke belakang warung mengambil seember air.Semua orang berteriak… Jangan Pak Ali………… kasian…., tanpa menghiraukan teriakan orang-orang disitu dirsmkannya itu air sehingga tumpahlah seember air bekas cucian piring ke muka wajah kakakku.PPYYAARRRR…..dan seketika itu juga kakakku bangun sambil tergagap.
Begitu sadar, langsung saja dia bertannya, ”Apa yang terjadi, Teh?”
“Tadi kamu pingsan selama 4 jam.” jawab Teteh.


Dan yang dirasakan kakakku setelah itu hanyalah pegal dan masuk angin.Ya, karena dikipasi angin ”MASPION” tingkat 3 selama ¼ jam serta perut yang kembung akibat kedinginan terkena siraman air cucian piring Pak Ali, Sekujur tubuhnya juga panas karena olesan balsem ”RHEUMASON” warna merah yang tak karuan oleh teteh dan orang-orang sepasar.

Segelas teh hangat diminta oleh Teteh supaya kakakku meminumnya segera supaya badan kakakku seger kembali.Kawan kuseka dulu ya air mataku, aku tak kuat membayangkan semua itu.Tidak sekedar itu aja sobat, ia juga cerita pada suatu malam sepulang ngetap pukul 03.00, ia hendak diperkosa preman Ambon yang mabok mungkin akibat minum wiski rasa baygon terlalu banyak kali yaa.Namun karena badannya yang kecil tak sulit baginya tuk meloloskan diri.

Penderitaan selanjutnya yang ia ceritakan padaku adalah tentang pernikahannya. Pernikahannya dengan orang Jogja tahun 1998 gagal total.Suaminya meninggalkannya pada minggu ketiga.Selain karena memang orangnya tak cocok dengan keluarga kami mungkin juga akibat kata-kata pengusiran.Bahkan kata-kata pengusiran dari rumah ayahku di Pekalongan,aku yang melakukannya.”Pokoke wong kae13 (Suami Mbak Buroh) kudu lungo dek kene 14 (rumah orang tuaku)” Begitulah kata-kata yang keluar dari mulutku.Kala itu aku masih SMP.Kata-kata itu keluar karena adanya perasaan seorang anak yang tidak suka terhadap seseorang.Dan kata-kata itu keluar sekenanya tanpa memperhatikan etika berbicara dan sambil teriak lagi, walaupun sebenarnya aku sudah tahu sopan dan santun serta adab berbicara.Namun Mbak Buroh memakluminya, karena memang laki-laki tersebut tak bertanggung jawab atas kakakku. Nafkah lahir tidak diberikannya, kerjapun juga tidak.Menurutku dia pemalas serta kurang waras. Entah kenapa ia bisa menikah dengan kakakku yang tegar dan pekerja keras.Ternyata Si laki-laki kurang genap itu dinikahkan oleh kakaknya (sahabat kakakku) yang merengek-rengek kayak bayi minta ASI pada Ibunya di dengkul Mbakku yang hatinya mudah trenyuh supaya Mbakku mau menikah dengan adiknya yang hanya 99 itu.

Beberapa minggu setelah pernikahan adiknya dengan Mbak Buroh, kakak suami Mbakku yang bernama Mbak Umi kabur dari kontrakan kakakku.Ia kabur dengan membawa barang-barang berharga milik kakakku termasuk ”Sendal Jepit” warna biru muda merek ”SUNLY” yang baru sehari sebelumnya dibeli dari warung sebelah.Ia pergi tak sendirian, tapi bareng suami kakakku yang pikirannya kurang 1 stirp supaya bisa dikatakan tidak menderita penyakit gila no. 40 begitu kata Andrea Hirata dalam novel tetralogi ”LASKAR PELANGI” nya.Tak cukup sampai di situ penderitaan kakakku kawan. Namun alhamdulillahnya kawan, pernikahan penuh kekonyolan itu tak merenggut keperawanan dan orisinilitas kakakku.Kenapa bisa begitu? sebab saat pernikahan itu kakakku sedang dalam keadaan datang bulan alias menstruasi atau kedatangan tamu yang tak diundang namun tetap nylonong pingin datang. Sedangkan dalam syariah Islam, saat sang wanita sedang haid si Kumbang tidak boleh menjamah sutra kebanggan sang ratu.Dan biasanya kakakku jika tamunya datang masanya adalah 2 minggu dan pada minggu ketiga setelah hari pernikahan Suami kakakku pas sedang balik ke Jogjakarta. Sehingga daripada itu kakakku tetap virgin belum tersentuh oleh lelaki dungu itu.

