Wednesday, July 01, 2009

Sepeda Jengki Pedal 12

Pedal 12
Jamak Qashar


Kita tinggalkkan suasana di dalam bus karena di daerah Purbalingga aku mau muntah sebab tubuhku terpental-penta ke atas akibat jalanan di sana yang bergelombang dan tak rata serta ban mobil yang terlalu keras memompanya. Selain itu Si pak supir yang masih muda darahnya sedang mendidih sehingga bus berlari bak Kimi Raikonnen mengemudikan F 2007- nya dan jalan tak kenal rambu-rambu.Lampu merahpun di terobosnya.Persis seperti mafia Sisilia yang lari dari kejaran Polisi Italia bagian Palermo karena mencuri Patung Krisna dari Museum Widya Loka di Solo.
Tiba-tiba…CIIIIIIIIITTTTTTT…..

bus mendadak berhenti padahal di luar hujan deras turun tak terkira lebatnya.

Aduhai…trenyata aku telah sampai di TERMINAL PURWOKERTO. Aku belum sholat dhuhur, begitu turun dari bus langsung aku meluncur ke musholla di terminal.Jam sudah menunjukkan pukul 15.45 wib, artinya waktu ashar juga telah masuk. Kusegerakan wudluku, kujamak qashar Dhuhur dan Ashar, 2 rakaat-2 rakaat.Kuberdoa semoga hujan lekas berhenti supaya kami dapat mencari bus yang akan berangkat ke Kebumen dengan mudah.Aku juga berdoa memohon ampun atas kekhilafanku kabur dari rumah serta agar aku tak malu dan mampu menyiapkan muka dan hatiku serta jawaban yang menenangkan saat bertemu Ibu dan keluargaku nanti malam.
Sebab rencananya mereka juga akan datang menghadiri pernikahan Kang Bin dan sekalian menjemput Si badung’AKU’.

Pukul 16.00 wib kami naik bus jurusan Jogja yang melewati Karanganyar, Kebumen.AC bus tersebut begitu dingin hingga tubuhku merinding menahan dinginnya suhu di dalam bus. Ongkos bus tersebut Rp 4.000,- perorang. Kakakku membayar dengan uang sepuluh ribuan. Beberapa menit kemudian bus memberhentikan kami di Pasar Karanganyar.Aku makin gugup, jantungku berdegup kencang sekencang larinya zebra yang lari dari kejaran singa kelaparan. Darahku mengalir deras bak air terjun Tawang mangu di Solo.Kutarik napas dan kutata hatiku supaya tenang.

Becak menawarkan tumpangan, kami bilang mau ke Plarangan ( Kelurahan dimana Kang Ibun tinggal beserta keluarganya ). Kakakku menawar harga sebelum menaikinya, setelah melalui tawar menawar dengan alot akhirnya kesepakatan diperoleh dan akhirnya kami naik becak tersebut untuk menuju rumah kakakku Kang Ibun.Kasihan juga tukang becak tersebut demi menghidupi keluarganya ia rela membanting tulang ke aspal keras-keras.Padahal untuk seukuran dia pekerjaan yang cocok adalah beribadah dan dilayani putra dan putrinya karena memang usianya kurang lebih 60 tahun.Pelajaran berikutnya teman jika kau tak ingin hidup susah maka bekerjalah dengan keras dan cerdas serta jangan malas seperti pengemis2 bohongan yang tak tahu malu itu serta jangan jadi tukang becak karena berat mengayuhnya.Dan juga harus rajin belajar untuk meningkatkan diri en then jangan lupa berdoa pada Allah yang maha Kuasa.

Semakin dekat dengan rumah kakakku aku semakin gugup.Ingin rasanya aku balik ke Jakarta disebabkan rasa malu-ku yang tak terkira.Tapi kakakku Mbak Buroh menasihatiku untuk tidak usah malu dan nanti di sana aku harus segera meminta maaf pada kakakku Kang Ibun karena telah merepotkannya.Karena aku, Kang Ibun tak jualan tempe selama 3 hari yang berarti kerugian pasti dialaminya.Bagitu turun dari becak Mbak Burh membayar tukang penarik dan penggenjot pedal becak Rp 6000,-”Terimakasih Bu semoga Allah menjadikan kalian keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah, AMIN” kata Tukang becak tadi yang mengira kami adalah sepasang suami istri.Aku tersenyum mendengar ucapan tadi.

