Thursday, August 27, 2009

Pasir dan Batu

Ini adalah Sebuah cerita yang pernah dasir baca dari sebuah buku tapi dasir dan wong tunjung lupa judul bukunya...begini ceritanya..

Ada dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan. Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas. Sepanjang mata memandang yang ada hanya pasir yang membentang. Jejak kaki mereka meliuk-liuk di belakang. Membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan menunduk.Tiba-tiba badai datang.



Angin besar menerjang mereka. Hembusannya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pasir betebaran di sekeliling mereka. Pakaian mereka mengelepak, menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga dengan tangan berpegangan erat. Mereka mencoba melawan ganasnya badai.

Badai reda, tapi musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terbuka saat badai tadi. Isinya tercecer. Entah gundukan pasir mana yang meneguknya. Kedua pengembara itu duduk tercenung, menyesali kehilangan itu.

"Ah.., tamatlah riwayat kita," kata pengembara pertama. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. "Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini."

Kawannya, si pengembara duapun tampak bingung. Namun, mencoba tabah. Membereskan perlengkapannya dan mengajak kawannya melanjutkan perjalanan. Setelah lama menyusuri padang pasir, mereka melihat ada oase di kejauhan.

"Kita selamat," seru salah seorang diantara mereka.
"Lihat, ada air di sana."

Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung bukan fatamorgana. Benar-benar sebuah kolam. Meski kecil tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun segera minum sepuasnya dan mengisi kantong air.

Sambil beristirahat, pengembara pertama mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas sebuah batu. "Kami bahagia. Kami dapat melantjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini."

Pengembara kedua heran.
"Mengapa kini kau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir."

Yang ditanya tersenyum.
"Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di pasir. Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus," jawabnya dengan bahasa cukup puitis.

"Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan."

Keduanya bersitatap dalam senyum mengembang. Bekal air minum telah didapat, istirahatpun telah cukup, kini saatnya melanjutkan perjalanan. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan seringan angin yang bertiup mengiringi.

Bagaiman dengan kita dalam menyikapi setiap permasalahan...salam hangat dan ukhuwah dari dasir dan wong tunjung semua...

Etika Lelungan

Pernah bepergian? Atau pernah melakukan perjalanan jauh seperti ke gunung, tempat wisata, pulang kampung, naik haji, umroh atau studi tour atau yang lainnya? Semua orang dasir rasa pernah melakukan perjalanan jauh kecuali masìh bayì, cacat fisik ataupun cacat mental. Yang bayi ataupun cacat kadang mengalahkan orang dewasa maupun yang sehat dalam melakukan perjalanannya. Tapi dasir tidak akan membahas bayi atau cacat, dasir hanya ingin berbagi ilmu yang dasir dapatkan tentang adab atau etika bepergian. Yang dalam Islam disebut SAFAR. Sebenarnya sama saja maknanya, karena safar dalam bahasa Arab yang dalam bahasa Wong tunjung artinya Lelungan atau Bepergian.

BerikutAdab-adab Safar/Etika Lelungan:

1. Melaksanakan sholat istikharah
2. Mengharap ridlo Alloh SWT
3. Bekal ilmu syar'i
4. Bertaubat
5. Bekal yang halal
6. Menulis wasiat
7. Pesan takwa
8. Mencari teman perjalanan yang baik
9. Berpamitan
10. Berangkat pada hari kamis
11. Berdoa ketika keluar dari rumah
12. Membaca doa safar
13. Mencari teman perjalanan
14. Mengangkat ketua rombongan
15. Berkumpul ketika singgah
16. Doa ketika singgah di suatu tempat
17. Bertakbir apabila melewati jalan menaik
18. Doa ketika memasuki suatu perkampungan
19. Berangkat pada awal malam
20. Doa ketika melihat fajar
21. Rajin berdoa ketika dalam bepergian
22. Amar ma'ruf nahi munkar
23. Menjauhi segala bentuk kemaksiatan
24. Melaksanakan semua kewajiban
25. Berakhlak mulia
26. Suka menolong
27. Segera kembali setelah urusan selesai
28. Doa ketika pulang
29. Doa ketika melihat kampung halaman
30. Tidak langsung masuk rumahnya pada malam hari
31. Melaksanakan sholat dua rakaat
32. Bercengkerama dengan anak-anak
33. Membawa oleh-oleh
34. Anjuran untuk berpelukan
35. Mengadakan perjamuan
36. Tidak membawa genta, seruling dan anjing
37. Mengajak istri dengan undian.
Yang ini khusus untuk yang berpoligami.
Yang masih lajang kayak dasir ga berlaku adab yang terakhir..hehehe