Tahun 2002, kakakku resmi bercerai dengan suaminya. Dengan sidang tanpa kehadiran pihak lelaki yang tak jelas batang kakinya bahkan jejaknya yang bau terasi juga tak tercium walaupun kita berdiri sejengkal darinya.

Sunday, June 28, 2009

Sepeda Jengki Pedal 9

Pedal 9
Ikan Teri


Pak Khaerudin masuk ke rumah, beberapa saat kemudian beliau keluar sambil membawa sebungkus nasi dan lauk ikan teri serta memberiku uang Rp 10.000,-.Walaupun sedikit menurut orang dewasa tapi bagiku Rp 10.000,- adalah uang yang banyak.Karena aku belum bisa mencari uang sendiri kala itu meskipun hanya sepuluh ribu bahkan seribu pun aku tak bisa.
Ucapan terima kasih tak lupa kusampaikan sembari pamitan dan menggenjot sepeda jengkiku.
”Assalamu’alaikum!”
”Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh” jawab beliau sambil melambaikan tangan.

Mentari belum menampakkan sinarnya.Udara dingin pagi masih begitu terasa.Sepeda jengkiku mulai berjalan perlahan-lahan.Gurat kelelahan telah berganti dengan semangat baru.Semangat yang timbul karena istirahat dan tenaga dari makanan yang diberikan Pak Khaerudin. Perbatasan Cirebon Kec.Aryawinangun dengan Indramayu telah kulewati.Para petani mulai mencangkul sawahnya.Ada yang sedang memupuk dengan pupuk Sriwijaya ataupun dengan pupuk Kujang.

Kendaraan sedang ataupun angkot mulai berlalu lalang di jalanan yang sedang diperlebar ini.Diperlebar karena buat persiapan menyambut Hari Raya Iedul Fithri.Di mana saat itu jalanan akan penuh dengan rombongan mobil dan motor dari Jakarta yang akan mudik ke Jawa.Meskipun hari tersebut bisa dikatakan masih lama.Bahkan jalanan sepanjang pantai di mana di situ merupakan kawasan Rumah Makan Sea Food bener-bener baru mulai diperbaiki.Di mana debu beterbangan dibawa angin ke barat, timur, selatan ataupun ke utara.Yang bandel biasanya ingin masuk ke mataku meskipun ada tanda dilarang masuk di kelopak mataku.Mataku merah oleh Si debu bandel.

Kuperhatikan para pekerja yang bekerja tanpa mengenal lelah meskipun matahari bersinar dengan panasnya.Mungkin dalam benak pekerja mereka seolah-olah sedang berjemur seperti turis kali yaaa.Padahal mereka adalah kuli yang siap dimandi dengan debu dan panas matahari serta aspal mendidih yang setiap saat sanggup menguliti epidermisnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 wib.Satu jam berikutnuya Kab.Subang mulai kutaklukkan.Kuisi botol air mineral dengan air kran dari masjid di Subang.Waktu dhuhurpun telah tiba.Buru-buru kuambil air wudlu.Seuasai sholat dhuhur di situ kulanjutkan mengonthel sepeda jengki menyusuri jalanan Subang yang agak mendaki.Selain jalanan yang agak menanjak, tak ada pemandangan yang lain yang menakjubkan atau menarik mataku untuk melihatnya bahkan melirikpun segan mataku. Hanya Lokasi Pemancingan yang sekali kulihat papan Balihonya.Lumayan juga jalanan di Subang selain mulus dengan aspal juga tak ada Si debu Bandel yang pingin berlindung dan ngumpet di pelupuk mataku dari injakan ban mobil yang tak berperi keban-banan.Namun sebagaimana halnya sebuah kota yang berkembang, di Subang juga mulai nampak perumahan penduduk yang mulai berdempet-dempetan.Yang menandakan Subang adalah sebuah daerah yang mulai terkontaminasi dengan model kehidupan tak teratur macam Kota Jakarta.