Kuberjalan pelan-pelan menuju halaman rumah kakakku, dengan langkah pasti dan penuh keberanian untuk bertanggung jawab atas tingkahku yang tak terpuji seminggu yang lalu. Kuketuk pintu rumah Kang Ibun.
“Assalamu ’alaikum………” ucapku sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikum salam…” terdengar jawaban dari dalam rumah.
Pintu terbuka pelan seolah pelan sekali, begitu tampak badan Kang Ibun langsung kupeluk tubuh Kang Ibun yang terbuka dadanya karena sedang membuat tempe.Rasa haru dan tangis menyelimuti suasana pertemuan itu.Seperti kami tak pernah bertemu sekian tahun akibat menahan rasa rindu dan kangen.Semua terjadi karena ikatan batin antara kami sebagai adik dan kakak kandung.Aku minta pamit untuk mandi dulu, padahal sebenarnya aku ingin menghapus air mata ini yang begitu sembab menempel di wajah luguku.

Setelah sholat maghrib kakakku menginterogasiku seperti detektif menginterogasi penjahat.Kujawab dengan sedikit kebohongan disana dan disini.Tidak seperti yang kuceritakan padamu diawal buku ini kawan.Ingat bunyi benakku tadi kan”Aku akan berusaha menjawab dengan jawaban yang menenangkan.Beginilah dialog yang terjadi antara aku dan Kang Ibun.

“Sebenere kowe lungo kerono moro2 pingin lungo utawa wis direncanake, Sir” satu pertanyaan muncul dari Kang Ibun.
“Yo aku pingin lungo ndadak bae Kang ra pernah direncanake ” jawabku
“Lha kowe minggat kuwi reng Jakarta nggo liburan opo kanggo liyane? ”
“Ah yo pingin liburan bae Kang kan mumpung isih bar tes semesteran ”
Lagi-lagi aku menghindar dengan alasan ingin sholat isya sehabis itu aku pingin ke tempat Mbak Mudrikah (kakak pertamaku).

Setelah sholat Isya dan makan malam aku silaturrahmi ke rumah Mbak Mud, di sana aku main bareng keponakanku.Pukul 21.00 wib Dias keponakanku dari Kang Ibun memanggilku agar aku segera balik ke Plarangan.Mbak Mudrikah tinggal di desa Candi yang bersebelahan dengan Kel.Plarangan tapi tetap dalam satu kecamatan yaitu Karanganyar, Kebumen.Kuikuti Dias dari belakang.Ia sampai lebih dulu karena menggunakan sepeda.Sedang aku belakangan karena jalan kaki.Aku masuk rumah dengan tenang sambil menggendong Alfi adiknya Dias yang masih berusia 2 tahun.Begitu masuk rumah aku langsung dipeluk Ibuku.

“Ngapuntene kulo yo Mak ” sambil terisak kuberusaha mengucapkan kata itu.
“Sing wis kliwat yo ra usah dipikirke, sing penting saiki kan wis ketemu lan ojo lungo ra pamit malih yo ” Ibuku juga tak sanggup menyembunyikan tangisan nya.

“RABBIGHFIRLII WALI WAALIDAYYA WARHAMHUMAA KAMAA RABBAYAANII SAGHIIROO” ( Ya Allah ampunilah dosa kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu kecil )

Gubuk Warudoyong, Jatinegara, Cakung, Jakarta,Januari 2008

Ibnu Thoha“ si Badung “

No comments:

Post a Comment

Sahabat katakan sesuatu untuk dasir..perkataanmu kan memotivasiku untuk terus berkarya...

Related Post

Related Posts with Thumbnails