Cukup dulu artikel ini semoga bermanfaat bagi dasir dan wong tunjung khususnya dan sahabat sekalian pada umumnya..assalamu'alaikum..

Disarikan dari Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani dalam 'Shalatul Musafir Mafhum wa Anwa' wa Adab wa Darajat wa Ahkam fi Dhau'ik Kitab was Sunah'

Wednesday, August 26, 2009

Kembali ke Jakarta

Kita lanjutkan episode terakhir Kembali ke Jakarta

Siangnya kami tertidur semua. Capek banget dan melelahkan. Ternyata hajatan nikah tak seringan yang dibayangkan. Harusnya nikah itu mudah dan ringan. Kayaknya tergantung masing-masing orang kali ya. Sahabat, apabila kalian mengadakan hajatan nikah buatlah yang seringan mungkin tapi tetap bernilai tinggi bagi tamu undangan dan teman-teman.

Matahari beranjak ke barat kurang lebih pukul setengah tiga, Kakak sepupuku minta di anterin ke Tegal Suruh, Sragi. Katanya mau kondangan.Kami berangkat berempat. Aku memboncengkan kakak sepupu ku. Melewati jalan di tengah sawah yang di aspal tahu 2000 kami manuju ke Sragi. Aku berada di depan dan kakak sepupuku yang lain berboncengan berada di belakang. Jalanan di desa tak seramai di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Makanya kami bisa ngebut.

Di desa Babalan Lor Kecamatan Bojong motor karisma di depanku berjalan rada pelan. Akupun mendahuluinya. Kakak sepupuku yang dibelakang dengan Jupiter Z birunya mengikutiku. Beberapa motor dan mobil aku balap, karena takut kesorean. Sebuah motor Supra dengan kandang ayam di belakangnya mengendarai agak cepat, karena aku pingin cepat sampai di Tegal Suruh maka juga kubalap. Pas di Desa Beji masih di Bojong setelah melewati motor ayam itu motorku oleng. Goyangannya kuat sekali ke kanan dank kiri.seperti ada yang menyenggol bagian belakang motorku. Kakak sepupuku yang membonceng berteriak.

“Eh Sir, piye iki… piye iki?”

Iya berpegangan kencang ke pinggangku yang mencoba mengendalikan revo yang mulai tak beraturan jalannya. Rem kutarik kuat-kuat sambil menurunkan gas.

“Seaaaaakkk….seeooooookkkkk……”

“Chhhhhhiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttt……….!!!!!!!!!”

“Huh..hah..huh..hah..dag..dig..dug..der..dor…” nafasku terengah-engah.

Alhamdulillah motorku berhenti tanpa jatuh dan roboh. Kakak sepupuku bersyukur sesyukur-syukurnya. Bagaimana tidak bersyukur? Seandainya pertolongan Alloh SWT tak datang tepat waktu dengan memerintahkannya berpegangan kuat kepadaku mungkin ia telah terlempar jauh. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi. Qodarulloh. Sebab keadaan motorku masih kencang 80 km/jam, karena baru saja membalap.

“Sir, kenopo motormu?” Tanya kakak sepupuku bingung.

“Aku ra reti?” jawabku pendek sambil gemetaran

.

“Wah Sir yo pantes! Wong kempes banne..!” lanjutnya sambil melongok ke ban belakang motorku.

“Yakin Sir, aku mau wedi banget!” tambahnya dengan mimik ketakutan.

