Showing posts with label Kisah. Show all posts
Showing posts with label Kisah. Show all posts

Thursday, July 30, 2009

Mutiara di Ujung Pelupuk Mata

Lanjutan kisah yang sebelumnya....Jika belum baca yang kemarin bisa dilihat di arsip....
Pukul 08.30 wib, Ainah gelisah, suaminya belum juga pulang. Padahal waktu yang harus ditempuh dari rumah ke poliklinik ± 30 menit. Biasanya mereka bahkan berangkat lebih pagi supaya tidak buru-buru di jalannya.
“Nggrengngng....nggrengng......BIP..bip..

Bunyi motor suaminya pulang pukul 08.33 wib. Lewat beberapa menit dari jam yang dijanjikan.
“Kenapa lama suamiku?” tanya Ainah.
“Tadi pukul 8 daganganku belum habis, jadi aku keliling-keliling dulu. Dan di perjalanan aku malah menyenggol bapak-bapak yang sedang naik sepeda. Jadi kuurus dulu beliau, tapi alhamdulillah cuma lecet-lecet dan tak perlu kubawa ke Rumah Sakit dan

kukasih uang Rp 30.000,- untuk berobat. Alhamdulillahnya dia menerima. Dan sekarang uang keuntungan dagangan buat periksa kamu berkurang Rp 30.000,- sedang keuntungan kita hari ini hanya tingggal Rp 10.000,-. Kau coba pinjam uang dulu sama tetangga sambil aku ganti baju! Selain itu tadi aku nabrak ayam bapak-bapak. Sudah kuganti dengan ayam yang tadi kubeli di pasar!!” Qorob menjelaskan dengan nada tegas.
“Ya begitulah orang Indonesia sudah kehilangan uang Rp 30.000,- masih bilang alkhamdulillah!” gerutu Ainah.
“Ya daripada kehilangan ratusan ribu untuk sidang atau berobat ke Rumah Sakit, kan mending ha-nya Rp 30.000,-. Soalnya tadi sempet dilihat Polisi. Sudah cepat berangkat pinjam uang, kita sudah terlambat nih!!!” gertak Qorob.
“Mus, tolong turunin keranjang dari motor, cepat!!! Soalnya mau aku pakai buat periksa Mbak Ainah,” perintah Qorob pada karyawannya.
“Ya Mas!”
Sepeda motor HONDA Supra X second 6 bulan yang merupakan generasi SUPRA series keluaran tahun 2002 itu meluncur ke Poliklinik dengan kecepatannya 50 km/jam. 30 menit kemudian mereka sampai di Poliklinik. Ketika sampai di sana, dr. Pandopotan Batubara sudah bersiap-siap berangkat ke tempat praktek yang lain. Sambil membuka helm, ia menyapa dokter.
“Maaf Dok, kami terlambat!”
“Tak apa-apa, syukur kalian terlambat tidak lebih dari 5 menit. Coba kalian datang 1 menit lagi, pasti aku sudah tak ada di sini. Ainah, mari masuk! Akan kuperiksa janinmu!”
Diperiksanya kandungan Ainah oleh dr. Pandopotan Batubara dengan bulatan seperti pesawat UFO yang terhubung dengan kabel yang dicolokkan ke kedua lubang telinga dokter alias STETOSKOP. Ia mengecek detak jantung Ainah dan bayinya. Tak lupa tekanan darah juga dicek serta di USGnya janin untuk mengetahui perkembangan fisik janin. Sebelumnya berat badan Ainah juga ditimbang. Setelah pemeriksaan selesai, Qorob diminta masuk ke ruangan untuk diberitahukan perkembangan janin anaknya.
“Pak Qorob dan Bu Ainah, kandungannya ini agak terganggu. Posisinya bisa sungsang kalau tidak segera dikembalikan. Mungkin ini akibat tegesa-gesa waktu ke sini. Nanti untuk pemeriksaan berikutnya kalau bisa jangan buru-buru seperti tadi. Agar janin tidak mengalami gangguan yang berarti. Untuk mengembalikan posisi janin, Bu Ainah bisa lebih sering melakukan olah raga, tapi sebenarnya ada cara yang lebih terbukti dapat mengembalikan posisi bayi yang sungsang dan ini sesuai dengan agama Mbak Ainah yaitu sholat, khususnya pada saat sujud. Kalau bisa saya sarankan Mbak Ainah sering melakukan sholat yang malam-malam itu yang katanya dianjurkan untuk sujud lebih lama. Tapi aku lupa apa nama sholat itu. Apa ya namanya? Kalau tidak salah namanya sholat...........sholat......!”
Sholat Tahajud, Dok!”
“Iya betul, maaf aku bukan seorang muslim jadi kurang tahu,” kata dokter Pandopotan
“Tak apa-apa dok!”
“Ya di samping itu jangan lupa obatnya diminum bareng vitamin untuk janin serta jangan terlalu capek ya, untuk porsi makannya dipertahankan karena pertambahan berat badan janin sangat ba-gus. Pasti makannya yang bervitamin ya Bu? Itu bagus seperti sayuran hijau dan buah-buahan daging dan telur ayam itu bagus lho Bu, termasuk ikan laut kalau bisa dikonsumsi juga ya Bu!!” nasihat dokter yang bergaya flamboyan itu yang kurang lebih usianya 55 tahun. Dengan rambut putih yang tinggal sepertiga di kepalanya. Mungkin akibat sering berpikir waktu kuliahnya dulu.
“Ya dok, terima kasih atas nasihatnya. Oh ya dok, ini uang berobat hari ini!”
“Terima kasih Pak Qorob! Maaf aku tak bisa berlama-lama, karena harus memeriksa pasien yang lain di tempat praktekku di Kutowinangun.”
“Sama-sama Dok, kami juga berterima kasih atas kesediaan Dokter menunggu kami yang datang terlambat walaupun hanya 5 menit. Mari Dok, kami permisi. Selamat siang!!”
“Selamat siang juga, Pak!”
Seusai pemeriksaan, Ainah dan Qorob pulang dengan santai dan tenang serta tidak terbu-ru-buru. Karena untuk menjaga kondisi janin dalam kandungan Ainah. Sambil mengendarai Supra X-nya ia menyusuri jalanan aspal Prembun yang mulai memanas karena tersengat matahari. Pa-nasnya terasa di kepala. Alhamdulillah mereka pakai helm dan jaket sehingga kulit kepala dan tangan terlindung dari pembakaran sinar ultra violet yang mulai menerobos dengan leluasa ke lapisan atmosfer bumi karena makin melebarnya lubang ozon akibat pemanasan global dan gas rumah kaca. Itu juga tak terlepas dari makin bertambahnya kendaraan sepeda motor dan mobil. Untungnya motor 4 langkah (tak) Honda Supra X yang dipakai Qorob telah berstandard internasional yang ramah lingkungan dan minim polusi. Sebenarnya sih asapnya tetap menimbulkan polusi namun di bawah angka yang berbahaya. Itulah salah satu keunggulan motor honda yang memelopori sepedar motor 4 tak di Indonesia sebelum pabrikan yang lain menirunya. Motor Supra X inilah yang berjasa dalam menemani perjuangan Qorob berdagang tempe. Naik gunung setiap pagi dan siangnya turun gunung setelah dagangannya habis. Setiap hari ia jalani kegiatan itu, sehingga kegiatan naik turun gunung itu seolah menjadi ujian bagi ketahanan fisiknya dan ketangguhan bagi sepeda motor pabrikan Jepang yang telah berproduksi di Indonesia semenjak tahun 1971 tersebut. Walaupun sebenarnya bisa dikatakan motor itu sudah tak lagi di produksi oleh Jepang. Apa sebab? Sebabnya karena semua kegiatan produksi mulai dari manufacturing atau pembuatan cetakannya baik cetakan cover-cover plastiknya maupun cover-cover mesinnya serta bagian-bagiannya hingga perakitannya yang memang dari dulu dilakukan di Indonesia. Atau spare part-spare partnya juga diproduksi di Indonesia. Seperti shockbacker, kanvas rem, lampu, rantai, spion, speedometer, sticker ataupun yang lainnya sebenarnya sudah diproduksi di Indonesia namun tetap dengan standar Jepang dan standar ukuran Internasional. Sehingga tetaplah produk-produk Honda adalah produk-produk unggulan dan berkualitas dan ditahun 2007 bulan November tanggal 30 terbukti Honda mampu berproduksi yang ke 20 juta.
Selain naik gunung dan turun gunung, jalanan yang dilalui untuk berdagang juga tak mulus. Penuh bebatuan dan kerikil serta kadang-kadang berlumpur seperti arena off-road. Tak cukup jalanan jelek dan pegunungan yang menjadi ujian bagi sepeda motor berbahan bakar bensin itu saja, bahkan beban dagangan Qorob setiap hari seberat 80 kg pun menjadi makanan ujian ketahanan frame Supra X berstripping kuning itu. Andaikan frame motor tersebut tak cukup kuat pastilah motor tersebut tak akan bertahan hingga sekarang. Seperti motornya yang dulu ia pakai. Tadinya ia memang cukup puas dengan motor yang sama-sama pabrikan Jepang tersebut. Kepuasan tersebut ia dapatkan karena kecepatannya dan framenya juga cukup kuat. Sehingga ia bisa cepat sampai ke pasar. Namun seiring bertambahnya barang dagangannya dan kurang bersahabatnya motor tesebut dengan kantong uang untuk membeli bahan bakar minyak premium bagi sepeda motor tersebut akhirnya ia memutuskan beralih ke motor yang lebih bersahabat dengan kantongnya dan motor yang lebih tinggi karena motornya yang dulu begitu imut yang terkesan lebih cocok untuk pacaran saja daripada untuk berdagang. Memang dulu ia berdagang dengan peti kayu untuk membawa tempe yang ia ikat di jok belakang. Tapi itu sewaktu dagangannya bisa dibawa dengan peti atau hanya 40 kg. Sekarang daganganya 80 kg.
Sesampainya di rumah Ainah langsung istirahat. Sebelumnya ia sholat dhuhur terlebih dulu. Tak lupa ia berdoa untuk kesehatan janinnya dan kelancaran dagang suaminya. Rasa pegal di sekujur badan karena duduk di atas Supra X sambil menahan perutnya yang makin membesar, ia coba hilangkan dengan berbaring di atas kasur pegas di kamarnya. Sedangkan Qorob belum bisa langsung istirahat karena harus membantu karyawannya membungkus kedelai yang akan dijual 2 hari berikutnya ke dalam kantong plastik dan daun pisang.
Waktu terus berjalan, derita dan manisnya mengandung bayi yang Ainah dapatkan di hadapinya dengan sabar dan tabah serta tidak banyak mengeluh. Sedangkan Qorob, selalu menghibur dan melayani sang istri yang bisa dikatakan pesakitan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Ia pun menghibur dirinya sendiri dengan bersilaturrahmi ke rumah kakaknya di Karanganyar 50 km dari Prembun. Tapi masih dalam lingkup kabupaten Kebumen. Kepada kakaknya ia mencurahkan segala kesedihan dan penderitaan serta pengalaman hidupnya. Kadang ia meminjam uang Rp 500.000,- untuk biaya pemeriksaan karena dagangannya yang tidak habis. Tentunya setelah berembug dan meminta izin kepada istrinya yang begitu pengertian dan tidak cerewet. Itu dilakukan untuk menjaga rasa saling percaya diantara pasangan muda itu.

(Maaf sobat)Aku belum ingin cerita ini selesai jadi mohon besok ke sini lagi, tenang gratis kok, paling bayar buat ngenetnya doank hehehehe....salam sayang, hangat, cinta damai, senyum.....

Wednesday, July 29, 2009

Mutiara di Ujung Pelupuk Mata

Ini adalah sambungan kisah kemarin........
Pukul 09.30 dagangannya telah habis terjual, ia langsung meluncur ke rumah untuk melihat keadaan istrinya. Sesampai di rumah istrinya sedang menyantap sepiring nasi yang diambilkan karyawannya, melihat istrinya sudah bisa tertawa ia langsung ke belakang untuk memecah kedelai yang telah direbus hingga matang dan telah direndam sehari semalam dengan mesin pemecah kedelai. Pukul 12.00 kedelai siap di bungkus. Ia dan karyawannya makan siang dulu sambil istirahat. Sholat dhuhur dikerjakannya terlebih dahulu.