Beberapa kali aku menghentikan kayuhan sepeda jengkiku sambil menyantap roti bolu persegi sisa kemarin.Termasuk kuembat nasi bungkus pemberian Pak Khaerudin dengan ikan teri sepesial bagi orang yang suka kabur dari rumah.Makanya kawan, pelajaran yang dapat kau ambil adalah jangan kau minggat dari rumah jika tak berbekal uang yang banyak, sebab jika kau bertemu orang yang baik ia akan mengasihimu dengan sebungkus nasi plus ikan teri.Sholat ashar aku dirikan juga di Subang.Di mesjid berwana putih.Aku lupa nama mesjid tersebut.

Sinar jingga merupakan pertanda maghrib segera menjelang, kupercepat kayuhan sepeda jengki biru tuk melalui kota Karawang dengan gedung-gedung tuanya.Gedung-gedung tua sisa peninggalan masa mempertahankan kemerdekaan dari hasrat kolonial Belanda yang belum puas menjajah NKRI selama 350 tahun.Dalam hati aku bertanya, Inikah Karawang yang tertulis dalam buku pelajaran sejarahku semasa aku duduk di bangku SMP dulu? Kawan, suasana zaman dahulu begitu terasa, sampai-sampai bulu ketekku berdiri sewaktu memperhatikan pemandangan itu.

3 kabupaten dalam sehari.Kuhitung perjalananku hari ini.Berarti 3 kabupaten ini luasnya melebihi 4 kabupaten yang aku benamkan kemarin.Pemalang, Tegal, Brebes dan Cirebon.Dihari kedua ini aku bermalam di Karawang, tentu di masjid kawan bukan di gereja atau pasar atau kolong jembatan atau bahkan pasar.Tidak.Di mesjid aku lebih merasa tenteram.Sebelum tidur aku sempet berdialog dan meminta izin dengan marbot mesjid.Tapi di sini aku berbohong, kukatakan aku orang Indramayu yang ingin ke Cikampek.Padahal aku kan orang Pekalongan yang sedang tamasya.Jadi jangan ikut-ikut ya teman.Ikut-ikutan bohong dan kabur dari rumah tentunya.Jam 04.15 aku sholat shubuh secara berjamaah di situ.

Dan hari ketiga, pagi-pagi buta aku kembali mengayuh sepeda jengkiku.Kota Karawang kususuri.Sedikit demi sedikit, semburat cahaya merah menerobos gerombolan awan putih yang seperti kulit domba gendut yang dirawat penuh kasih dan sayang oleh peternak domba yang rela tidur bareng domba tersebut dan rela tubuhnya selalu disemprot parfum aneh alias bau domba tersebut.Hawa dingin berubah menjadi hangat.Perut yang kosong telah kuisi dengan roti kering dan seteguk air kran yang telah berpindah ke dalam botol aqua.Pikiran akan kampung Tunjungsari benar-benar telah lenyap, yang ada hanyalah jalanan panjang beraspal yang berkelok-kelok, naik dan turun.Sepeda jengki kugenjot sekenanya.Di ujung pandangan tertulis di papan penunjuk jalan kota yang sering kudengar namanya jika waktu mudik telah tiba.Di mana para reporter TV sering berdiri di sana memberitakan tentang frekuensi kendaraan yang lewat di pintu tol tersebut.

Cikampek.Ya Cikampek.Daerah itu kini telah di depan mata.Jika aku telah melewati kota tersebut kota berikutnya adalah Bekasi selanjutnya Kota metropolitan yang terkenal dengan WC terpanjang di dunianya yaitu Jakarta.Meskipun termasuk Propinsi kecil namun karena merupakan ibu kota NKRI Jakarta menjadi daerah terpadat dan tujuan bagi siapa saja yang ingin merubah nasib dari kere menjadi konglomerat atau yang ingin tambah mlarat juga bisa.Akhirnya roda depan sepeda jengkiku menyusuri pinggiran kali yang panjang.Kalinya sih keruh tapi masih tetap nampak keasliannya. Tidak seperti kali-kali di ibukota yang hitam akibat pencemaran limbah pabrik yang tak bertanggung jawab seperti yang sering kulihat di siaran televisi ”DUNIA DALAM BERITA” di TVRI pukul 21.00 wib di rumah tetangga.Masjid berdinding warna biru dengan kubahnya yang menawan dan megah menjadi saksi akan kebesaran Ilahi.Terowongan Cawang dengan lampu temeramnya kulewati.Tapi aku lupa ke mana arah rumah Mbak Mabruroh ya.