Kamipun berjalan mencari bengkel untuk menambal ban.*Bukan menambal baju!*

Sebenarnya sebuah bengkel tepat di seberang jalan dimana aku menghentikan motorku, tapi ia tak melayani tambal ban. Ia memberipetunjuk berjalan sekitar 500 meter ke selatan. Di sana katanya ada bengkel tambal ban.
Awalnya ketika sampai di bengkel itu, pintunya tertutup. Sehingga kami mengira tutup. Namun waktu kami meningglkan bengkel tersebut kurang lebih 10 meter, sang pemilik pas keluar dan melihat kami lalu memanggil.

“Hey Mas, neng opo motore?” teriaknya.

“Anu pak, kempes!” balasku singkat.

Bapak itu mebongkar ban belakangku dengan lihai. Dibukanya tutup pentil, lalu di congkelnya ban luar setelah itu ditariknya ban dalamnya. Ia lincah bangeet, andaikan ia penari gerakannya lemah gemulai. Andaikan ia penyanyi suaranya merdu. Andaikan ia pemain bola gocekannya maut. Andaikan ia sprinter, mungkin Usain Bolt akan di kalahkanya.*Hey, ngelantur kemana sih!*

“BUszyeeeeeetttttt…maasya Allooh!” teriakku dalam lubuk terdalam.*Ciaaah..bahasa mana tuh?”*

Kawan, bannya tersayat dan termasuk dalam kategori terpotong. Pantaslah kalau motorku bergoyang melebihi garangnya goyang ngebor Inul. Sebuah paku berbentuk huruf V menancap di ban luar menusuk dan mengoyak ban dalam.

Bayangkan sendiri ya..bagaimana rusaknya itu ban.

Selama motor ini di beli baru sekali ini harus di ganti. Dan kenapa harus dengan jalam begini periode penggantiannya. Lagi-lagi Qodarulloh. Takdir Alloh berbicara lebih dari ketidaktahuan dan menunjukan kelemahan serta ketidak berdayaan kita menghadapi dan merubah apa yang telah di gariskan oleh Sang Maha Berkehendak.*Karena kamu pas di rumah, biar kamu yang ngganti bukan kak fani yang ganti ban..ehheehhehe*

Ban dalampun diganti dengan ban merk federal. Kami duduk menunggu kurang lebih 30 menit. Sambil menunggui bapak penambal ban aku iseng mengambil gambar dengan K530i ku.

Kakak sepupu dengan Jupiter Znya mendatangi kami. Ia tadi membalapku sewaktu aku berhenti dan tadinya kami menyuruhnya duluan tapi ternyata mereka lebih ingin bareng-bareng saja.

Dua puluh menit kami di tambal ban. Dan tiga puluh ribu biaya yang harus ku keluarkan untuk membayar ban dan jasa penggantiannya.

Kami sampai di Tegal suruh pukul 15.20 wib. Dan hanya sebentar lalu langsung pulang 10 menit berikutnya. Pulangnya kami tak lewat jalan yang tedi. Kami mengambil jalan lewat Pabrik Gula Sragi menuju Klunjukan melewati jalan tengah sawah Kentung dan Secangkring atau Grecek. Nyampe di Tunjungsari pukul 16.30 wib.

Bersih-bersih sesudah balik kloso lebih ringan daripada sesudah resepsi. Cukup ngepel lantai yang berminyak. Malamnya pun kami bisa bercengkerama mesra. Keponakanku dengan tingkah polah dan celotehnya membuat kami tertawa riang melupakan kelelahan dan kepenatan.

“Lek..lek..Lek nduwe Ibu ora?” tanyanya lugu.

“Mboten, Lek nduwene Simak..” hahahaahaha.