Pada pukul 13.00 wib mulailah kedelai yang telah ditaburi ragi tempe sebelumnya melompat-lompat ke kantong plastik melalui jembatan tangan karyawannya yang bernama Mustofa. Ukuran kantong palstik itu adalah ¼ kg. Di samping tempe plastik juga ada tempe bungkus daun pisang. Sedang Qorob pergi ke pasar membawa Supra X-nya untuk meminta hasil penjualan Simbok. Tak kurang dari 1 jam hingga ashar menjelang ia baru sampai di rumah dengan membawa keuntungan hasil jualan hari ini. Alhamdulillah dagangannya hari ini laku berat. Air wudlu diambilnya sebelum melaksanakan shalat ashar. Ia sholat dengan khusu’. Dalam doa setelah sholat fardlu ia memohon kepada Allah supaya diberikan kesembuhan untuk istrinya kesembuhan yang tak berbekas, ia juga tak lupa berdoa supaya diberikan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup yang berat ini. Selain itu ia juga memohon agar dagangannya laris dan berkah sehingga bisa membiayai pengobatan istrinya untuk menjaga kesehatan sang kecil sampai kelahirannya. Selain itu fisik Ainah belum bisa digerak-gerakan dengan leluasa dalam waktu ½ bulan ini akibat ia terjatuh di toilet.
Disapanya istrinya yang tiduran di tempat tidur, ia mencoba menghibur dengan guyonan yang tak lucu. Alhamdulillah terjadi kemajuan dalam 10 hari ini, ia sudah bisa jalan walaupun hanya untuk ke toilet. Tapi untuk yang lebih berat seperti mencuci ia belum bisa. Dan lebih alhamdulillah lagi si janin tak merepotkan ibu dan ayahnya. Buktinya, Ainah tak mengidam macam-macam. Tak rewel dan mudah makannya walaupun yang diberikan hanya sayur asem dan tempe goreng dengan nasi liwet yang dimasak Mustofa. Meskipun biasanya wanita jika usia kandungannya berkisar antara 0-2 bulan sering mengidam. Seolah si janin tahu kesibukan ayahnya dan derita sakit yang menimpa ibunya.
Senin ini ia harus memeriksakan kandungan istrinya yang ke-12 kalinya. Pagi-pagi jam 5 ia mulai merapikan si persegi panjang yang dibungkus plastik dan daun pisang berisi kedelai matang bercampur ragi yang diselimuti jamur putih merata alias tempe ke dalam karung. Ia dibantu Mustofa. Buru-buru ia membawa tempe ke Pasar Kutowinangun dengan sepeda motor Supra X. Seperti biasa dagangan itu akan diserahkan kepada Simbok, sampai di sana ia langsung pamit pada Simbok karena harus segera mengedarkan dagangannya yang di rumah. Dan setelah itu ia harus mengantarkan Ainah periksa pukul 9 ke poliklinik. Pukul 6 Qorob telah sampai di rumah, dagangannya sudah siap untuk diedarkan karena sudah ditata Mustofa. Di jalan raya yang tak macet dalam mengedarkan tempe ia melihat seorang bapak-bapak bergaya flamboyan mengen-darai sepeda dengan santainya di sebelah kiri jalan raya. Entah kenapa di Indonesia yang katanya mayoritas masyarakatnya adalah muslim tapi jalannya di sebelah kiri, sedangkan di Inggris penduduknya yang sebagian besar beragama Kristen malah jalannya di sebelah kanan. Padahal Rasulullah Muhammad SAW lebih menekankan kepada kita dalam melakukan sesuatu khususnya yang baik-baik dengan yang kanan atau mendahulukan sebelah kanan daripada sebelah kiri. Contohnya wudlu dimulai dari tangan kanan kemudian baru tangan kiri. Atau perintah makan menggunakan tangan kanan. Contoh lainnya adalah tangan kanan digunakan untuk memberikan sesuatu atau hadiah kepada teman atau orang lain, sedangkan untuk yang kurang baik dengan tangan kiri. Contohnya ketika buang air besar ataupun kecil digunakan tangan kiri untuk membersihkannya. Sejarah mencatat pada masa penjajahan Inggris di Indonesia seorang Jenderal bernama Jenderal Raflesia Arnoldi memberlakukan peraturan tersebut. Begitu yang tercatat dalam buku sejarah bangsa.
Ia bertanya dalam benaknya, “ Bapak-bapak itu kok bisa nyantai seperti itu, sedang aku begitu ke-repotan, untuk calon anak pertamaku saja aku sudah dibikin repot seperti ini, bagaimana jika 2, 3 atau 11. Wah tak terbayangkan beratnya.” Tiba-tiba. “Glubraakkk...!!”
“Maaf pak, saya tidak sengaja. Saya tadi melamun, Bapak tidak apa-apa kan?” tanyanya. Bapak-bapak tadi yang sedang dipikirkannya sekarang ada di depannya dalam keadaam tersungkur. Karena keseng-gol keranjang tempenya sebelah kiri.
“Ah saya tidak apa-apa mas, hanya lecet-lecet sedikit.”
“Maaf ya pak, ini sekedar buat beli perban dan berobat (uang Rp. 30.000 disodorkan). Lagi pula saya buru-buru. Karena harus mengantarkan istri saya berobat jam 08.30, sedangkan sudah jam 8 begini dagangan saya belum laku semua.”
“Terima kasih mas, semoga istri mas lekas sembuh.”
“Sama-sama Pak. Saya juga mohon maaf atas kejadian ini. Assalamu’alaikum....!“
ﭿ
“Awasssss pak!! Keyok..keyok...keyokkk!!”
Belum sempet ia menenangkan diri dari suasana tabrakan dengan bapak-bapak. Seekor ayam menjerit karena kelindas ban depab motor Qorob.
“Pak, maaf pak!” mohon Qorob pada Bapak pemilik ayam yang berteriak tadi.
“Pokoknya ganti kalau ingin aku maafkan!!”
“Iya aku ganti, ini ayam tadi habis beli di pasar tapi betina, bagaimana pak?”
“Aku terima, tapi maafku tak akan pernah kau dapatkan!” jawabnya ketus sambil menyambar seekor ayam betina yang disodorkan Qorob.
“Permisi Pak! Assalamu ‘alaikum!”
“Wa’alaikum salam!!!” jawabnya dengan nada keras.
Dan sampai sekarang Bapak itu tak pernah memaafkan kami meskipun sewaktu mereka mengadakan hajatan kami datang. Wajahnya tetap ketus.
Bersambung Esok hari
masih di blognya moeddasier tentunya.................

Tuesday, July 28, 2009

Mutiara di Ujung Pelupuk Mata

Sesampainya di rumah mulailah ia berpikir dengan lebih matang. Dihitung-hitungnya mulai dari pos modal pembelian kedelai, tabungan di bank, pengeluaran makan sehari-hari, biaya operasional pembuatan tempe seperti plastik, minyak tanah untuk merebus, ragi, transportasi atau uang bensin, uang untuk orang tua, biaya pengobatan selama sebulan, upah karyawan, kontrak rumah, mudik setiap bulan ke Pemalang, dan biaya-biaya yang lain. Setelah dihitung masak-masak akhirnya ia mulai memutuskan untuk mengurangi pos-pos yang kurang penting seperti mudik ke Pemalang setiap bulan ia rubah ke Iedul Fithri saja. Ia juga meminta maaf pada orang tuanya karena

tak bisa mengirimkan uang setiap bulan lagi dengan kondisi seperti itu dan memohon doanya supaya kandungan istrinya sehat dan tidak terjadi apa-apa hingga melahirkan dengan selamat serta mohon doanya agar diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan dan ujian ini dan juga dagangannya laris manis tanjung kimpul (dagangan habis duit kumpul). Ayahnya di Pemalang pun mengerti keadaan anaknya itu. Ia berjanji akan mendoakan Qorob dan istrinya, Ainah. Senin dan kamis ia rencanakan untuk puasa meskipun harus bercapek ria. Yang jadi masalah adalah saat pemeriksaan karena pada jam 9 pagi dagangannya belum habis. Untuk itu ia pasrahkan dagangannya pada Simbok di Pasar meskipun dengan perjanjian ada upah bagi Simbok jika dagangannya laris. Semua dilakukan dengan harapan Si jabang bayi selalu dalam keadaan sehat begitu juga ibunya yang sering sakit-sakitan.
“Maaasss, tolooooonnnng.....tolong akuuuu.....!!!!!”
Jam 10 malam hari rabu Ainah berteriak. Ia terjatuh di lantai toilet ketika hendak buang air kecil.
“Ya Allah.. Ya Rabbi.. cobaan apalagi ini Ya Allah?” teriak Qorob kaget ketika melihat istrinya Ainah terduduk di lantai WC.
“Ayo Dik bangun pelan-pelan!” pinta Qorob.
“Sakit Mas, pinggangku sakit.....aku tak bisa berdiri...!” jawab Ainah.
“Allahu Akbar....!” teriak Qorob sambil menahan air matanya yang mau jatuh dari sudut matanya.
Dibopongnya Ainah ke tempat tidur untuk direbahkan setelah sebelumnya dibasuh dengan air bersih. Dipanggilnya dokter terdekat untuk memeriksa Ainah. Begitu dokter datang ia diminta langsung ke kamar oleh Qorob untuk memeriksa Ainah beserta kandungannya. Selang 10 menit dokter keluar dari kamar.
“Pak, istri bapak tidak apa-apa hanya pinggangnya keseleo.”
“Kandungan istri saya bagaimana Dok?” tanya Qorob.
“Kandungan Bu Ainah alhamdulillah tidak apa-apa, syukur tidak terjadi keguguran. Mungkin waktu terjatuh benturannya tidak keras. Dan kelihatannya kandungan Bu Ainah lemah ya Pak, sebenar-nya usia kehamilannya sudah berapa bulan Pak?” tanya dokter wanita yang bernama Az Zahra. “Tiga bulan, Dok! Kandungannya memang lemah kata Dokter Pandopotan Batubara. Bahkan kami harus memeriksakannya setiap minggu 2 kali yaitu setiap hari senin dan hari rabu.” jawab Qorob
“Berarti tadi siang baru periksa dong?”
“Betul dok, dan obatnya juga baru tadi sebelum istirahat diminum istri saya.”
“Alhamdulillah mungkin obatnya telah bereaksi sehingga sewaktu terjatuh kandungan Bu Ainah bi-sa dikatakan dalam keadaan kuat, sehingga terselamatkan dari keguguran.”
“Mungkin, Dok. Oh ya berapa dok biayanya?”
“Rp 50.000,- Pak!”
“Ini Dok! Terima kasih dok, maaf telah mengganggu istirahat Dokter!”
“Terima kasih juga, ah tidak apa-apa. Sudah menjadi kewajiban saya untuk melaksanakan tugas melayani pasien dan sebagai hamba Allah untuk saling tolong-menolong, bukan begitu Pak?”
“Betul dok!”
“Ya sudah Pak Qorob saya pamit dulu karena hari telah larut, nanti kalau mau diurut omongin tukang urutnya supaya hati-hati. Sabar ya Pak, aku doakan semoga Bu Ainah lekas sembuh dan diberikan kesehatan hingga melahirkan. Amin.”
“Mari Pak.....! Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.....”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh....”
“Ya Allah berikan kekuatan dan kesabaran pada hati hambamu ini dalam menghadapi segala ujian yang Engkau datangkan pada kami. Sesungguhnya Engkau telah berjanji bahwa Engkau hanya akan menguji hamba sesuai dengan kemampuan hamba,” lirihnya dalam hati Qorob. Istrinya telah tertidur pulas. Ia sendiri coba merebahkan badannya di samping istrinya, ia ingin istirahat dulu sebelum nanti jam 2 pagi bangun untuk menusuk-nusuk tempe yang hampir jadi dan hampir penuh oleh jamur agar tak berkeringat. Jam 2 ia bangun setelah mendengar alarm berdering. Sambil mengucek-ngucek mata ia menusuk tempe satu per satu hingga kelar pukul 3 pagi. Ia kembali ke tempat tidur untuk istirahat. Begitu jam 5 ia bangun, setelah sholat subuh ia dibantu seorang karyawannya menata tempe ke dalam keranjang yang akan diantar ke pasar. Sekarang kesibukannya bertambah dari biasanya. Ia kembali ke masa bujangan, di mana ia harus mencuci baju sendiri karena Ainah belum bisa banyak bergerak. Sebelum berangkat berdagang ia menanak nasi terlebih dahulu sedang lauknya ia beli di warung sebelah. Pukul 05.30 wib ia berangkat ke pasar mengantarkan tempe pesanan yang tadi ditata kepada Simbok. Setelah itu ia langsung balik, kurang lebih jam 06.30 ia sampai di rumah. Tempe yang lain telah ditata ke dalam karung untuk diedarkan sendiri oleh Qorob ke perkampungan dan warung-warung di Prembun dan Kuto-winangun.

Monday, July 27, 2009

Mutiara di Ujung Pelupuk Mata

Wajahnya tampak murung dan sendu begitu keluar dari poliklinik Spesialis Kandungan dr.Pandopotan Batubara di Prembun, Kebumen, Jawa Tengah. Tepatnya ± 10 km dari terminal Kebumen yang baru untuk arah timur dan 5 km dari Pantai selatan Jawa. Ia divonis ‘Lemah Kandungan’. Padahal usia kehamilannya baru jalan 2 bulan.
“Suamiku Qorob..., kandungan istrimu ‘Ainah’ ini lemah, aku takut jika nanti terjadi sesuatu.”
“Iya istriku.., tenangkan dirimu, Istriku! Semua sudah diatur sama Allah, jika terjadi sesuatu itu adalah takdir yang Allah tentukan bagi kita.” kata Qorob suaminya menenangkan dan menabahkan istrinya yang gundah. Padahal dalam hatinya ia juga khawatir. Bagaimana tidak khawatir?

Setiap 2 minggu sekali istrinya harus memeriksakan kandungannya. Yaitu setiap hari Senin pukul 9 pagi dan setiap Rabu pukul 12.30 tepat tidak boleh lebih. Kalau kurang tidak apa-apa. Kata dokter biaya pemeriksaan yang harus dikeluarkan setiap kali periksa adalah kurang lebih Rp 250.000,-. Dan pemeriksaan terhadap kandungan akan dihentikan jika si janin sudah kuat untuk tidak mendapatkan vitamin dan antibiotik dari dokter. Dan jangka waktu itu berkisar antara usia 5 hingga 7 bulan.
Sedangkan Qorob sendiri hanyalah seorang pedagang tempe yang hari senin dan hari rabu adalah hari pasarannya artinya saat itu dagangannya sedang laku-lakunya. Ia harus memilih, apa-kah untuk memeriksakan kandungan istrinya atau tetap berdagang? Bagaimanapun untuk meme-riksakan kandungan istrinya paling tidak ia harus menyediakan uang sebesar Rp 250.000,- dan uang itu akan ada jika dia berdagang. Dengan perhitungan setiap hari keuntungan yang ia peroleh dari penjualan tempenya sebesar Rp 40.000,- sekali dagang. Berarti selama seminggu ia hanya bisa mengumpulkan uang sebanyak Rp 280.000,- itu artinya hanya bisa digunakan untuk sekali periksa. Itupun dengan asumsi dagangannya habis terjual, kalau tidak laku dari mana ia bisa mengumpulkan uang. Dan uang yang buat periksa bagian keduanya dari mana? Dan kekurangan itu berarti akan mengurangi pos belanja seminggu. Dalam perjalanan pulang di atas sepeda motor Supra X-nya ia berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang itu. “Ah semua kuserahkan pada Allah saja,” gumamnya dalam hati.
BERSAMBUNG

Wednesday, July 22, 2009

JUAL SEPATU KING DAN CHEETAH MURAH HARGA PABRIK

Tak usah curiga atau berprasangka dulu sobat. Meskipun tadinya aku berniat seperti itu. Cerita berawal dari berselancar didunia maya. Awalnya aku hanya ingin tahu berapa harga sepatu merek King dan Cheetah. Aku masukan di mesin pencari google dengan keyword 'Harga Sepatu Cheetah'. Aku ingin tahu harganya karena setiap tahun aku mendapatkan sepasang sepatu safety King atau Cheetah. Dan sisa sepatu 2 tahun belakang belum aku gunakan, karena memang sepatuku yang kedua belum rusak betul.