Belakangan kuketahui setelah sekarang aku tinggal di Jakarta dan bekerja di salah satu Pabrik Otomotif setamatnya aku dari STM.Sungai yang panjang di pinggir jalan yang kulalui itu adalah Sungai Kalimalang.Sungai yang sumber airnya diolah menjadi air yang bersih oleh Themes Pam Jaya lalu disalurkan ke rumah-rumah warga di Jakarta.Selanjutnya Masjid berdinding biru yang megah itu adalah Masjid Al-Azhar.Di mana aku telah beberapa kali masuk ke dalamnya untuk kajian kitab dan bedah buku-buku Islam.Sunguh menakjubkan masuk ke Masjid yang besar itu kawan.

Memasuki terowongan penuh pedagang buah ’UKI’ aku tanyakan kebeberapa orang daerah Kampung Arafat Kel. Kebopala Kec. Makassar.Namun tak ada yang menjawab dengan pasti.Padahal nama daerah itu masih tertanam kuat dalam ingatanku sewaktu aku masih duduk di kelas 4 MIM Tunjungsari dan pergi ke Jakarta bareng Ibuku dan tetanggaku naik bus.Aneh apa mereka yang ndak tahu atau aku yang lupa. Entahlah.

Untuk selanjutnya kucoba menanyakan area di mana Tukang Peyek beroperasi.Karena kakakku adalah seorang pedagang peyek.Tapi mereka malah lebih parah tidak tahunya.Dari tampangnya sih sepertinya mereka udah lama tinggal di Jakarta tapi kenapa mereka tidak tahu. Mungkin orang-orang tersebut hanya tukang ojek yang mangkal di situ tapi tak pernah keliling-keliling Jakarta atau tak pernah bergaul atau bersosialisasi.Kan orang kota itu individualis semua ya.Kawan kalau kau hidup di Jakarta janganlah hidup hanya Pabrik-kontrakan bolak-balik tanpa bermasyarakat atau pasar-kontrakan pulang-pergi setiap hari.Cobalah ke masjid tuk jamaah dan ngobrol-ngobrol dengan tetangga barang sedikit.Biar nanti kalau ada yang nanya biar kau bisa jawab, Malunya kalau yang ditanyakan oleh orang yang bertanya padamu ternyata lokasinya di sebelah kita.Kan muka ini bisa gosong kayak dipanggang pakai pangggangan sate Wusdi.Atau seperti pantat srabi yang lupa diangkat dari cetakannya.Karena saking malunya.

Beberapa kali daerah itu aku putari dan kelilingi namun area para begundal peyek tak kunjung kudapati.Jam 10.00 rumah Pak Waryudi kutemukan.Padahal Jakarta khususnya daerah Kebonpala telah kuinjak-injak selama 2 jam. Artinya selama itu aku berputar-putar. Terowongan UKI yang sebenarnya bukan nama terowongan itu sbenarnya melainkan karena di sebarang jalannya berdiri UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA ( UKI ) dan jalur TRANSHALIM ( Jalur transportasi angkutan menuju Bandara Halim Perdana Kusuma ) menjadi area yang paling subur seandainya aku adalah seekor kerbau yang membajak sawah dan akan menjadi pakaian yang paling licin jika aku adalah sebuah setrikaan.Karena semua orang di Pabrik Peyek Pak Waryudi yang merupakan Bos kakakku Mbak Buroh pada sibuk maka aku hanya ditunjukkan jalan ke kontrakan Mbak Buroh dan disuruh tanya-tanya nanti di sananya.

Ternyata tak disangka dan tak diduga serta tak dinyana, arah kontrakan Mbak Buroh adalah belok kanan jalur TRANSHALIM dari jalan yang aku putar-putari sampai 5 kali itu.Tadi pagi aku belok kiri di pertigaan Kampung Arafat, pantaslah kalau tak ketemu.

Related Post

Related Posts with Thumbnails