Dalam kamus besar bahasa jawa yang namanya ‘ibu’ itu ya semakna dengan ‘simak’. Lha namanya anak juga baru 3 tahun, nanyanya aneh bin ajaib. Mengapa ia bertanya seperti itu? Karena dalam sehari-hari ia memanggil kak Fani dengan panggilan ‘IBU’ bukan ‘SIMAK’ seperti saya. *Hehehe..wong tunjung ikut ketawa ahh…*

Tapi sangat disayangkan. Resepsi dan balik kloso yang membahagiakan memakan korban. Ayahku yang kelelahan pinggangnya rematik. Ia minta dipijitin sama tukang urut Wo Was. Sebelum ia datang aku mengurutnya sebisaku. Yang penting asal sentuh dan tekan, katanya enak dan nyaman. Mungkin karena jarang aku memijitnya, sehingga ia sambil melepaskan kangen pada anak bungsunya ini minta dipijitin terus. Hihiihihi..biasanya nekan tombol monitor mesin kini nekan tubuh orang. Kaishan juga bapakku. Sudah tujuh puluhan ia usianya tepatnya aku kurang tahu berapa usianya. Ia sendiri tidak tahu, kapan tanggal lahirnya. Di KTP-nya ia ditulis sama pejabat desa tahun 1932 dan masa berlakunya seumur hidup.

Hari Minggu tanggal 16 Agustus tahun 45 eh 2009 besoknya hari kemerdekaan kita. Aku merapikan ruangan yang belum rapi dan mencuci baju yang kotor. Maklum dari Jakarta hanya membawa beberapa potong pakaian ganti. Sedang pakaian yang lama sudah tidak pada muat dan kurang enak dipakai. Karena sudah kusam.

Tanggal tujuh belas Agustus aku merayakannya dengan pergi ke sawah membantu Bapak yang telah sehat mengangkati gabah 15 karung. Jaraknya yang lumayan jauh dan tidak bisa di lewati mobil membuatku mengangkutnya menggunakan motor Revo dengan di taruh di boncengan. Bersama suami kak Fani aku bergiliran membwa kelimabelas karung padi hasil panen yang msing-masing berbobot plus minus 50 kg..

Sorenya aku bersilaturahim ke rumah saudara sepupu yang lain di RW sebelah. Puncaknya malam nanti aku hendak balik merantau ke Jakarta. Mencari sejumlah uang buat bekal hidup.

Pukul 17.00 aku menata keperluan baju dan perkakas yang harus kubawa Kembali ke Jakarta. Baju, tas, kamera, hape, charger, kunci kontrakan, Alqur’an, buku, bolpoin, flasdisk, kopyah, beras dan sedikit oleh-oleh buat teman kerja di pabrik nanti serta tetangga.

Aku hanya membawa 3 kg kripik singkong buatan adik ipar kak Fani. 3 kg lanting yang dibawakan Kak Roni dari Kebumen. Aku rasa cukup. Mandi dulu biar seger dan tidak mabok waktu naik bus. Makan malam.biar ga masuk angin. Sebotol air minum.

“Nyuuut…nyuuuut..nyuuut…” berat kepalaku selepas mennunaikan sholat maghrib. Badanku juga gemetaran tak karuan.

“Mak, aku turu sik bae yo. Ngko nek sehat yo mangkat jam 21.30 pu o naik kereta Ekonomi…” pintaku pada bundaku. *Ciaaah..sekarang pake bunda segala.* Cuma di cerita ini ko..hehehe.

“Lha, sampeyane neng opo?” jawab bundaku.

“Mumet banget karo gemeteran koyo iki. Cok e kerono mau pas ngangkuti pari ra nganggo topi dadi kepanasan.”

“Tak gaweke wedang anget, gelem pora?” tawar bundaku.

“Gelem..” jawabku sambil merebahkan badanku.

Sesaat kemudian beliau membawakan segelas the hangat untuk anak bungsunya ini. Kuseruput pelan-pelan dan kuminum hingga habis. Aku tidur hingga pukul 21.00 dibangunin mas Ozan. Ia menanyakan apakah aku jadi berangkat tuk Kembali ke Jakarta malam ini tidak? Tapi aku menjawab besok saja berangkatnya. Ia juga menawari mau berangkat ke Jakarta naik mobil pribadinya Lek Ahmed tidak. Kujawab tidak mau. Karena aku tidak akrab dengan Lek Ahmed dan jarang bertemu dengannya. Meskipun kami sama-sama mencari nafkah di Jakarta. Katanya Lek Ahmed akan berangkat jam 23.00 wib. Berhubung juga aku sudah terlanjur kuat banget ngantuknya akupun kembali tidur dengan menjalankan sholat Isya terlebih dahulu.