Ternyata pas klik hasil pencarian google aku dibawanya masuk di web sebar iklan gratis. Aku penasaran apakah benar iklan yang kita pasang akan cepat menyebar. Karena diweb ini iklan kita dijanjikan dilink ke lebih dari 20 web iklan yang lain. Akupun iseng memasang iklan sepatu kingku dengan tulisan seperti judul di atas.
Hari telah terang. Tapi mataku masih berat untuk dibuka. Akupun kembali ke alam mimpi.
Beberapa menit kemudian telepon berdering. Telepon!
Hape kali. Terdengar suara bapak2 diseberang sana.
'Halo!'bapak.
'ya hallo!'jawabku.
'Apa ini dengan Pak Muddasir?'
'Ya, ada apa pak? Maaf ini dengan siapa?'sahutku.
'Dengan Pak Agus, begini pak..bla..bla..'
Ia mengaku bernama pak Agus, berasal dari Kebayoran. Ia telah membaca iklan isengku di internet. Dan bermaksud membeli sepatu safety merek King untuk satpam dikantornya. Ia langsung memesan 500 pasang.
Aku kaget. Apa yang harus kulakukan..
'Oh ya pak, sebentar aku tanya dulu ke bagian marketing. Nanti aku kasih kabar 1 jam lagi.'kilahku.
Aku telah berbohong kepada pak Agus dengan mengaku sebagai bagian office dari perusahaan sepatu. Selama satu jam aku browsing di Internet mencari toko sepatu yang bisa membantuku. Karena aku hanya punya 2 pasang dan itupun bukan tipe yang dicari pak Agus. Dua toko aku hubungi dengan pulsa mepet aku memburu-buru Pak Herman toko yang aku harapkan bisa membantuku menyediakan sepatu untuk Pak Agus. Sambil menego supaya tentu aku juga ambil untung sebagai makelar *huuuu..*
Ternyata pak herman tak bisa memberikan harga yang sesuai dengan permintaan pak agus.
'Huh capek!'keluhku.
'Apa kita jujur aja ya By pada pak Agus kalau kita bukan pengusaha sepatu king?'tanyaku pada teman sekosan.
'Kita tunggu kabar dari Pak Herman apa dia bisa kasih harga yang lebih rendah?'pinta temenku.
Adzan dhuhur berkumandang. Aku dan temanku masih bingung. Kami berteriak bersama,'MARKETING T@1 KEBO!!' sambil menirukan gaya Pak Tung, Sang Marketing Revolutioner.
Sambil menuju masjid untuk kami terus membahas kejadian ini bersama temanku yang lain.
Akhirnya sore pukul 17.00 setelah pak herman memberikan penawaran terakhir dan Pak Agus tidak mau akupun berkata jujur dan meminta maaf kepada pak Agus. Dan diapun telah memaafkanku.
'Sekali maafkan saya ya pak agus'
Bagaimana kisah kalian berhubungan dengan kejadian-kejadian seperti diatas?
Ku tunggu ya..

Friday, July 17, 2009

Ledakan JW marriot

Tadi pagi Jumat,17 Juli 09 terjadi ledakan di JW MARRIOT dan RITZ CHARTON pukul 7.15 WIB. Belum ada keterangan pasti apa penyebab ledakan itu. Kedua hotel itu adalah kepunyaan Bill Marriot juga pernah meledak di Islamabad. Kapolri Bambang Hendarso, Fauzi Bowo, Menko Polhukam Widodo As. datang meninjau. Korban luka JW MARRIOT:29 orang dan Ritz Charlton:11 orang. Wah MU jadi datang g ya ke Indonesia gara-gara ledakan di Mega Kuningan?

Thursday, July 02, 2009

FUTSAL

Hampir semua remaja indonesia mengenal futsal. begitu pula aku. Dan kemaren hari rabu, 1 juli 09 aku dan kawan2 (seksi edm 1) bertanding melawan psp 1 dlm Futsal DMD CUP babak penyisihan grup. Jika dalam pertandingan ini kami kalah lagi atau seri maka tamatlah perjuangan kami. Apa sebab, sebab pada pertandingan sebelumnya kami kalah 2-0 melawan OB. Didalam satu grup terdapat 3 tim, dan yang berhak melangkah ke babak berikutnya hanya juara dan runner up grup. Sedangkan psp 1 baru bertanding sekali sedang kami 2 kali. Alhamdulillahnya dengan perjuangan keras 2x20 menit akhirnya kami bisa memenangkan pertandingan dengan skor memuaskan 10-7.Selamat buat seksi EDM 1, DAN JANGAN BERKECIL YA PSP 1!! Tetap semangat meski kalah..he..he..he..

Cara Cek Point tamabuchi untuk repair bibir tamabuchi yang nyakil

Dalam membuat mould/cetakan plastik kadang terjadi tamabuchi nyakil/nongol ketika diassy dengan pasangannya. Seperti pada plastik motor. Nah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut bibir tamabuchi cavity harus diEDM. Sebelum meng-EDM cavity bibir tamabuchi core harus dicekpoint sebagai point dalam pembuat elektroda. Berikut cara checkpoint bibir tamabuchi core dg sample cover inner :
1.Naikkan benda kerja core dengan crane ke atas meja mesin EDM
2.Dial kerataan dan kelurusan benda kerja dg toleransi 0,01 mm per 400 mm
3.Bagi 2 benda kerja dengan bola check diameter 5 atau preset point yang telah dibuat oleh seksi milling pada lubang pin refferensi ke bola check point
4.Pindahkan point pada lubang pin refferensi ke bola refferensi dia 10 yang diletakkan diatas bidang rata benda kerja
5.Gunakan jarum yang tajam untuk check point
6.Masukkan point bola reff ke jarum setelah sebelumnya bagi 2 jarum trhadap bola reff
7.Posisikan jarum didekat pl bibir tamabuchi,sentuhkan jarum dan perhatikan point sewaktu jarum menyentuh pl(parting line)
8.Angkat jarum lalu geser arah x atau y sesuai arah tamabuchi yang mau dicheck
9.Turunkan jarum sedalam 0,05 dari point jarum menyentuh PL
10.Terus sentuhkan jarum arah x atau y, catat hasil jarum yang menyentuh bibir tamabuchi
11.Check sepanjang tamabuchi yang diminta untuk dicheck dg jarak 15 mm/titik hingga selesai.
12.Serahkan hasil check point ke programmer lalu turunkan benda kerja.
Selesai, selamat mencoba

Wednesday, July 01, 2009

Sepeda Jengki Pedal 12

Pedal 12
Jamak Qashar


Kita tinggalkkan suasana di dalam bus karena di daerah Purbalingga aku mau muntah sebab tubuhku terpental-penta ke atas akibat jalanan di sana yang bergelombang dan tak rata serta ban mobil yang terlalu keras memompanya. Selain itu Si pak supir yang masih muda darahnya sedang mendidih sehingga bus berlari bak Kimi Raikonnen mengemudikan F 2007- nya dan jalan tak kenal rambu-rambu.Lampu merahpun di terobosnya.Persis seperti mafia Sisilia yang lari dari kejaran Polisi Italia bagian Palermo karena mencuri Patung Krisna dari Museum Widya Loka di Solo.
Tiba-tiba…CIIIIIIIIITTTTTTT…..

bus mendadak berhenti padahal di luar hujan deras turun tak terkira lebatnya.

Aduhai…trenyata aku telah sampai di TERMINAL PURWOKERTO. Aku belum sholat dhuhur, begitu turun dari bus langsung aku meluncur ke musholla di terminal.Jam sudah menunjukkan pukul 15.45 wib, artinya waktu ashar juga telah masuk. Kusegerakan wudluku, kujamak qashar Dhuhur dan Ashar, 2 rakaat-2 rakaat.Kuberdoa semoga hujan lekas berhenti supaya kami dapat mencari bus yang akan berangkat ke Kebumen dengan mudah.Aku juga berdoa memohon ampun atas kekhilafanku kabur dari rumah serta agar aku tak malu dan mampu menyiapkan muka dan hatiku serta jawaban yang menenangkan saat bertemu Ibu dan keluargaku nanti malam.
Sebab rencananya mereka juga akan datang menghadiri pernikahan Kang Bin dan sekalian menjemput Si badung’AKU’.

Pukul 16.00 wib kami naik bus jurusan Jogja yang melewati Karanganyar, Kebumen.AC bus tersebut begitu dingin hingga tubuhku merinding menahan dinginnya suhu di dalam bus. Ongkos bus tersebut Rp 4.000,- perorang. Kakakku membayar dengan uang sepuluh ribuan. Beberapa menit kemudian bus memberhentikan kami di Pasar Karanganyar.Aku makin gugup, jantungku berdegup kencang sekencang larinya zebra yang lari dari kejaran singa kelaparan. Darahku mengalir deras bak air terjun Tawang mangu di Solo.Kutarik napas dan kutata hatiku supaya tenang.

Becak menawarkan tumpangan, kami bilang mau ke Plarangan ( Kelurahan dimana Kang Ibun tinggal beserta keluarganya ). Kakakku menawar harga sebelum menaikinya, setelah melalui tawar menawar dengan alot akhirnya kesepakatan diperoleh dan akhirnya kami naik becak tersebut untuk menuju rumah kakakku Kang Ibun.Kasihan juga tukang becak tersebut demi menghidupi keluarganya ia rela membanting tulang ke aspal keras-keras.Padahal untuk seukuran dia pekerjaan yang cocok adalah beribadah dan dilayani putra dan putrinya karena memang usianya kurang lebih 60 tahun.Pelajaran berikutnya teman jika kau tak ingin hidup susah maka bekerjalah dengan keras dan cerdas serta jangan malas seperti pengemis2 bohongan yang tak tahu malu itu serta jangan jadi tukang becak karena berat mengayuhnya.Dan juga harus rajin belajar untuk meningkatkan diri en then jangan lupa berdoa pada Allah yang maha Kuasa.

Semakin dekat dengan rumah kakakku aku semakin gugup.Ingin rasanya aku balik ke Jakarta disebabkan rasa malu-ku yang tak terkira.Tapi kakakku Mbak Buroh menasihatiku untuk tidak usah malu dan nanti di sana aku harus segera meminta maaf pada kakakku Kang Ibun karena telah merepotkannya.Karena aku, Kang Ibun tak jualan tempe selama 3 hari yang berarti kerugian pasti dialaminya.Bagitu turun dari becak Mbak Burh membayar tukang penarik dan penggenjot pedal becak Rp 6000,-”Terimakasih Bu semoga Allah menjadikan kalian keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah, AMIN” kata Tukang becak tadi yang mengira kami adalah sepasang suami istri.Aku tersenyum mendengar ucapan tadi.

Kuberjalan pelan-pelan menuju halaman rumah kakakku, dengan langkah pasti dan penuh keberanian untuk bertanggung jawab atas tingkahku yang tak terpuji seminggu yang lalu. Kuketuk pintu rumah Kang Ibun.
“Assalamu ’alaikum………” ucapku sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikum salam…” terdengar jawaban dari dalam rumah.
Pintu terbuka pelan seolah pelan sekali, begitu tampak badan Kang Ibun langsung kupeluk tubuh Kang Ibun yang terbuka dadanya karena sedang membuat tempe.Rasa haru dan tangis menyelimuti suasana pertemuan itu.Seperti kami tak pernah bertemu sekian tahun akibat menahan rasa rindu dan kangen.Semua terjadi karena ikatan batin antara kami sebagai adik dan kakak kandung.Aku minta pamit untuk mandi dulu, padahal sebenarnya aku ingin menghapus air mata ini yang begitu sembab menempel di wajah luguku.

Setelah sholat maghrib kakakku menginterogasiku seperti detektif menginterogasi penjahat.Kujawab dengan sedikit kebohongan disana dan disini.Tidak seperti yang kuceritakan padamu diawal buku ini kawan.Ingat bunyi benakku tadi kan”Aku akan berusaha menjawab dengan jawaban yang menenangkan.Beginilah dialog yang terjadi antara aku dan Kang Ibun.

“Sebenere kowe lungo kerono moro2 pingin lungo utawa wis direncanake, Sir” satu pertanyaan muncul dari Kang Ibun.
“Yo aku pingin lungo ndadak bae Kang ra pernah direncanake ” jawabku
“Lha kowe minggat kuwi reng Jakarta nggo liburan opo kanggo liyane? ”
“Ah yo pingin liburan bae Kang kan mumpung isih bar tes semesteran ”
Lagi-lagi aku menghindar dengan alasan ingin sholat isya sehabis itu aku pingin ke tempat Mbak Mudrikah (kakak pertamaku).

Setelah sholat Isya dan makan malam aku silaturrahmi ke rumah Mbak Mud, di sana aku main bareng keponakanku.Pukul 21.00 wib Dias keponakanku dari Kang Ibun memanggilku agar aku segera balik ke Plarangan.Mbak Mudrikah tinggal di desa Candi yang bersebelahan dengan Kel.Plarangan tapi tetap dalam satu kecamatan yaitu Karanganyar, Kebumen.Kuikuti Dias dari belakang.Ia sampai lebih dulu karena menggunakan sepeda.Sedang aku belakangan karena jalan kaki.Aku masuk rumah dengan tenang sambil menggendong Alfi adiknya Dias yang masih berusia 2 tahun.Begitu masuk rumah aku langsung dipeluk Ibuku.

“Ngapuntene kulo yo Mak ” sambil terisak kuberusaha mengucapkan kata itu.
“Sing wis kliwat yo ra usah dipikirke, sing penting saiki kan wis ketemu lan ojo lungo ra pamit malih yo ” Ibuku juga tak sanggup menyembunyikan tangisan nya.

“RABBIGHFIRLII WALI WAALIDAYYA WARHAMHUMAA KAMAA RABBAYAANII SAGHIIROO” ( Ya Allah ampunilah dosa kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu kecil )

Gubuk Warudoyong, Jatinegara, Cakung, Jakarta,Januari 2008

Ibnu Thoha“ si Badung “

Tuesday, June 30, 2009

Sepeda Jengki Pedal 11

Pedal 11
Kacang Atom Garuda


Kawan karena penderitaan yang dialami kakakku semenjak balita (bawah lima belas tahun) sampai sekarang ia menjadi orang yang minder atau bahasa gaulnya rendah diri dan tak PEDE (percaya diri) bahkan untuk bertemu kambing Ayahku pun dia malu.Padahal kambing kan tak punya akal ya kawan.
Makanya begitu Kang Ibun menyuruh kakakku Mbak Buroh tuk pinjam uang ke tempat Pak Zaeni saudara sepupuku yang merupakan seorang pedagang tempe yang sukses yang tinggal di Buaran 1, Klender, Jaktim ia tidak langsung berangkat malahan bingung.Padahal Kang Ibun telah menjamin bahwa ia akan mengganti uang pinjaman sebesar Rp 100.000,- itu. Apalagi Kang Ibun telah menelepon Pak Zaeni, katanya.Uang pinjaman itu sebenarnya direncanakan untuk biaya pemulangan paket nyasar yang ia terima dan bikin repot Mbak Buroh saja, yaitu kedatangan si bungsu Mudda untuk dikembalikan ke Pekalongan.Karena Ibuku sudah tak tahan ingin bertemu si Kecil yang telah tumbuh menjadi perjaka nan lumayan handsome ini.


Allah Tuhanku ternyata lebih tahu tentang keadaan hambanya.Di saat Mbakku bingung apakah ia memang harus meminjam uang ke tempat Pak Zaeni yang kaya itu atau bagaimana, Allah mendengar desingan gurindam keluhan Mbakku.Ia kirimkan rizki tak terduga lewat seorang pengamen gadungan yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu kontrakan Mbakku, MbakSari.Kenapa kukatakan pengamen gadungan? jawabnya karena ia tak setiap hari menjadi pengamen tapi ia akan jadi pengamen jika dalam keadaan kepepet atau lagi ada mut serta jika perintah sang suami yang bekerja sebagai Penjaga dan Perawat TPU ( Tempat Pemakaman Umum ).Mbak Sari bersedia meminjamkan uang sebesar yang diharapkan kakakku yaitu Rp 100.000,-.Uang itu merupakan gaji suaminya selama sebulan.Padahal kawan kalau kau pingin tahu uang tersebut rencananya akan digunakannya untuk membayar kontrakan bulan ini serta uang makan selama 2 minggu serta jatah si Jengger, ayam jago kesayangan suaminya yang disimpan dan tidur bareng sekontrakan di kamar seukuran 2.5 x 4 m itu.Dan kawan kau juga harus tahu keikhlasan teman kakakku ini karena jatuh tempo bayar kontrakan adalah tinggal 4 hari lagi.Uang kontrakan sebesar Rp 100.000,- dibagi bareng kakakku 1/3 nya.

Untuk meyakinkan Mbak Sari kakakku bilang, ia hanya pulang mengantarkan aku dan menghadiri pernikahan kakakku yang lain ”Muqorrobin (kakak ke-6)” di Kebumen selama 3 hari.Dan pada saat hari jatuh tempo ia akan mengembalikan uang tersebut.Sebab Kang Ibun yang rizqinya alhamdulillah lancar telah menjanjikan untuk menggantinya.Teman hikmah selanjutnya dari petualangan bersepeda ke Jakarta adalah Jika Kau tinggal di Jakarta Carilah Teman yang dapat kau Pinjam uangnya disaat kau sulit dan tidak meminta / pinjam apapun disaat kau senang.

Rencananya aku akan pulang naik kereta. Transportasi yang dari dulu aku idam-idamkan untuk menaikinya.Tak lupa kukabarkan rencana ini pada Ibuku di Pekalongan.Besoknya tanggal 29 Januari 2003 tepat pukul 06.00 pagi waktu indonesia barat aku dan Mbak Buroh pergi ke Pulogadung untuk berangkat naik bus ke Kebumen.Ke Kebumen karena kami akan menghadiri pernikahan Kang Bin pada hari kamisnya tanggal 30 Januari 2003.Pulogadung merupakan salah satu terminal bus antar kota antar propinsi (AKAP) besar di bilangan Jakarta Timur.Kami ke sana naik ojek biar cepat sampai. Rencana naik kereta api untuk pertama kalinya harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan alias dibatalkan.Karena ongkos kereta api bisnis lebih mahal dari ongkos bus.Sedangkan anggaran Rp 100.000,- kami tak sanggup tuk menjangkau biaya kereta api yang per kepala dihargai Rp 65.000,- kala itu.

Bus AKAP yang kami pilih mereknya seperti toko electronik di Wiradesa ”SINAR JAYA”. Sedang jurusannya adalah PORTUGAL ” Purwokerto sebelahnya Tegal ” .Belakangan kuketahui kalau mau ke Kebumen langsung dari Jakarta harusnya naik angkutan langsung bus jurusan Jogja.Maksudnnya Jakarta-Jogjakarta yang bernama “P.O Sumber Alam”.Namun karena untuk ke Kebumen tepatnya Karanganyar Mbak Buroh kurang berpengalaman ya yang dia pilih Jurusan Jakarta-Purwokerto setelah mengorek cara pergi ke Kebumen dari teman-temannya.Sedang aku adalah seorang prajurit yang nunut 15 apa kata perintah Jenderal. Makmum yang mengikuti gerakan Imam.Dan kuli yang mau disuruh-suruh bos.Aku hanya diam 11000 kata.Karena memang aku tak tahu menahu tentang bus atau kereta yang mau berangkat dari atau balik ke Jakarta.

Dalam perjalanan Jakarta-Purwokerto silih berganti orang naik dan turun.Kukira mereka penumpang jarak dekat, ternyata bukan. Dan anehnya meskipun mereka sama-sama naik bus tapi mereka tak bayar.Heran aku kok bisa ya naik bus ga bayar.Kakakku mau naik bus harus nyari pinjaman ke temannya, seratus ribu lagi. Kan berarti mahal naik bus itu.Ini malah naik turun tidak ditarikin ongkos sama kondektur seolah merupakan cs-nya.Ternyata orang-orang tersebut adalah para pedagang asongan, pengamen, pengemis dan peminta sumbangan. Pedagang asongan menjajakan tisu, air meneral kemasan botol dan cup, rokok, permen, gorengan, donat, buku, koran, buah, lontong, handuk kecil, teh kotak, ikat pinggang atau gesper, kipas bambu, cd (compact disk kawan bukan celana dalam), topi, senter kecil, mainan anak-anak, boneka dan yang terakhir adalah ballpoint, barang yang mengingatkanku akan penghianatan sang anak pada orang tuanya. 
Mereka senang kalau ada yang membeli barang dagangannya.Tapi mereka ternyata lebih senang lagi kalau disuruh teriak-teriak.Suaranya yang nyaring seperti ember pecah yang jatuh dari atap rumahku membuat suasana bus begitu ramai tak terbayangkan dan memekakan telinga.Mereka saling bergantian berteriak, berkoar, berkokok serta mengaum atau melolong seperti serigala untuk menawarkan barang dagangannya.

“AQUA….AQUA….QUA…QUA…………………………………”
“Aqua Bu…Aqua Mas…Aqua Mbak…Aqua Pak….Cuma Rp 1500,- kok pak.”
Waktu itu harga aqua memang masih Rp 1500,-. Lain air mineral lain pula koran dan yang lainnya.
“KORAN-KORAN… TAHU..TAHU…TARAHU…TARAHU…IKAT PINGGANG...IKAT PINGGANG…SUNLIGHT…SUNLIGHT… CUMA 1000 RUPIAH…HANDUK.. HANDUK… GORENGANNYA PAK BU MBAK MAS DIK …”
“Mau nukar uang mas, Rp 100.000,- Cuma Rp 110.000,- kok mas..murah..”kata mbak-mbak sang juragan moneter.

Berbeda dengan pedagang asongan, para Pengamen punya cara tersendiri dalam usaha menghibur para penumpang yang tak butuh hiburan ini.Mereka ada yang ngamen bawa gitar, ada yang bawa kendang, ada pula yang bawa icik-icik (Semacam alat musik yang terbuat dari lempengan seng yang dibentuk setengah lingkaran lalu dibubuhi banyak tutup botol “COCA COLA” yang dilubangi dan dirangkai pada seng tersebut menggunakan paku yang diambil dari sisa proyek atau yang terbuat dari bambu yang juga ditempeli tutup botol ”SPRITE” dan disusun berbaris rapi seperti tentara mau perang di ujung bambunya sedang sisanya buat pegangan) mereka memainkan icik2 dengan dipukul-pukulkan ke paha mereka sampai kalau habis pulang ngamen paha mereka merah memar seperti daging sapi Idul Adha dan sakit tak tertahankan.Atau mereka memukulkannya ke telapak tangan kiri mereka hingga terbentuklah sebuah nada yang tak karuan bunyinya.Dan sambil membunyikan icik-icik itulah mereka menyanyi ngalor ngidul ngetan ngulon 16. 
Sedang untuk yang menggunakan gitar mereka biasanya lebih jelas nada dan melodinya, meskipun sambil menyanyi.Secara bergantian para pengamen dengan berbagai lagu bergantian naik turun menyertai bus Sinar Jaya yang mulai membelah kota Jakarta menuju Bekasi lalu tol Cikampek terus melaju Karawang-Subang-Indramayu-Cirebon-Brebes belok kanan ke arah Purwokerto.Lagu-lagu mereka kadang ada yang enak tapi tak jarang kita mendengar lagu yang tak jelas iramanya temponya ataupun melodinya.
Jika telah selesai mereka jalan dari tempat duduk depan ke tempat duduk penumpang paling belakang sambil menjulurkan kantong bekas permen ”MENTHOS” untuk meminta sedikit sedekah dari penumpang yang baik hati dan dermawan.Yang baik hati biasanya akan memberi Rp 1000,- tapi yang sedikit baiknya atau kurang baik paling yang keluar recehan cepek (Rp 100,-) dari dalam kantongnya. Meskipun ketika mengambil dari kantong ada pecahan Rp 50.000,-, ada Rp 20.000,-, ada Rp 10.000,-, ada Rp 5000,- dan seribuan.Tapi yang mereka cari pasti yang paling kecil nominalnya bahkan kalau perlu jika masih ada uang recehan Rp 25,- mereka akan memilih opsi yang terakhir. Sayang uang kecil bergambar burung pipit itu telah lenyap dari peredaran dikarenakan kebijakan moneter Bank Indonesia yang tak lagi menerbitkan si logam kesukaan penumpang yang sedikit baik hatinya itu.
Yang aneh adalah aku. Karena tak kudapati recehan logam di kantong baju dan celana serta di dalam tas Mbak Buroh, maka kuserahkan saja sebungkus ”KACANG ATOM MEREK GARUDA” yang kubeli dari salah satu pedagang asongan tadi.Kan nilainya Rp 250,- lebih besar 10 kali lipat dari Rp 25,- betul kan kawan.Diapun menerimanya sambil cengengesan menampakkan giginya yang hitam dan tonggos itu akibat sering menghisap tembakau yang dibungkus papir atau kelobot (kulit jagung ) alias rokok.Itu baru pengamen, lain lagi dengan Pengemis.

Mereka mengemis ada yang memang bener-bener butuh uang untuk makan dan hidup.Namun ada juga yang mengemis dijadikannya sebagai sebuah pekerjaan alias mata pencaharian.Ada yang buta, baik buta yang bener-bener buta ataupun yang pura-pura buta sambil menggunakan kaca mata hitam dan tongkat, Ada juga si buta yang dituntun oleh temannya yang sehat.

Ada anak kecil yang nyebarin amplop bertuliskan ”Mohon bantuan untuk biaya sekolah dan untuk makan sehari-hari, Terimakasih.” Ada pengemis yang pincang beneran tapi ada juga yang pincang bohongan. Ada juga yang berpuisi, padahal tampangnya seperti preman.Ada ibu-ibu yang mengemis dengan mengorbankan bayinya dengan di gendong seharian di bawah guyuran hujan dan panggangan sinar matahari.Semua itu dilakukan dengan harapan penumpang bus yang berjumlah ± 54 orang menjadi lebih kasihan dan lebih banyak memberikan sumbangan recehannya.Tapi alhamdulillah jarang ada pengemis yang masih muda dan mudi alias remaja belasan tahun.

Kita patut bersyukur jika generasi muda kita tak menjadi pemalas seperti pengemis-pengemis itu. Selanjutnya adalah si Peminta Sumbangan. Biasanya ia mengaku dari Pondok Pesantren atau petugas Pembangunan Masjid bagian Pencari dana.Mereka berseragam seperti kotoran cicak ”HITAM PUTIH”.Sebelum mereka berjalan membawa kotak amal dan di sodorkan kepada para penumpang bus yang ingin berinfaq, mereka biasanya akan mengoceh bak burung beo yang hanya di ajarkan untuk mengucapkan “ASSALAMU ‘ALAIKUM….ASSALAMU ‘ALAIKUM…” setiap paginya.Setelah itu barulah kotak infaq diedarkankannya dari bangku penumpang depan sampai bangku pennumpang belakang.Mereka juga sebagaimana halnya Pengemis ada yang bener2 ditugaskan mencari dana tapi banyak juga yang memanfaatkan tugas seperti untuk mengemis.
Dan yang kedua itu orang sering menyebutnya adalah “PENGEMIS BERSERAGAM”.

Monday, June 29, 2009

Sepeda Jengki Pedal 10

Pedal 10
Maag


Mata melotot dan tubuh kaku berdiri.Itulah keadaan Mbak Buroh yang dipanggil Mbak Ndiroh jika di Jakarta ketika melihatku.Apalagi aku datang dengan menenteng sebuah sepeda jengki.Datang ke Jakarta itu biasanya membawa oleh-oleh ntah buah atau makanan.Boro-boro bawa oleh2 buah malahan yang dibawa hanyalah seonggok besi sepeda jengki.Bagaimana tidak tercengang dan terheran-heran.Tak ada hujan tak ada angin apalagi badai lebih dari tak ada.Wong angin seolah-olah berhenti bertiup menyambut keadaan diriku.

Kawan, Pekalongan-Jakarta tidaklah dekat.Jarak sejauh itu kini telah kutaklukan dengan sepeda jengki yang kugenjot selama 3 hari dengan 2 malamnya aku tidur.Tanpa bekal dalam tas ataupun perlengkapan lainnya.Aku hanya bermodalkan nekat kawan.Bekal yang ada hanyalah botol aqua yang berisi air kran dan berulang kali tumpah ketenggorokan.Sesudah itu diisi kembali dengan air kran dari masjid-masjid yang kusinggahi.Berbekal Rp 20.000,- tubuh ini sampai ke Jakarta.

Alhamdulillah hujan selalu absent selama perjalanan petualangan ini. Alhamdulillah juga ban sepeda jengkiku tak mengalami kebocoran di tengah jalan.Coba jika bocor sempet mampir, mau kusuguh apa tamu yang tak diharapkan ini.
Kawan, di sinilah letak kekuasaan Allah yang masih mau beserta hambanya yang lemah ini.

Cerita panjang kali lebar telah menjadi luas.Keliling dan volume tak luput keluar dari mulut bau kecut ini.Kakakku bangkit.Entah mau ke mana dia.Aku mengikuti dari belakang.Tak terbersit dalam rumus dugaanku, ternyata beliau menuju ke sebuah wartel di belakang kontrakannya yang dibangun tanpa aturan dan tanpa perencanaan serta tanpa memperhatikan nilai-nilai estetika ini.Kontrakannya tidak seperti perumahan2 atau gedung mall2 yang sombong dan angkuh yang berdiri di setiap Kecamatan di Jakarta.Kontrakan kakakku tidak pantas disebut rumah sekalipun untuk kategori RS6 (Rumah Sangat Sederhana Sekali Selonjor Saja Susah). Malahan lebih pas jika disebut Kandang Ayam karena memang ada beberapa ayam yang dipelihara teman kakakku satu kontrakan.

“Sopo sing Njenengan telpon Mbak?”1tanyaku dalam logat Jawa
“KangIbun!”jawabnya pendek
“Lha opo sampeyane ra pamit karo Simak lan Bapak?”sambungnya
“Nek aku pamit yo mesti ra oleh ra Mbak.”
”Pirang ndino kowe numpak pit kok nganti geseng rumpeng koyo kuwi raine?”
”Telung dino rung wengi Mbak, kenopo?”
“Masmu kuwi6 si Roghibun (nama panjang Kang Ibun kakak ketigaku dari 8 bersaudara) wis mider-mider ngkluru kowe, reti ora?”cerocosnya
“Jare areng nggon kancamu sing Petukangan terus kerono rak ono Masmu dituduhi koncomu sing liyo sing ning Kedungwuni lha kerono podo bae rak ono ning kono terus masmu lapor Polisi bar njaluk izin reng Simak, Simake dewe nangis terus 3 ndino rung wengi karo ngomong”Lha akune iki salah opo.Wong bocah anteng2 kok moro2 ilang, lungo ora pamit.Eh alah bocah diurus bener2 kok koyo kiye.” ceritanya yang ia kabarkan setelah menelepon Kang Ibun tadi.