Dalam hati aku berpikir, sebenarnya jika ikut Lek Ahmed bisa eanggaran tapi aku terlanjur menjawab tidak, malu rasanya menarik ucapan. *Sok loe…*

Aku tidur nyenyak tapi kadang terbangun lalu tidur lagi. Aku bermimpi telat berangkat ke Pabrik. Jam 4 pagi aku bangun, aku langsung bingung. Aku mau naik apa pagi ini Kembali ke Jakartanya. Naik bus baru sampai Jakarta jam 17.30 wib, naik kereta Bisnis nyampenya jam 15.30 wib. Padahal aku harus berangkat kerja pukul 16.00. Kubuka hape K530i ku dengan OPMIN untuk On Line. Aku berharap ada kereta yang berangkat jam 7 pagi. Itu aku lakukan karena aku tak hafal jadwal kereta Eksekutif, biasanya Cuma sampai level Eonomi dan Bisnis. Gaa kuat duitnya. Tapi demi kerjaan agar tidak terlambat, aku berniat naik kereta Eksekutif.

“Dapat nih infonya..ARGO SINDORO..JAM 6.50 DARI SEMARANG KE JAKARTA..HARGA RP 180.000,- ah masih bisa di tolerir dengan APBW (Anggaran Pengeluaran dan Belanja Wong Tunjung) hehehe..” *Kayaknya loe masih belekan tuh,,cuci muka dulu ngapa?* Hehehehe…maklum bingung…

Sejurus kemudian aku langsung mandi untuk persiapan sholat subuh dan nanti usainya langsung berangkat ke STASIUN PEKALONGAN pukul setengah enam. Jarak antara rumahku dengan stasiun lumayan jauh dan bisa di etmpuh dengan motor 30 menit.

Selepas sholat subuh aku pamitan kepada kedua orang tuaku dan kak fani serta mas Ozan ayng sedang menata tempe untuk dijual. Setelah berpelukan dan meminta doa aku pergi dianta dengan REVO oleh kak fani. Aku hanya mencium keponakanku Adi dan Dwi yang masih tertidur, tak tega aku membangunkannnya dan kalaupun bangun nanti Dwi malah nagis pingin ikut ke Jakarta.

Setengah jam kemudian aku sampai di stasiun. Kak Fani mengantar hanya sampai tempat naik angkot ke stasiun. Ia tak berani mengantarku sampai stasiun karena tak punya SIM.

Ke loket.

“Pak satu tiket Argo Sindoro satu ke Jakarta. Berapa?” pesanku kepada petugas loket,

“Rp 220.000,-!” jawabnya.

“Loh kok naik, di Internet 180 pak?”

“Lha itu mas yang terbaru!” sambil menunjukan info harga terbaru di dinding.

Yah,,meskipun mahal tetap kubeli. Yah idep-idep numpak sempur Eksekutif sepisan Gimana sih rasanya jadi orang kaya yang naik Eksekutif…

Jam 7.53 kereta yang hendak kunaiki datang dari Semarang. Waktu transit hanya dua menit. Aku masuk gerbong 3 kursi 5A. Lumayan juga berAC dan tempat duduknya dua-dua. Tak ada pedagang yang rame seperti di Ekonomi dan Bisnis. Juga tak ada yang merokok, cocok untuk dasir dan wong tunjung yang anti nikotin dan tembakau. Sayang saja meskipun mahal tak ada makanan, snack ataupun minuman…Sampailah aku di Stasiun Jatinegara dengan selamat. Akhirnya dasir dan wong tunjung Kembali ke Jakarta tepat jam dua belas teng.

Selesai,,,terima kasih dasir dan wong tunjung ucapkan kepada sahabat sekalian yang dengan setia mengikuti cerita mudik seminggu dasir dan wong tunjung. Mudah-mudahan bermanfaat sampai jumpa lagi di cerita yang akan datang.

Wassalamu’alaikkum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Salam saying tuk semua sahabatku tersayang…PIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSSSSSSSSSSS



Related Post

Related Posts with Thumbnails