“Ndung (panggilan sayang terhadap anak kecil) opo kowene ora ninggal tulisan?”
“Aku ninggal tulisan sih Mbak tapi tak sog ke neng mburi foto wisuda TPA-ku”

Nun jauh di Pekalongan kabar hilangnya diriku telah berganti jadi judul cerita”Petualangan bersepeda ke Jakarta”.Cerita tersebut menyebar dengan cepat dan luas dari mulut ke mulut seantero Tunjungsari.
Seandainya di desaku ada Koran, maka dongeng ini akan menjadi Headline News-nya dengan judul yang lebih variatif ”Beli Ballpoint ke Jakarta dengan Bersepeda”.

Semuanya seolah tak percaya.Bagaiman mungkin orang sealim aku bisa melakukan hal itu. Maklum, aku dikenal masyarakat sebagai orang yang taat beragama dan beribadah, aktif di organisasi remaja, pendiam dan berbakti pada orangtua.Bagaimana tidak berbakti, disaat anak-anak yang lain sibuk main bola aku malah sibuk ngarit suket 11 untuk kambingku.Disaat yang lain kalau disuruh belanja ke warung pada tidak mau dengan alasan malu dan acara TV-nya masih seru, aku malah semangat berangkat meskipun tanpa diberi upah.Membantu memasak dan membatik adalah kegiatan rutin yang aku laksanakan sebagai hobi meskipun itu adalah kegiatan perempuan.Ke sawah dan ke ladang sepulang sekolah atau pada hari libur menjadi hiburan dikala tugas sekolah menumpuk bikin pusing kepala.Bersepeda ke sekolah menjadi ciri baktiku berikutnya kepada orangtua.Maksudnya dengan bersepeda aku bisa menghemat uang ya itung2 sambil olah raga dan menghambat laju polusi udara serta berpraktek ria tentang ilmu kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah SAW, teman.

Menyapu halaman dan mengaji di tempat Pak Ridlwan hampir menjadi santapan saben sore dan malam hari.Itulah gambaran tentang diriku dari luar yang tampak oleh orang-orang di sekitarku.Sehingga dengan keadaan seperti itu pujian dari Masyarakat terhadapku tak pernah surut.Dan akupun tertantang tuk membuktikan bahwa aku memang seperti yang mereka puji yaitu anak yang rajin, sopan, berbakti dan sederhana.Namun isi hatiku dan pikiranku mereka tak mengetahuinya hanya aku dan Allahlah yang tahu, bahkan Allah lebih tahu tentang diriku karena memang Ia adalah Tuhanku yang Maha Tahu.Di sinilah keadaanku sekarang yang telah berubah 180 derajat dari aku yang tampak dan hadir di Masyarakat Tunjungsari.

Kembali ke Jakarta.Karena tak mambawa bekal apa-apa selain sepasang baju yang menempel di badan, Mbak Buroh meminjam baju Amri-anak Mak Awi teman Mbak Buroh di Jakarta yang tinggal di Jalan SD INPRES Kp.Usman Harun-.Seminggu aku di Jakarta menemani Mbak Buroh jualan peyek kalau pagi di Pasar Jambul, Cililitan dekat RSUD Budi Asih di bilangan Jalan Dewi Sartika.Mendorong gerobak pagi-pagi buta sejauh 4 km.Menyeberang jalanan raya padat mobil-mobil dan bus-bus besar.Kami berjualan dari pagi hingga siang hari disaat matahari berada di ubun-ubun kepalaku.Kalau malam kami mengetap alias menata peyek yang akan dijual esok hari ke gerobak di tempat Bosnya’Pak Waryudi’.

Gerobak beroda 2 berbahan seng sederhana itulah saksi perjuangan hidup kakakku selama berpuluh tahun mengais rezeki dalam kerasnya kehidupan ibukota.Yang kata orang kejamnya ibukota lebih kejam dari kejamnya Ibu Tiri.Serta membungkusi rempah-rempah dan bumbu-bumbu basah macam trasi, ketumbar, mrica dan asem juga ikan teri yang beliau hutang dari Simbok”Teman jualan kakakku di pasar yang telah lanjut usia”.Kulit gosongku yang kepanasan selama 3 hari mulai mengelupas seperti Ular yang hendak berganti kulit.Karena suasana Jakarta telah kuadaptasi ke badan kerempeng. Anehnya demam atau flu tak mampir ketubuh ini meskipun dijemur di terik sinar matahari bercampur sinar ultraviolet yang tembus kebumi akibat ozon yang berlubang diserbu gas karbon dioksida dan monoksida dari asap kendaraan bermotor serta asap pabrik yang menjamur di sejagad Jakarta.

Dari kehidupan selama seminggu bersama kakakku di Jakarta kutemukan segelintir arti perjuangan hidup menemukan jati diri dan mengangkat gengsi.Aku banyak belajar dari kakakku Mbak Buroh.Darinya yang dulu aku minta dibelikan chocholate ‘Silverqueen’kalau beliau pulang dari Jakarta.Padahal harganya mahal namun ia tetap membelikannya.Baginya kebahagiaan adiknya lebih ia senangi dari uang yang jika habis dapat dicari lagi.Darinya juga aku dulu meminta supaya dibelikan “Tas Gendong” untuk membawa buku-buku paket tebal yang dibuat oleh penerbit yang tanpa menghiraukan kecilnya tas pelajar miskin macam aku ini hingga dalam hitungan menit begitu dimasukkan ke dalam tas lalu tas dicangklong ke pundak terus dibawa lari dan akhirnya putuslah cangklongan tas anak itu di tengah jalan.Dan yang terjadi berikutnya adalah si anak merengek sambil menangis minta dibelikan tas gendong baru yang kuat dengan alasan jika membawa buku-buku tebal tak karuan itu tasnya tak putus lagi.Di situlah kedermawanan kakaku, ia pun membelikannya dengan merek ”Alpina” warna coklat.Sebuah tas yang bermerek dan mahal.

Padahal kala itu barang dagangan andalannya ”PEYEK” sering tak laku dan seandainya lakupun paling berkisar 5-10 bungkus.Sedangkan harga perbungkus adalah Rp 4.000,- dengan setoran Rp 30.000,- perhari.Artinya ia hanya hidup Rp 10.000,- perhari.Sebuah ukuran ekonomi yang fantastis dan jauh dari ukuran hidup sejahtera untuk kehidupan di Jakarta. Kawan kau pasti tahu harga-harga sembako kala itu kan.Di sinilah kutemukan rasa sayang yang begitu luar biasa dari seorang kakak bermata satu ini.Darinya kuambil hikmah dan ibroh dari sebuah derita yang dialaminya semenjak kecil akibat penyakit yang aku tak mengalaminya.Ia sendiri pernah kuanggap sebagai seorang tamu tak dikenal yang datang dari Jakarta karena waktu kulahir ia telah di Jakarta dan jarang nongol dirumah.Yang sering pulang hanyalah barang2 dan kiriman uang untuk orang tuaku.

Di keluargaku bisa dikatakan ia yang paling menderita tapi jiwanya yang paling tegar.Disaat Kakak pertamaku Mudrikah dilangkahi (didahului menikah) oleh adiknya Kang Roghibun yang menikah dengan Mbak Puji di Kebumen.Dan kala itu Mbak Mudrikah sedih dan bingung seperti orang stress dan bisa dikatakan mengidap penyakit gila nomor 13 seperti kata Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi-nya karena tak sanggup menghadapi kenyataan.Di waktu itulah Mbak Mabruroh datang bak malaikat kepagian menghibur sambil menawarkan kabar gembira bagaimana kalau Mbak Mud ikut ke Jakarta? Seketika itu pula Mbak Mud bagai disiram air salju ubun-ubunnya.Padahal untuk mendatangkan saljunya saja susah bangetnya minta ampun kawan.

Ia juga pernah ketipu orang, kawan. Segepok uang yang ia kumpulkan di celengan ayam jagonya yang terbuat dari tanah liat selama beberapa bulan diserahkan kepada sang penipu yang tak tahu adat mencari rizki secara suka rela.Katanya sih beliau seperti di Hipnotis, begitu.Namun gurat penderitaan dan pengalaman hidupnya menguatkan keimanan tuk terus bertahan dan berjuang meneruskan hidup dengan hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Sepasang sepatu yang tak tanggung-tanggung bermerek Eagle warna biru menjadi hadiah berikutnya yang tersampaikan dari tangan wanita pekerja keras dan hanya bertinggi 145 cm ini kepadaku.Ia wanita yang kokoh dan jauh dari kesan pesimis, lembek serta pemalas.

Dan suatu sore ia mengalirkan segayung air mahal dari ujung matanya yang tinggal sebelah.Ia menceritakan pedihnya hidup di Jakarta sendirian.Kakinya tertusuk “Paku Karatan” yang kangen pingin menusuk karena lama tak digunakan oleh tukang kayu untuk mengait kusen-kusen pintu dan jendela.Infeksi siap mengancam jiwanya, meskipun si paku tadi sudah dicabut dari kaki mungilnya namun sisa karatannya belum bersih benar tuk minggat dari daging sikil 12nya.Uang tak ada.Dagangan seminggu ini tak menghasilkan apa-apa selain buat makan dan setoran serta capek dan pegal-pegal.Padahal ia butuh ke dokter untuk berobat. Beginilah susahnya jadi orang miskin.Mau berobat saja bingung.Sedangkan bagi mereka yang beruang jerawatpun diurusnya meskipun harus pergi berobat sampai ke Singapore segala.

Ia mengambil silet.Digunakannya silet tersebut tuk membelek dan mengoperasi telapak kaki mininya supaya bisa dibersihkan Si bangsat karatan yang betah tinggal di kaki kanannya itu yang telah menemani perjuangannya.Dikorek-koreknya telapak kaki kecil itu dengan cottonbuds yang diolesi dettol dengan harapan begundal karat mau hijrah ke tempat aslinya.Karena bengkak, ia tak bisa jualan PEYEK selama setengah bulan digantikan Kakak ketujuhku Mukminah yang datang dari Depok. Tentu hasil dagangannya merosot terjun bebas ke jurang kerugian dan kebangkrutan.Begitu ceeritanya kawan, kalau kau ingin menangis menangislah sebelum menangis itu dilarang, tapi kalau kau tak meneteskan Si mutiara air mata berarti hatimu memang terbuat dari batu pualam.Salah, batu yang paling keras pokoknya atau memang ceritaku yang tak sanggup mengundang air tadi.

MAAG.Hari itu ia demam.Perutnya sakit laksana ditusuk duri dan jarum karung goni. Matanya berkunang-kunang, bagai melihat bintang disiang hari berputar-putar di atas kepalanya.Pusing tak tertahankan.Sakit maag akutnya kambuh.Ia tiba-tiba pingsan jatuh tak sadarkan diri di meja dagangannya di Pasar Jambul.Teteh ’PEDAGANG NASI’ di pasar yang merupakan sobat kakakku membantu menyadarkannya dengan menggoyang-goyangkan badannya namun tak kunjung bangun Si Kakak.Digosok-gosoknya perut wanita kecil ini dengan balsem hingga habis satu botol balsem merek ”RHEUMASON” warna merah.Tapi kakakku belum juga sadar.Kakinnya juga digosok-gosok dengan minyak kayu putih merek ”KAMPAK” yang terkenal sengatan panasnya, tapi belum juga ada tanda sadar atau siuman dari kakakku.Dikipasinya dengan kipas angin merek ”Maspion” tak tanggung-tanggung langsung pada putaran 3 yang merupakan putaran paling kuat. Itupun tak ada pengaruhnya.Sekujur badan kakakku dipijat dan diurut sekenanya oleh orang-orang yang merasa sanggup memijat ntah laki-laki maupun perempuan dari ujung kaki sampai ujung kepala.Dengan harapan kakakku sadar. Semua usaha yang dilakukan seolah seperti kapur barus yang menguap tak berbekas dihisap angin pasar bercampur aroma ikan asin bau amis. Empat jam sudah kakakku tergeletak tak ada gerak laksana mayat atau pasien UGD yang mengalami koma.Mungkinkah kakakku telah meninggal, dirabanya denyut nadi tangan kakakku oleh Teteh.Tapi katanya masih berdennyut.Dasar orang pasar berpendidikan rendah, melihat orang pingsan lama bukannya dibawa ke dokter malah didiamkan.Terbersit ide dari Pak Ali ’Suami Teteh’.Larilah ia ke belakang warung mengambil seember air.Semua orang berteriak… Jangan Pak Ali………… kasian…., tanpa menghiraukan teriakan orang-orang disitu dirsmkannya itu air sehingga tumpahlah seember air bekas cucian piring ke muka wajah kakakku.PPYYAARRRR…..dan seketika itu juga kakakku bangun sambil tergagap.
Begitu sadar, langsung saja dia bertannya, ”Apa yang terjadi, Teh?”
“Tadi kamu pingsan selama 4 jam.” jawab Teteh.


Dan yang dirasakan kakakku setelah itu hanyalah pegal dan masuk angin.Ya, karena dikipasi angin ”MASPION” tingkat 3 selama ¼ jam serta perut yang kembung akibat kedinginan terkena siraman air cucian piring Pak Ali, Sekujur tubuhnya juga panas karena olesan balsem ”RHEUMASON” warna merah yang tak karuan oleh teteh dan orang-orang sepasar.

Segelas teh hangat diminta oleh Teteh supaya kakakku meminumnya segera supaya badan kakakku seger kembali.Kawan kuseka dulu ya air mataku, aku tak kuat membayangkan semua itu.Tidak sekedar itu aja sobat, ia juga cerita pada suatu malam sepulang ngetap pukul 03.00, ia hendak diperkosa preman Ambon yang mabok mungkin akibat minum wiski rasa baygon terlalu banyak kali yaa.Namun karena badannya yang kecil tak sulit baginya tuk meloloskan diri.

Penderitaan selanjutnya yang ia ceritakan padaku adalah tentang pernikahannya. Pernikahannya dengan orang Jogja tahun 1998 gagal total.Suaminya meninggalkannya pada minggu ketiga.Selain karena memang orangnya tak cocok dengan keluarga kami mungkin juga akibat kata-kata pengusiran.Bahkan kata-kata pengusiran dari rumah ayahku di Pekalongan,aku yang melakukannya.”Pokoke wong kae13 (Suami Mbak Buroh) kudu lungo dek kene 14 (rumah orang tuaku)” Begitulah kata-kata yang keluar dari mulutku.Kala itu aku masih SMP.Kata-kata itu keluar karena adanya perasaan seorang anak yang tidak suka terhadap seseorang.Dan kata-kata itu keluar sekenanya tanpa memperhatikan etika berbicara dan sambil teriak lagi, walaupun sebenarnya aku sudah tahu sopan dan santun serta adab berbicara.Namun Mbak Buroh memakluminya, karena memang laki-laki tersebut tak bertanggung jawab atas kakakku. Nafkah lahir tidak diberikannya, kerjapun juga tidak.Menurutku dia pemalas serta kurang waras. Entah kenapa ia bisa menikah dengan kakakku yang tegar dan pekerja keras.Ternyata Si laki-laki kurang genap itu dinikahkan oleh kakaknya (sahabat kakakku) yang merengek-rengek kayak bayi minta ASI pada Ibunya di dengkul Mbakku yang hatinya mudah trenyuh supaya Mbakku mau menikah dengan adiknya yang hanya 99 itu.

Beberapa minggu setelah pernikahan adiknya dengan Mbak Buroh, kakak suami Mbakku yang bernama Mbak Umi kabur dari kontrakan kakakku.Ia kabur dengan membawa barang-barang berharga milik kakakku termasuk ”Sendal Jepit” warna biru muda merek ”SUNLY” yang baru sehari sebelumnya dibeli dari warung sebelah.Ia pergi tak sendirian, tapi bareng suami kakakku yang pikirannya kurang 1 stirp supaya bisa dikatakan tidak menderita penyakit gila no. 40 begitu kata Andrea Hirata dalam novel tetralogi ”LASKAR PELANGI” nya.Tak cukup sampai di situ penderitaan kakakku kawan. Namun alhamdulillahnya kawan, pernikahan penuh kekonyolan itu tak merenggut keperawanan dan orisinilitas kakakku.Kenapa bisa begitu? sebab saat pernikahan itu kakakku sedang dalam keadaan datang bulan alias menstruasi atau kedatangan tamu yang tak diundang namun tetap nylonong pingin datang. Sedangkan dalam syariah Islam, saat sang wanita sedang haid si Kumbang tidak boleh menjamah sutra kebanggan sang ratu.Dan biasanya kakakku jika tamunya datang masanya adalah 2 minggu dan pada minggu ketiga setelah hari pernikahan Suami kakakku pas sedang balik ke Jogjakarta. Sehingga daripada itu kakakku tetap virgin belum tersentuh oleh lelaki dungu itu.

Tahun 2002, kakakku resmi bercerai dengan suaminya. Dengan sidang tanpa kehadiran pihak lelaki yang tak jelas batang kakinya bahkan jejaknya yang bau terasi juga tak tercium walaupun kita berdiri sejengkal darinya.

Sunday, June 28, 2009

Sepeda Jengki Pedal 9

Pedal 9
Ikan Teri


Pak Khaerudin masuk ke rumah, beberapa saat kemudian beliau keluar sambil membawa sebungkus nasi dan lauk ikan teri serta memberiku uang Rp 10.000,-.Walaupun sedikit menurut orang dewasa tapi bagiku Rp 10.000,- adalah uang yang banyak.Karena aku belum bisa mencari uang sendiri kala itu meskipun hanya sepuluh ribu bahkan seribu pun aku tak bisa.
Ucapan terima kasih tak lupa kusampaikan sembari pamitan dan menggenjot sepeda jengkiku.
”Assalamu’alaikum!”
”Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh” jawab beliau sambil melambaikan tangan.

Mentari belum menampakkan sinarnya.Udara dingin pagi masih begitu terasa.Sepeda jengkiku mulai berjalan perlahan-lahan.Gurat kelelahan telah berganti dengan semangat baru.Semangat yang timbul karena istirahat dan tenaga dari makanan yang diberikan Pak Khaerudin. Perbatasan Cirebon Kec.Aryawinangun dengan Indramayu telah kulewati.Para petani mulai mencangkul sawahnya.Ada yang sedang memupuk dengan pupuk Sriwijaya ataupun dengan pupuk Kujang.

Kendaraan sedang ataupun angkot mulai berlalu lalang di jalanan yang sedang diperlebar ini.Diperlebar karena buat persiapan menyambut Hari Raya Iedul Fithri.Di mana saat itu jalanan akan penuh dengan rombongan mobil dan motor dari Jakarta yang akan mudik ke Jawa.Meskipun hari tersebut bisa dikatakan masih lama.Bahkan jalanan sepanjang pantai di mana di situ merupakan kawasan Rumah Makan Sea Food bener-bener baru mulai diperbaiki.Di mana debu beterbangan dibawa angin ke barat, timur, selatan ataupun ke utara.Yang bandel biasanya ingin masuk ke mataku meskipun ada tanda dilarang masuk di kelopak mataku.Mataku merah oleh Si debu bandel.

Kuperhatikan para pekerja yang bekerja tanpa mengenal lelah meskipun matahari bersinar dengan panasnya.Mungkin dalam benak pekerja mereka seolah-olah sedang berjemur seperti turis kali yaaa.Padahal mereka adalah kuli yang siap dimandi dengan debu dan panas matahari serta aspal mendidih yang setiap saat sanggup menguliti epidermisnya.

Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 wib.Satu jam berikutnuya Kab.Subang mulai kutaklukkan.Kuisi botol air mineral dengan air kran dari masjid di Subang.Waktu dhuhurpun telah tiba.Buru-buru kuambil air wudlu.Seuasai sholat dhuhur di situ kulanjutkan mengonthel sepeda jengki menyusuri jalanan Subang yang agak mendaki.Selain jalanan yang agak menanjak, tak ada pemandangan yang lain yang menakjubkan atau menarik mataku untuk melihatnya bahkan melirikpun segan mataku. Hanya Lokasi Pemancingan yang sekali kulihat papan Balihonya.Lumayan juga jalanan di Subang selain mulus dengan aspal juga tak ada Si debu Bandel yang pingin berlindung dan ngumpet di pelupuk mataku dari injakan ban mobil yang tak berperi keban-banan.Namun sebagaimana halnya sebuah kota yang berkembang, di Subang juga mulai nampak perumahan penduduk yang mulai berdempet-dempetan.Yang menandakan Subang adalah sebuah daerah yang mulai terkontaminasi dengan model kehidupan tak teratur macam Kota Jakarta.

Beberapa kali aku menghentikan kayuhan sepeda jengkiku sambil menyantap roti bolu persegi sisa kemarin.Termasuk kuembat nasi bungkus pemberian Pak Khaerudin dengan ikan teri sepesial bagi orang yang suka kabur dari rumah.Makanya kawan, pelajaran yang dapat kau ambil adalah jangan kau minggat dari rumah jika tak berbekal uang yang banyak, sebab jika kau bertemu orang yang baik ia akan mengasihimu dengan sebungkus nasi plus ikan teri.Sholat ashar aku dirikan juga di Subang.Di mesjid berwana putih.Aku lupa nama mesjid tersebut.

Sinar jingga merupakan pertanda maghrib segera menjelang, kupercepat kayuhan sepeda jengki biru tuk melalui kota Karawang dengan gedung-gedung tuanya.Gedung-gedung tua sisa peninggalan masa mempertahankan kemerdekaan dari hasrat kolonial Belanda yang belum puas menjajah NKRI selama 350 tahun.Dalam hati aku bertanya, Inikah Karawang yang tertulis dalam buku pelajaran sejarahku semasa aku duduk di bangku SMP dulu? Kawan, suasana zaman dahulu begitu terasa, sampai-sampai bulu ketekku berdiri sewaktu memperhatikan pemandangan itu.

3 kabupaten dalam sehari.Kuhitung perjalananku hari ini.Berarti 3 kabupaten ini luasnya melebihi 4 kabupaten yang aku benamkan kemarin.Pemalang, Tegal, Brebes dan Cirebon.Dihari kedua ini aku bermalam di Karawang, tentu di masjid kawan bukan di gereja atau pasar atau kolong jembatan atau bahkan pasar.Tidak.Di mesjid aku lebih merasa tenteram.Sebelum tidur aku sempet berdialog dan meminta izin dengan marbot mesjid.Tapi di sini aku berbohong, kukatakan aku orang Indramayu yang ingin ke Cikampek.Padahal aku kan orang Pekalongan yang sedang tamasya.Jadi jangan ikut-ikut ya teman.Ikut-ikutan bohong dan kabur dari rumah tentunya.Jam 04.15 aku sholat shubuh secara berjamaah di situ.

Dan hari ketiga, pagi-pagi buta aku kembali mengayuh sepeda jengkiku.Kota Karawang kususuri.Sedikit demi sedikit, semburat cahaya merah menerobos gerombolan awan putih yang seperti kulit domba gendut yang dirawat penuh kasih dan sayang oleh peternak domba yang rela tidur bareng domba tersebut dan rela tubuhnya selalu disemprot parfum aneh alias bau domba tersebut.Hawa dingin berubah menjadi hangat.Perut yang kosong telah kuisi dengan roti kering dan seteguk air kran yang telah berpindah ke dalam botol aqua.Pikiran akan kampung Tunjungsari benar-benar telah lenyap, yang ada hanyalah jalanan panjang beraspal yang berkelok-kelok, naik dan turun.Sepeda jengki kugenjot sekenanya.Di ujung pandangan tertulis di papan penunjuk jalan kota yang sering kudengar namanya jika waktu mudik telah tiba.Di mana para reporter TV sering berdiri di sana memberitakan tentang frekuensi kendaraan yang lewat di pintu tol tersebut.

Cikampek.Ya Cikampek.Daerah itu kini telah di depan mata.Jika aku telah melewati kota tersebut kota berikutnya adalah Bekasi selanjutnya Kota metropolitan yang terkenal dengan WC terpanjang di dunianya yaitu Jakarta.Meskipun termasuk Propinsi kecil namun karena merupakan ibu kota NKRI Jakarta menjadi daerah terpadat dan tujuan bagi siapa saja yang ingin merubah nasib dari kere menjadi konglomerat atau yang ingin tambah mlarat juga bisa.Akhirnya roda depan sepeda jengkiku menyusuri pinggiran kali yang panjang.Kalinya sih keruh tapi masih tetap nampak keasliannya. Tidak seperti kali-kali di ibukota yang hitam akibat pencemaran limbah pabrik yang tak bertanggung jawab seperti yang sering kulihat di siaran televisi ”DUNIA DALAM BERITA” di TVRI pukul 21.00 wib di rumah tetangga.Masjid berdinding warna biru dengan kubahnya yang menawan dan megah menjadi saksi akan kebesaran Ilahi.Terowongan Cawang dengan lampu temeramnya kulewati.Tapi aku lupa ke mana arah rumah Mbak Mabruroh ya.

Belakangan kuketahui setelah sekarang aku tinggal di Jakarta dan bekerja di salah satu Pabrik Otomotif setamatnya aku dari STM.Sungai yang panjang di pinggir jalan yang kulalui itu adalah Sungai Kalimalang.Sungai yang sumber airnya diolah menjadi air yang bersih oleh Themes Pam Jaya lalu disalurkan ke rumah-rumah warga di Jakarta.Selanjutnya Masjid berdinding biru yang megah itu adalah Masjid Al-Azhar.Di mana aku telah beberapa kali masuk ke dalamnya untuk kajian kitab dan bedah buku-buku Islam.Sunguh menakjubkan masuk ke Masjid yang besar itu kawan.

Memasuki terowongan penuh pedagang buah ’UKI’ aku tanyakan kebeberapa orang daerah Kampung Arafat Kel. Kebopala Kec. Makassar.Namun tak ada yang menjawab dengan pasti.Padahal nama daerah itu masih tertanam kuat dalam ingatanku sewaktu aku masih duduk di kelas 4 MIM Tunjungsari dan pergi ke Jakarta bareng Ibuku dan tetanggaku naik bus.Aneh apa mereka yang ndak tahu atau aku yang lupa. Entahlah.

Untuk selanjutnya kucoba menanyakan area di mana Tukang Peyek beroperasi.Karena kakakku adalah seorang pedagang peyek.Tapi mereka malah lebih parah tidak tahunya.Dari tampangnya sih sepertinya mereka udah lama tinggal di Jakarta tapi kenapa mereka tidak tahu. Mungkin orang-orang tersebut hanya tukang ojek yang mangkal di situ tapi tak pernah keliling-keliling Jakarta atau tak pernah bergaul atau bersosialisasi.Kan orang kota itu individualis semua ya.Kawan kalau kau hidup di Jakarta janganlah hidup hanya Pabrik-kontrakan bolak-balik tanpa bermasyarakat atau pasar-kontrakan pulang-pergi setiap hari.Cobalah ke masjid tuk jamaah dan ngobrol-ngobrol dengan tetangga barang sedikit.Biar nanti kalau ada yang nanya biar kau bisa jawab, Malunya kalau yang ditanyakan oleh orang yang bertanya padamu ternyata lokasinya di sebelah kita.Kan muka ini bisa gosong kayak dipanggang pakai pangggangan sate Wusdi.Atau seperti pantat srabi yang lupa diangkat dari cetakannya.Karena saking malunya.

Beberapa kali daerah itu aku putari dan kelilingi namun area para begundal peyek tak kunjung kudapati.Jam 10.00 rumah Pak Waryudi kutemukan.Padahal Jakarta khususnya daerah Kebonpala telah kuinjak-injak selama 2 jam. Artinya selama itu aku berputar-putar. Terowongan UKI yang sebenarnya bukan nama terowongan itu sbenarnya melainkan karena di sebarang jalannya berdiri UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA ( UKI ) dan jalur TRANSHALIM ( Jalur transportasi angkutan menuju Bandara Halim Perdana Kusuma ) menjadi area yang paling subur seandainya aku adalah seekor kerbau yang membajak sawah dan akan menjadi pakaian yang paling licin jika aku adalah sebuah setrikaan.Karena semua orang di Pabrik Peyek Pak Waryudi yang merupakan Bos kakakku Mbak Buroh pada sibuk maka aku hanya ditunjukkan jalan ke kontrakan Mbak Buroh dan disuruh tanya-tanya nanti di sananya.

Ternyata tak disangka dan tak diduga serta tak dinyana, arah kontrakan Mbak Buroh adalah belok kanan jalur TRANSHALIM dari jalan yang aku putar-putari sampai 5 kali itu.Tadi pagi aku belok kiri di pertigaan Kampung Arafat, pantaslah kalau tak ketemu.

Saturday, June 27, 2009

Sepeda Jengki Pedal 8

Pedal 8
Comal First Shelter


Tekadku telah bulat. Jalan raya yang sepi dan serasa tak beru-jung itu kulewati sejengkal demi sejengkal. Selangkah demi selang-kah. Semeter demi semeter. Hingga kota Wiradesa tak tampak lagi di ujung pandanganku. Di atas sadel sepeda jengkiku aku terus mengayuh sambil merenung.

Tiba-tiba seperti ada suara yang menanyaiku.
”Kenapa kau melakukan ini?
Apa yang sedang kau lakukan?
Apa salah orang tuamu?
Apa salah teman-temanmu?
Kenapa kau tega melakukan perbuatan yang dapat mengiris hati orang-orang yang mencintai dan menyayangimu setulus hati?
Apa salah mereka kepadamu?
”Berbagai pertanyaan itu terngiang-ngiang di telingaku.
”Sadarkah engkau dengan perbuatanmu ini?

Cobalah kau ingat, Betapa sayangnya Ibumu padamu? Kau pasti ingat dikala engkau sakit thypes dan kau tergeletak di ranjang setengah bulan!
Siapa yang merawatmu?
Siapa yang menyuapimu?
Siapa yang memanggilkan dokter untukmu?
Siapa yang menjagamu dan menemanimu dikala engkau tidur? Disaat engkau muntah karena tak kuat menahan mual di usus dan lambungmu.
Siapa yang membersihkan kotoran itu?

Bukankah engkau melihat sendiri ketika engkau terbangun, engkau minta dibuatkan teh hangat, dengan mata sayu sambil mengucek-ngucek matanya yang masih merah ia membuatkan teh yang kau minta itu lalu memberikannya padamu. Ia tetap melayanimu dengan penuh kasih sayang meskipun badannya capek. Dan demi harapan ingin melihat sebuah kesembuhan untuk anak terkecilnya yaitu kamu, ia tetap merawat dirimu.

Siapa yang merawatmu disaat engkau masih kecil?
Siapa yang menyusuimu selama 2 tahun?
Siapa yang malam-malam bangun disaat engkau menangis karena ngompol dan harus diganti popoknya? Siapa..?
Siapa yang telah membiayaimu selama belajar di MIM dan SMP…?
Siapa yang membiayaimu disaat engkau ikut por-seni (Pekan Olah Raga dan Seni) MI di Banyumas…..?
Siapa yang memberimu makan selama ini?
Siapa lagi kalau bukan Ibumu dan bapakmu?
Inikah pembalasan yang akan kau berikan padanya?
Sungguh kejam, durhaka, anak yang tidak berbakti dan tidak tahu terima kasih.”

Di mana akhlak yang kau pelajari sewaktu kau belajar di Ma-drasah dulu?
Di mana pelajaran agama yang kau pelajari di TPA dan di Ma’had Al Hasan Al Bashri? Di mana nuranimu…?
Di mana akal sehatmu sehingga engkau berani melakukan tindakan yang bakal membuat ia menangis mungkin sehari mungkin seminggu mungkin sebulan atau bahkan bertahun-tahun…..?

Bukankah dulu engkau sendiri yang meminta sekolah di STM N 1 Kedungwuni. Sekolah yang jauh dari tempat tinggalmu. Bahkan diawal-awal, Ibumu telah mengi-ngatkanmu, bahwa ia akan kesulitan membiayai sekolahmu. Tapi kau tetap keukeuh pada pendirian ingin sekolah di sana. Sekarang engkau ingin mencoba menyakitinya dengan pergi tanpa pamit alias kabur dari rumah.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang membentuk lagu keras dan rock di telingaku. Sehingga rasanya gendang telingaku terasa mau pecah.

Pikiran iblislah yang terus menyemangatiku agar terus dan terus menggenjot dan mengayuh pedal sepeda jengkiku. ”Sudah ga usah dipikirkan, bukankah mereka tidak peduli padamu, buktinya setiap hari menu makannya itu-itu melulu tak ada variasi. Kalau pagi sego megono (nasi liwet lauk nangka yang dicacah tanpa aturan dengan golok hingga terpotong kecil-kecil lalu diberi bumbu dan rempah-rempah dengan rasa khas Pekalongan dan dikukus hingga mateng). Kalau siang ya nasi lauk tempe goreng dan sayur asam. Uang saku juga tidak bertambah Rp 2000,- terus padahal kan harga-harga pada naik, angkot juga naik tarifnya, jajanan di kantin juga naik. Masa kamu uang sakunya ndak naik-naik, kamu juga pingin hiburan, masa tiap kali diajak main PS kamu menolak terus dengan alasan ga punya duit. Daripada di sana lebih baik di Jakarta. Ayo terus genjot, teman-temanmu pasti senang jika kamu tak ada di sana. Karena tak ada anggota organisasi seperti kamu yang nyebelin, telat rapat terus dll.”

Ternyata hati, ampela, lambung, rambut, kaki, tangan, otak dan seluruh anggota badanku memilih untuk terus melanjutkan perjalanan sekaligus petualangan baru bersepeda ke Jakarta. Jarang-ja-rang lho kawan piknik ke Jakarta naik sepeda. Biasanya ke Jakarta kan naik bus atau kereta api atau sepeda motor. Walaupun dulu ke Jakarta pernah ada yang jalan kaki.

Eh di Comal muncul lagi pertanyaan, tapi sekarang agak aneh pertanyannya. Setan apa yang merasukimu hah? Kesambet di mana kau? Apa di pohon salam? sebab beberapa hari ini kau agaknya se-neng banget manjat pohon. Padahal kan udah lama kau pensiun dari kegiatan panjat memanjat. Atau di sungai besar yang mengalir airnya hingga Pait itu? Karena akhir-akhir ini kau juga sering mandi di sungai walaupun air di sumur banyak.

Aku ragu, kurem sepedaku. Kupinggirkan. ”Hebat sekali,” je-ritku. Sudah lama aku tak mengayuh sejauh ini. Paling jauh juga ke sekolah. Ini sudah ± 30 km dari rumahku. Apalagi untuk ukuran se-peda jengki. Untungnya dulu ayahku mengajarkan aku menempuh perjalanan jauh dengan bersepeda walaupun saat itu aku hanya duduk di belakang alias membonceng. Serta dulu sering bareng teman-te-manku ke Pantai Kisik dan Sunter atau ke Makam Pahlawan Wangandowo (Bojong) dan Bukit di Kajen. Daerah yang pernah ku-singgahi bersepeda bareng ayahku antara lain Ulujami, Kedungwuni, juga Sragi. Comal sebuah kecamatan yang berkabupaten di Pemalang berada di sebelah barat Pekalongan menjadi tempat pemberhentian pertama (Comal First Shelter). Kulihat jam menunjukan pukul 07.00 wib. Aku memang tak membawa jam tapi aku bisa melihat jam dinding yang menempel di Masjid dekat aku berdiri.

Tak kurang sepuluh menit aku berpikir untuk kembali atau terus. Untuk kembali mumpung masih dekat dan untuk terus perjalanan masih jauh jarak yang harus kutempuh. Padahal aku tak tahu aku sebenarnya mau kemana? Ah yang penting kabur dan tak ketemu lagi dengan orang-orang yang dalam tanda kutip bikin aku tak tenang. Dan sepeda jengkipun kembali berjalan. Roda dan rantai berputar dan terus berputar tanpa mengenal rasa lelah. Keduanya berputar sesuai program G03 dengan putaran sebesar 80 rpm dan kecepatan maksimumnya 28 km/jam . Ia tak mau berputar berlawanan arah jarum jam. Sebab jika sekali-kali berani menggunakan program G02 atau berlawanan arah jarum jam maka otomatis sepeda jengki akan berhenti. Karena memang begitulah cara kerja rem bos pada jenis kendaraan kereta angin ini. Namun apalah jua perut yang kosong memanggil sang bos otak supaya memerintahkan kaki tuk berhenti mengayuh dan istirahat. Mesjid di Brebes menjadi tempat pember-hentian berikutnya. Di sana aku minum air kran. Padahal ada uang saku ± Rp 20.000,00 yang bisa aku belikan roti dan air mineral. Dahaga dan lelah telah sirna. Sebelum melanjutkan perjalanan tak lupa sebotol air mineral dan sebungkus roti bolu isi 12 potong kubeli. Kupersiapkan jika nanti ditengah jalan aku kehausan dan kelaparan. Rp 1500,00 + Rp 1200,00 telah kuhabiskan dan sisanya kukantongi.

Tujuanku sekarang telah terbentuk dan tercatat dalam memoriku yang minim kreasi ini ”JAKARTA”. Di mana kakakku Buroh tinggal. Tepatnya daerah Kel.Kebonpala, Kec.Makasar, Jakarta Timur. Aku masih ingat. Walaupun kenangan itu terukir 7 tahun yang lalu. Paling tidak aku kenal daerah yang Mbak Buroh tinggali. Matahari mulai beranjak meninggi dan rasa panas menghampiri tubuhku. Kebetulan waktu telah memasuki waktu sholat Dhuhur, sambil istirahat aku sholat di Brebes. Badanku terasa pegal semua. Pikiran tentang orang tua dan teman-teman di desa telah lenyap dari bayanganku. Walaupun kadang masih muncul. Yang ada di pikiranku sekarang adalah sholat dhuhur dulu setelah itu menemui kakakku di Jakarta. Walaupun apa yang terjadi di sana nanti. Dalam hatiku aku berkata sudah kepalang tanggung aku mengayuh sepeda sejauh ini. Selepas jamaah dhuhur aku melanjutkan petualanganku. Ya sebuah PETUALANGAN BERSEPEDA KE JAKARTA. Untuk sholat Ashar aku mampir di Masjid daerah Cirebon. Yang ada di pikiranku hanyalah mampir ke masjid dan masjid tak ada keinginan untuk mampir ke rumah orang atau kantor polisi. Bahkan botol air minum telah beberapa kali kuisi ulang dengan air kran dari beberapa masjid yang kusinggahi. Tak ada perasaan takut diare untuk hari ini dan esok selama petualangan belum berhenti.

Keringat membasahi tubuhku. Sesekali baju lengan panjang atau kaos bergambar kepala harimau warna hitam kugunakan lengannya untuk menyeka keringat yang mengalir deras dari ubun-ubun kepalaku. Baju seragam PEMUDA PANCASILA itu pun menjadi basah kuyup meskipun tak ada hujan. Ya Alhamdulillah hujan tak turun menyertai perjalanan ini. Tapi panas matahari yang memantul dari aspal atau langsung mengenai badan ini terasa membakar sekujur tubuh kerempeng ini. Terbersit dalam hati ketika melihat TOPI di jalan untuk mengambil-nya. Namun hati dan akalku melarangnya. Karena memang bukan hakku untuk menggunakannya. Walaupun dalam keadaan seperti ini ternyata nurani dan imanku masih bisa berkata lho kawan.

Dan puncak panas hari ini adalah jalanan aspal perbatasan Ja-wa Tengah dan Jawa Barat tepatnya Brebes-Cirebon. Di mana kanan dan kiri jalan ditumbuhi tanaman bawang merah yang tak ada satu-pun pohon besar di pinggir jalan. Sehingga semakin menambah pa-nas dan dahaganya hari itu. Entah kalau diukur suhunya mungkin mencapai sekitar 380C. Kalau anak kecil yang kepanasan mungkin sudah kejang-kejang kali…Celana panjang abu-abu seragam STM-ku membantu melindungi kakiku dari terik matahari dan pembakaran sinar ultra violet yang mulai menerobos dengan leluasa ke lapisan atmosfer bumi karena makin melebarnya lubang ozon akibat pemanasan global dan gas rumah kaca. Sinar matahari yang mengandung sinar UV itu tak tahu perasaan seenaknya memanggang tubuhku yang kurus kering ini. Matahari mulai bergerak perlahan-lahan untuk menyelam di ufuk barat. Semburat jingga nampak indah mengiringi kayuhan remaja tak tahu terima kasih ini.

Akhirnya perlahan namun pasti hari mulai gelap bersamaan terbenamnya sang surya di ufuk barat yang tunduk pada perintah sang Maha Pengatur. Tapi aku tak juga menemukan musholla atau mesjid untuk sholat maghrib. Padahal aku berencana tak akan mela-kukan kayuhan sepeda pada malam harinya. Namun tempat yang ku-harapkan tak kunjung tampak.

Sepeda terus kukayuh. Aku pasrah jika aku meninggal di ja-lanan sepi tapi ramai ini. Sepi karena tak kujumpai perumahan penduduk. Yang ada hanyalah hamparan tanaman padi dan ilalang. Bahkan surau, masjid atau mushola yang kucari di kiri dan kanan jalan belum juga nongol. Ramai karena kendaraan-kendaraan besar macam truk-truk gandeng, container dan bus-bus besar mulai banyak Semuanya berjalan di sebelah kiri jalan raya tdak disebelah kanan.

Entah kenapa di Indonesia yang katanya mayoritas masyarakatnya adalah muslim tapi jalannya di sebelah kiri, sedangkan di Inggris penduduknya yang sebagian besar beragama Kristen malah jalannya di sebelah kanan. Padahal Rasulullah Muhammad SAW lebih menekankan kepada kita dalam melakukan sesuatu khususnya yang baik-baik dengan yang kanan atau mendahulukan sebelah kanan daripada sebelah kiri. Contohnya wudlu dimulai dari tangan kanan kemudian baru tangan kiri. Atau perintah makan menggunakan tangan kanan. Contoh lainnya adalah tangan kanan digunakan untuk memberikan sesuatu atau hadiah kepada teman atau orang lain, sedangkan untuk yang kurang baik dengan tangan kiri. Contohnya ketika buang air besar ataupun kecil digunakan tangan kiri untuk membersihkannya.

Sejarah mencatat pada masa penjajahan Inggris di Indonesia seorang Jenderal bernama Jenderal Raflesia Arnoldi memberlakukan peraturan tersebut. Begitu yang tercatat dalam buku sejarah bangsa. Dan mereka (kendaraan-kendaraan besar) seolah-olah siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalan di depannya. Perasaan takut dan takjub mengisi pikiran ini. Sungguh pemandang-an yang jarang sekali kulihat.

Terbayar sudah harapan yang membuncah tuk menemukan musholla / masjid. Dari jarak ± 200 m kulihat Mustoko begitu orang jawa bilang. Meskipun orang Jakarta bilang itu adalah kubah. Simbol mesjid yang terletak di puncak tertinggi bangunan tempat ibadah bagi orang Islam. Entah apa namanya yang penting bagiku adalah aku berharap bisa istirahat di sana. Mudah-mudahan mesjid itu tak dikunci. Kupercepat ayunan pedal sepeda jengkiku. Karena kuper-kirakan waktu maghrib hampir habis. Sesampai di Mesjid itu yang ternyata adalah musholla kulihat hanya ada satu rumah di pinggir musholla itu. Aku yakin bahwa musholla ini adalah musholla keluarga tersebut. Rumah itu berada di sebelah kanan Musholla jika kita menghadap ke Kiblat (barat) atau di sebelah utara Musholla dan menghadap ke selatan. Sedangkan toilet dan tempat wudlunya berada di sampaing barat rumah Pak Khaeruddin juga menghadap ke selatan. Aku meminta izin kepada keluarga tersebut. Dari perkenalan Bapak Tuan Rumah itu adalah Bp. Khaerudin. Dan yang lainnya tak ada yang diperkenalkan oleh beliau. Ia bersedia mengizinkan aku untuk sholat maghrib dan isya serta menginap di situ. Maghrib aku laksanakan penuh dengan kekhusu’an. Selesai sholat dari wajah Pak Khaerudin kutangkap rasa heran kenapa aku sampai menginap segala.

Beliau bertanya,”Adik mengapa menginap di sini segala?”
“Aku ada masalah dengan keluarga, Pak” jawabku.
“Sebenarnya adik dari mana dan mau ke mana?” lanjutnya.
”Aku dari Pekalongan, tapi untuk ke mana aku bingung.”
”Kok bingung?” ia mencecarku.
”Sebenarnya aku mau ke tempat kakakku.”
”Di mana itu?”
”Di Jakarta Timur.”
”Terus!”
”Tapi aku takut kakakku marah karena aku kabur dari rumah.”
”Jadi adik tidak bilang orang tua tuk kesana!!”
”Sekarang adik sudah makan apa belum?” tanyanya lembut sekarang.
”Belum.”
”Sebentar ya......”

Sejurus kemudian kepala keluarga tersebut mengambilkan nasi dan lauk pauk ala kadarnya dari dalam rumah yang diambilkan putrinya. Tempe goreng dan sayur sop serta ikan teri plus sambal. Beberapa menit kemudian tubuhku terasa segar kembali setelah terisi oleh karbohidrat dan protein dari hidangan penuh keikhlasan Pak Khaerudin. Aku pamit untuk istirahat setelah sholat maghrib, Isya dan makan malam. Semalaman aku tidur tanpa selimut. Dingin dan nyamuk menyerang tanpa kenal ampun. Mungkin karena lapar juga nyamuk-nyamuk tersebut.

Bedug shubuh bergema dilanjutkan alunan adzan membangunkanku dari lelapnya tidur. Aku kaget. Kamar mandi untuk wudlu dan buang air dikunci. Aku berpikir keras bagaimana aku bisa wudlu kalau tidak ada air. Karena tak ada jalan lain, air mi-neral dalam botol aqua pun akhirnya aku gunakan untuk wudlu. Aku sholat dengan khusu’. Setelah selesai aku berdoa semoga besok di-perjalanan aku tak menemukan halangan yang berarti serta kudoakan keluarga ini semoga memperoleh rizki yang lancar sebab jika aku berdoa agar mereka diberi rizki yang banyak aku takut rizki tersebut akan habis saat itu juga, kuketuk pintu rumah Pak Khaerudin yang masih terkunci untuk mohon diri. Pak Khaerudin keluar.

”Pak, saya berterima kasih atas semuanya. Sekarang saya mau mo-hon diri. Mohon maaf telah merepotkan keluarga bapak.” katku sopan.
”Ah biasa aja dik, sekarang mau kemana?”
”Ke Jakarta, mencari kakakku” ujarku.
”Jadi ke Jakarta?”
”Iya Pak.”
”Ya udah kalau begitu saya tak sanggup menghalangi niatmu yang telah bulat. Hati-hati di jalan. Oh tunggu sebentar!” pesannnya kebapakan sambil masuk ke rumah.

Friday, June 26, 2009

Sepeda Jengki Pedal 6

Pedal 6
Cacing dan Typhus


Ku pandangi wajahnya yang mulai menua dan keriput. Ia tampak tulus dan terlihat kelelahan. Kepalanya di baringkan di atas kedua tangannya yang saling tindih antara tangan kanan dan tangan kirinya. Sedang tangannya yang seharian bekerja keras itu disandarkan pada bibir ranjang tempat tidur di mana aku membaringkan tubuhku yang lemas karena sakit.

Selama hampir 24 jam ia melayani, menunggu dan merawat aku, menyuapiku, menemaniku, menghiburku dan mendoakanku tanpa mengenal lelah. Hatiku terlalu rapuh untuk terus memandangi wanita tegar ini. Tak kuasa aku menahan mata ini. Mataku kabur tatkala mengingat segala kasih dan sayang yang ibu berikan, dan berlinangkanlah mutiara bening dari sudut mataku. Ingin aku memeluknya, tapi tubuhku terlalu lemas untuk bergerak sehabis aku memuntahkan segala isi perut. Tadi ibu membersihkan muntahan yang keluar dari perutku.

Aku cacingan kata Dokter Affandi yang memeriksaku pukul 20.00 wib. Di desaku ia lebih akrab dengan panggilan Pak Wandi. Ia dipanggil ke rumah karena aku mengerang kesakitan. Dan muntah beberapa kali serta buang air besar 2 kali. Mencret lagi.
Dan pukul 23.00 wib ini ia istirahat di sampingku karena kecapekan. Ibuku tidur dengan lelapnya. Ku lihat sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku bertanya dalam hati apakah ia masih hidup ataukah telah tiada. Alhamdulillah, perutnya masih bergerak naik dan turun yang menandakan ia masih hidup. Tak bisa kubayangkan seandainya ia tiba-tiba meninggalkanku untuk selamanya. Sungguh tak bisa. Mataku kembali kabur menahan tangis dan air mata yang membasahi kelopak dan bulu mataku dan mulai membasahi bantal.

“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku. Mungkin ia tak bisa mendengar karena masih tertidur, tapi tak apalah.

Dua karung gabah masing-masing berbobot 52 kg dan 53 kg. Keduanya nangkringdi langkring depan dan boncengan belakang sepeda jengkiku. Dengan kepayahan kutuntun pelan-pelan sepeda. Hari ini aku mendapat tugas membawa gabah itu ke pabrik penggilingan padi Pak De H.Baedlowi. Beras hasil penggilingan rencananya mau digunakan untuk hajatan nikahan kakak kelimaku, Dila. Tahun 2001 ia dilamar orang Tirto, kota Pekalongan.

Pukul 14.00 wib. Matahari mulai lengser dari singgasana tertingginya. Antrean di pabrik Ricemill mulai banyak setelah buka pukul 1 lebih 45 menit. Bahkan ada yang sudah menuggu di luar gedung pabrik sejak pukul 13.00 tadi. Biasanya yang begitu adalah warga dari luar desa Tunjungsari. Nash, karyawan Pak de memutar diesel. Asap hitam mengepul dari corong knalpot diesel. Asap hitam yang keluar dari pembuangan kotoran diesel berbahan bakar solar itu menimbulkan bau yang tak sedap. Diesel itu sebagai motor penggerak mesin penggiling padi. Getaran yang ditimbulkan mesin penggiling terasa mengguncang gedung. Kebisingan yang ditimbulkan diesel dan mesin penggiling memantul ke dinding memekakan telinga.

Karung bertuliskan netto 50 kg tapi berisi ± 53 kg gabah kering milik orang diangkat nash ke kepala sebelum ditumpahkan ke corong mesin Ricemill. Enteng sekali kelihatannya. Mungkin karena Nash sudah terbiasa jadi gabah segetu mungkin dianggapnya tumpukan kapas kali ya sama Nash. He..he..he.. Bagaimana tidak biasa? Ia sudah kerja di situ sejak aku masih MI hingga aku STM. Kulit gabah atau kami sering menyebutnya dedeg muncrat dari corong ke penampungan sementara di ruang belakang mesin Ricemill. Sedang beras hasil kelupasan mengalir ke bakul melalui corong depan. Bakul terbuat dari anyaman bambu telah dipersiapkan Nash untuk menampungnya. Jika bakul telah penuh, Nash menuangnya ka karung. Padi punya orang telah selesai digiling dan Nash meminta sang empunya untuk mambawa beras yang telah terkuliti ke mesin Ricemill pembersih yang berada di sebelahnya.

2 karung padi kering milikkku mendapat giliran untuk dipecah. Kebetulan aku mendapat urutan nomor 5. Aku bersiap menadah padi kelupasan dengan bakul. Lalu kumasukkan ke karung bekas gabah tadi. Setelah itu kugeret karung pertama ke mesin Ricemill pembersih yang jaraknya sekitar 2 meter dari mesin pemecah gabah. Berikutnya karung kedua menyusul di belakang karung 1 untuk antri.

Waktu ashar telah tiba. Tapi berasku belum bersih juga. Tepat pukul 16.15, 2 karung berasku mendapat jatah untuk dibersihkan. Bekatul dari padi kukumpulkan untuk umpan ayam di rumah. Selesai sudah beras digiling oleh karyawan yang satunya. Beras ditimbang oleh Bu De ku, Wo Khur. Ia istri dari Pak De H.Baedlowi. Tadinya bukan ia yang jaga, namun sepeninggalnya pak De mau tak mau ia harus jaga Ricemill. Total jenderal beras yang digiling ada 60 kg. Biayanya Rp 6000,- dengan perhitungan biaya jasa penggilingan adalah Rp 100/kg. Sedangkan bekatulnya di gratiskan kata Wo Khur.

“Matur nuwun nggih Wo!” ucapku.
“Podo-podo Ndung!!” jawab Wo Khur ramah.

Beras yang tadinya 2 karung kini tinggal 1 karung setelah mengalami proses penggilingan. Kuangkat beras tadi dengan kupeluk dan menggunakan kedua tanganku memegang pojokan karung tersebut. Sedangklan bagian atasnya biar tertutup rapat ku pocong dengan tali rafia kuat-kuat. Kuletakkan komplotan beras dalam karung itu di boncengan belakang sepeda jengki. Supaya tidak jatuh kuikat karung dengan tali yang kubuat dari sobekan karet ban dalam sepeda bekas. Perasaan beras 60 kg dengan gabah 105 kg lebih enteng gabah 105 kg. Apa karena aku sudah kecapekan kali ya. Aku merasa tak kuat memboncengkan beras 60 kg. Sepeda jengkiku bagian depan hendak terangkat sewaktu aku mau mulai menggenjotnya.

“E…e..ee..eee..eee”
Dari belakang seorang Paman berteriak, “Ati-ati, ndung!!”
“Inggih, Lek!” sahutku.

Sepeda berjalan 10 meter sepedaku goyang ketika menuruni turunan yang tak mulus jalannya.

Dan….”GEDEBUG!!!!!”

Beras setengah karung itu jatuh dari boncenganku. Bersamaan itu pula sepedaku roboh ke kiri. Dan aku sendiri ikut roboh. Bokong karung itu sobek tersangkut baut as roda belakang. Mungkin aku kurang kuat sewaktu mengikatnya.

Lek Rali lari dari teras rumahnya. Ia menunduhku yang terjatuh. Aku disuruhnya memegang setang sepeda kuat-kuat. Ia lalu mengangkat beras dan menaruhnya di langkring depan. Setelah itu ia memintaku duduk di boncengan sambil mengemudikan sepeda. Jadi sepedanya tak ku genjot kawan. Tapi bisa dikatakan dituntun.
Cahaya matahari di ufuk barat mulai kemerahan. Ashar hampir habis. Jam dinding telah memperlihatkan jarum pendeknya di angka 5 dan jarum panjangnya di angka 10.

Aku bergegas menuju kamar mandi sambil berdoa mau ke toilet, “Allaahumma innii a’uudzubika minal khubutsi wal khobaaits”.

Tak lupa aku menenteng handuk di pundakku. Ku guyur sekujur badanku. Segar sekali. Debu bekatul beras hilang dari tubuhku mengalir bersama air suci yang mengguyur dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Angin berhembus menambah dinginnya suasana sore menjelang petang. Aku tak berlama-lama di kamar mandi.

Ku gosok seluruh personil jasad kerempeng anugerah Ilahi dengan sabun Nuvo family warna merah. Kami sekeluarga menggunakan sabun Nuvo karena tergiur dengan iklan di TV. Waktu itu nuvo mengadakan kunjungan untuk memberikan hadiah ke keluarga-keluarga yang menggunakan sabun nuvo. Tapi ternyata harapan kami kosong belaka. Agen itu tak pernah mampir ke rumahku.
Aku tak lupa menggosok gigi seri dan gerahamku yang tadi siang habis makan cumi dengan kuah kentut hitamnya. Ssedapp ssekalli!!

Segera handuk kutarik dari gantungan. Kubalutkan di pinggangku untuk menutup auratku dan beranjak menuju kamar untuk ganti pakaian. Baju kukenakan. Sarung kulilitkan. Sajadah kugelar menghadap kiblat. Rambut kusisir. Selanjutnya…..

“Allaahu akbar…!!!”

Kuterbuai dalam kubangan kekhusu’an sholat asharku yang terlambat. Sungguh kenikmatan ibadah yang tak terkira. Suasana khusu’ membuatku merinding ditambah hembusan udara dingin desa yang membuat bulu kudukku berdiri. Bersimpuh jiwaku dalam sujudku.

“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..!” sambil kutengokkan wajahku ke kanan. Pertanda sholat ashar telah selesai. Rasa khouf dan tawadlu’ menyelimuti doaku dan wiridku. Tasbih, tahmid, takbir dan tahlil membasahi bibirku.

Seusai sholat dan dzikir badanku makin merinding. Dingin menusuk pori-poriku. Rasa nyeri menusuk-nusuk lambungku. Kupegang leher dan jidatku. Panas!! Badanku mulai menggigil. Buru-buru aku meminum teh hangat. Kedua kakiku seperti kesemutan dan pegal-pegal. Kuambil jaket. Aku belum memberitahu ibuku. Kunang-kunang mulai bertebaran di atas kepalaku. Pusing. Aku pusing. Pandanganku kuning dan kabur.
Kulihat lidahku di cermin. “Yah kotor! Jangan-jangan typhes? Ah aku harus makan biar ada yang mengganjal di perut ini.”
“Mak, aku lapar. Aku pingin makan!”

Malam harinya, Pak Wandi datang ke rumah untuk memeriksaku. Ia di panggil oleh ibuku. Setelah diperiksa aku positif terkena gejala typhes. Tiga hal yang harus aku hindari selama penyembuhan adalah tidak boleh makan pedas-pedas, es dan kecapekan jika aku tak ingin penyakit ini datang lagi.
Sekarang aku harus istirahat selama pernikahan kakakku.

Ku terbangun dimalam hari. Suara kokok ayam tetangga bersahutan. Gelap. Hanya warna putih duduk bersimpuh yang nampak di hadapanku. Badanku merinding. Mungkinkah ia malaikat yang hendak mencabut nyawaku? Satu tanda akan datangnya kematian dari yang 3 telah hadir di jasadku. Ya karena aku sering sakit. Itulah pelajaran tentang koreksi diri bagi umat manusia msekipun bukan di masa senja. Selain tumbuhnya uban dan bertambahnya usia. Badanku yang meriang dan demam karena efek typhus menambah rasa takutku.

Ku amati dengan seksama. Bukan. Itu bukan malaikat pencabut nyawa. Tapi itu siapa ya? Sepertinya dia ibuku yang sedang mengenakan mukena. Ia sedang duduk bersimpuh di atas sajadah. Dan ia sedang berdoa dengan kedua tangannya menengadah ke atas. Tak ku dengar apa yang ia minta. Ku hanya mendengar ia sesekali sesenggukan.

Kawan, sekali lagi ia mendampingiku di samping tempat tidurku. Namun sekarang ia tidak tidur. Ia sedang menemaniku yang sedang jatuh sakit karena typhus dan perlu banyak istirahat. Dan mungkin dalam doanya tadi salah satunya ia berdoa bagi kesembuhanku. Sungguh ia seorang ibu sejati.
“Ibu aku sayang kamu, jangan kau tinggalkan aku Ibu!” lirihku

Related Post

Related Posts with Thumbnails